|
manipulasi dan intervensi dalam ranah peradilan di
Indonesia bukanlah hal baru. Tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar seolah kembali
mengonfirmasi kebenaran fakta dan rumor yang acapkali dipergunjingkan di ranah
publik ini. MK yang selama ini dianggap mampu menjadi lembaga alternatif untuk
mencari keadilan ternyata tidak sesuci yang dibayangkan selama ini.
Sangat dilematis mengharapkan "independensi sebagai harga mati" dari para hakim yang notabene produk mekanisme politik di parlemen. Secara konseptual, tentu tidak ada yang keliru dari mekanisme rekrutmen dan seleksi para hakim konstitusi, termasuk keterpilihannya yang ditentukan oleh putusan setiap anggota Komisi III DPR RI. Sebab, anggota komisi yang membidani urusan hukum, HAM, dan keamanan itu merupakan representasi politik rakyat yang konstitusional dan sah. Persoalannya sederhana, nuansa pragmatisme terasa lebih dominan dalam setiap garis perjuangan politik yang dipraktikkan para anggota dewan.
Keberadaan mereka di parlemen tidak lagi menjadi alat agregasi kepentingan publik, melainkan kepentingan partai politik. Artinya, menyerahkan otoritas besar, untuk memilih figur-figur istimewa dengan tugas istimewa, kepada pihak-pihak yang secara integritas dipertanyakan, adalah pertaruhan besar yang sangat mengkhawatirkan. Besarnya otoritas MK dalam menentukan sengketa pilkada tentu tidak akan membuat aktor-aktor politik begitu mudah bersikap ikhlas dan berdiam diri membiarkan independensi MK berjalan. Kondisi itulah yang akan selalu membuka peluang lahirnya relasi resiprokal antara anggota dewan dan calon hakim konstitusi. Masing-masing akan menuntut dukungan politik (political support) dan perlakuan khusus (special treatment) dalam penanganan kasus sebagai mekanisme imbal balik dalam praktik mafia peradilan.
Celah hubungan saling menguntungkan itu semakin terbuka ketika belakangan muncul tren bahwa hakim konstitusi semakin banyak diisi oleh para "pensiunan" politisi atau mereka yang dipensiunkan oleh partai masing-masing karena tumbang dalam pertarungan internal partai. MK seolah menjadi tujuan hijrah strategis mereka. Tentu tidak benar menjustifikasi integritas seseorang akan terkategorikan rendah karena yang bersangkutan berprofesi sebagai politisi. Apalagi, ketua MK sebelumnya, Mahfud M.D., yang semula juga berprofesi sebagai politikus, terbukti mampu menunjukkan kualitas integritas, konsistensi, dan independensinya dalam mengangkat marwah MK di hadapan publik dan penyelenggara negara lainnya. Tetapi, kasus Akil Mochtar ini seolah kembali mengonfirmasi masih kuatnya pengaruh insting berpolitik para hakim mantan politisi itu, hingga menyeret integritas mereka ke jurang pragmatisme dan konflik kepentingan (conflict of interests) yang sangat dalam.
Di tengah rusaknya independensi yudikatif dan busuknya praktik kekuasaan yang dijalankan pihak legislatif dan eksekutif, MK selama ini sebenarnya layak disebut sebagai bagian dari pilar demokrasi yang sehat, selain media dan elemen civil society yang sering dinobatkan sebagai pilar keempat demokrasi (Kjaer, 2004; White, 1994). Meskipun berada di ranah yudikatif, putusan-putusan MK dianggap mampu merepresentasikan aspirasi kemaslahatan publik. Untuk itu, MK layak diposisikan sebagai pilar kelima demokrasi, karena karakter lembaganya dianggap berbeda dengan sistem peradilan secara general yang cenderung korup dan berwatak feodal. Keistimewaan MK itu melahirkan harapan baru bagi tegaknya demokrasi.
Namun, kasus tangkap tangan ketua MK seolah meruntuhnya marwah pilar kelima demokrasi di negeri ini. Mafia peradilan terbukti perlahan tapi pasti menggerogoti organ vital lembaga yang selama ini dianggap bersih sekalipun. Saat ini rasa keadilan publik seolah berada dalam tahap paling kritis.
Dalam kasus ini, setidaknya terdapat dua jenis korupsi besar, yakni korupsi politik (political corruption) dan korupsi peradilan (judicial corruption). Harus diakui bahwa dua jenis korupsi itu sering tidak tersentuh karena bersarang di jantung kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun peradilan. Skandal kasus suap Ketua MK Akil Mochtar ini merupakan momentum tes operasi besar untuk mengamputasi kanker korupsi yang amat kritis untuk kali kesekian. Jika KPK berhasil membongkar tuntas dengan menarget pemain-pemain kunci dalam praktik mafia peradilan di level elite, bangsa ini akan melewati stadium menuju sukses. Sebaliknya, jika pengungkapan kasus ini hanya berjalan di level permukaan, kita akan kembali terjerembap ke titik nadir dalam agenda pemberantasan korupsi. ●
Sangat dilematis mengharapkan "independensi sebagai harga mati" dari para hakim yang notabene produk mekanisme politik di parlemen. Secara konseptual, tentu tidak ada yang keliru dari mekanisme rekrutmen dan seleksi para hakim konstitusi, termasuk keterpilihannya yang ditentukan oleh putusan setiap anggota Komisi III DPR RI. Sebab, anggota komisi yang membidani urusan hukum, HAM, dan keamanan itu merupakan representasi politik rakyat yang konstitusional dan sah. Persoalannya sederhana, nuansa pragmatisme terasa lebih dominan dalam setiap garis perjuangan politik yang dipraktikkan para anggota dewan.
Keberadaan mereka di parlemen tidak lagi menjadi alat agregasi kepentingan publik, melainkan kepentingan partai politik. Artinya, menyerahkan otoritas besar, untuk memilih figur-figur istimewa dengan tugas istimewa, kepada pihak-pihak yang secara integritas dipertanyakan, adalah pertaruhan besar yang sangat mengkhawatirkan. Besarnya otoritas MK dalam menentukan sengketa pilkada tentu tidak akan membuat aktor-aktor politik begitu mudah bersikap ikhlas dan berdiam diri membiarkan independensi MK berjalan. Kondisi itulah yang akan selalu membuka peluang lahirnya relasi resiprokal antara anggota dewan dan calon hakim konstitusi. Masing-masing akan menuntut dukungan politik (political support) dan perlakuan khusus (special treatment) dalam penanganan kasus sebagai mekanisme imbal balik dalam praktik mafia peradilan.
Celah hubungan saling menguntungkan itu semakin terbuka ketika belakangan muncul tren bahwa hakim konstitusi semakin banyak diisi oleh para "pensiunan" politisi atau mereka yang dipensiunkan oleh partai masing-masing karena tumbang dalam pertarungan internal partai. MK seolah menjadi tujuan hijrah strategis mereka. Tentu tidak benar menjustifikasi integritas seseorang akan terkategorikan rendah karena yang bersangkutan berprofesi sebagai politisi. Apalagi, ketua MK sebelumnya, Mahfud M.D., yang semula juga berprofesi sebagai politikus, terbukti mampu menunjukkan kualitas integritas, konsistensi, dan independensinya dalam mengangkat marwah MK di hadapan publik dan penyelenggara negara lainnya. Tetapi, kasus Akil Mochtar ini seolah kembali mengonfirmasi masih kuatnya pengaruh insting berpolitik para hakim mantan politisi itu, hingga menyeret integritas mereka ke jurang pragmatisme dan konflik kepentingan (conflict of interests) yang sangat dalam.
Di tengah rusaknya independensi yudikatif dan busuknya praktik kekuasaan yang dijalankan pihak legislatif dan eksekutif, MK selama ini sebenarnya layak disebut sebagai bagian dari pilar demokrasi yang sehat, selain media dan elemen civil society yang sering dinobatkan sebagai pilar keempat demokrasi (Kjaer, 2004; White, 1994). Meskipun berada di ranah yudikatif, putusan-putusan MK dianggap mampu merepresentasikan aspirasi kemaslahatan publik. Untuk itu, MK layak diposisikan sebagai pilar kelima demokrasi, karena karakter lembaganya dianggap berbeda dengan sistem peradilan secara general yang cenderung korup dan berwatak feodal. Keistimewaan MK itu melahirkan harapan baru bagi tegaknya demokrasi.
Namun, kasus tangkap tangan ketua MK seolah meruntuhnya marwah pilar kelima demokrasi di negeri ini. Mafia peradilan terbukti perlahan tapi pasti menggerogoti organ vital lembaga yang selama ini dianggap bersih sekalipun. Saat ini rasa keadilan publik seolah berada dalam tahap paling kritis.
Dalam kasus ini, setidaknya terdapat dua jenis korupsi besar, yakni korupsi politik (political corruption) dan korupsi peradilan (judicial corruption). Harus diakui bahwa dua jenis korupsi itu sering tidak tersentuh karena bersarang di jantung kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun peradilan. Skandal kasus suap Ketua MK Akil Mochtar ini merupakan momentum tes operasi besar untuk mengamputasi kanker korupsi yang amat kritis untuk kali kesekian. Jika KPK berhasil membongkar tuntas dengan menarget pemain-pemain kunci dalam praktik mafia peradilan di level elite, bangsa ini akan melewati stadium menuju sukses. Sebaliknya, jika pengungkapan kasus ini hanya berjalan di level permukaan, kita akan kembali terjerembap ke titik nadir dalam agenda pemberantasan korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar