|
PERDEBATAN
pelaksanaan ujian nasional (UN) pascakonvensi masih berlanjut. Prokontra
sedikit bergeser bukan pada masalah payung hukum dan sah-tidaknya pelaksanaan
UN, melainkan lebih mengerucut ke substansi proses evaluasi dan pemanfaatan
hasil UN.
Pertanyaan dari
mereka yang kontra antara lain tentang pemahaman dan kedudukan evaluasi, yang
dipandang semata sebagai alat ukur dan pemetaan sehingga tidak perlu dilakukan
secara masif pada siswa dan satuan pendidikan atau lembaga.
Tulisan berikut
ingin menjelaskan salah satu pemanfaatan hasil UN berkaitan dengan upaya untuk
mengetahui indeks kompetensi sekolah, yang melalui indeks kompetensi sekolah
ini bisa diketahui lebih lanjut terhadap sebab musababnya kenapa bisa terjadi,
dan bagaimana serta langkah apa yang harus dilakukan untuk upaya perbaikan.
Konvensi UN, yang
telah digelar beberapa waktu lalu, sesungguhnya tidak membahas masalah teknis
semata, seperti diserahkan ke daerah atau bagaimana, tetapi membahas juga
sistem UN secara substansial, di antaranya UN diharapkan menjadi indikator
untuk berbagai hal. Dalam konteks itulah perlu dipahami bahwa UN sebagaimana
tertuang dalam PP 19/2005 (jo PP 32/2013) tentang Standar Nasional Pendidikan
Pasal 68 tidak hanya bertujuan untuk pemetaan, tapi juga seleksi, kelulusan,
dan pembinaan secara berkesinambungan.
Indeks kompetensi
Meminjam kalimat
yang kerap digunakan Mendikbud, dengan indeks kompetensi sekolah, ibarat orang
sakit, hasil UN akan jelas menunjukkan bagian mana yang sakit. Kalaupun
diketahui bagian kepala yang sakit, misalnya, akan diketahui kepala yang sakit
itu di bagian mana tepatnya sehingga untuk mengobatinya (baca: upaya perbaikan)
pun akan diberikan obat yang tepat, menyangkut jenis dan dosis obatnya, agar
tidak terjadi malapraktik.
Indeks
kompetensi sekolah merupakan suatu ukuran perbandingan antara capaian dan
target dari
komposit kompetensi mata pelajaran sehingga melalui indeks
kompetensi sekolah, dapat dipetakan kompetensi sekolah menurut sekolah,
kabupaten-kota, provinsi, dan nasional yang digunakan untuk pendefinisian jenis
intervensi program menurut prioritasnya. Dalam menentukan prioritas perbaikan
atau intervensi positif kepada satuan pendidikan itulah digunakan suatu
analisis yang bertitik tolak pada perbedaan tiap kompetensi mata pelajaran
dengan menggunakan satu ukuran yang bisa dibandingkan.
Saat ini,
sebagian publik mungkin hanya mengetahui hasil UN selain untuk menentukan
kelulusan, dipakai untuk pemetaan dan tiket masuk ke perguruan tinggi negeri.
Masih sedikit masyarakat yang mengetahui hasil UN juga telah digunakan untuk
melakukan pembinaan dalam bentuk intervensi positif berupa perbaikan mutu
sekolah melalui pelatihan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan,
serta perbaikan dan melengkapi infrastruktur satuan pendidikan.
Kalau hasil UN
digunakan sekadar untuk pemetaan, mungkin benar jika ada masyarakat yang
kemudian mempertanyakan kenapa mesti dilakukan secara menyeluruh, bukankah
cukup melalui sampel beberapa sekolah dengan variasi pada kelengkapan
infrastruktur dan kewilayahan, misalnya, sehingga tidak perlu UN?
Mutu pendidikan
Perlu dipahami,
karena UN bukan sekadar pemetaan, melainkan juga untuk menentukan indeks
kompetensi sekolah, yang bermuara pada pengendalian mutu sekolah, termasuk di
dalamnya siswa, pendidik dan tenaga kependidikan, serta infrastruktur pendukung
sekolah, pengukurannya pun dilakukan secara menyeluruh.
Memang dalam
teori pengendalian mutu dikenalkan pengendalian statistika mutu (statistical quality control). Dalam
teori itu, untuk produk massal tidak perlu dinilai semua, cukup diambil
sejumlah sampel yang mewakili populasi produk yang dikendalikan mutunya.
Metode itu
dikembangkan karena beberapa alasan. Pertama, pengujian tersebut dilakukan
dengan merusak produknya sehingga tidak mungkin dilakukan pengujian terhadap
keseluruhan produk. Kedua, pengujian tersebut memakan waktu terlalu lama
sehingga menghambat proses penyampaiannya kepada pengguna.
Dengan demikian,
dalam pengujian keberterimaan dilakukan penyampelan keberterimaan (acceptance sampling). Dalam metode itu,
diambil sejumlah sampel produk akhir untuk diuji. Bila hasil pengujian sampel
tersebut memenuhi kriteria tertentu--yang dirumuskan berdasarkan dalil-dalil
statistik-keseluruhan populasi produk akhir dikatakan memenuhi syarat, termasuk
yang tidak diuji.
Tentu berbeda
dengan pengendalian mutu pendidikan. Tidaklah tepat jika menggunakan
pengendalian statistika mutu. Bayangkan, sejumlah calon lulusan dipilih
berdasar kan teknik pengambilan sampel, kemudian mereka diuji kompetensi untuk
penentuan berapa banyak yang me menuhi standar, lalu hasilnya diolah
berdasarkan dalil-dalil statistik untuk menyimpulkan karakteristik populasi
calon lulusan, dan bila tidak memenuhi syarat, keseluruhan lulusan dikatakan
cacat, dan semuanya harus diuji kembali.
Sekali lagi,
pendekatan statistik seperti ini tentu tidak cocok. Ada bebe rapa alasan bisa
dikemu kakan. Pertama, pendidikan bukan produk mas sal. Tiap peserta didik
ialah unik sehingga ti dak boleh dihakimi berda sarkan kinerja peserta didik
lain.
Kedua, pengujian
sampel hanya dipakai untuk produk dengan tingkat kualitas biasa dan bukan
produk
yang kritis. Lulusan pendidikan ialah produk kritis bagi kemajuan bangsa
dan tingkat kualitas yang diinginkan ialah terbaik (finest).
Ketiga,
pengujian sampel selalu diiringi dengan risiko, yaitu risiko menyatakan baik
padahal jelek (risiko produksi) dan risiko menyatakan jelek padahal baik
(risiko konsumen). Risiko semacam itu akan memberikan dampak yang luar biasa
sehingga tidak layak dipakai terhadap lulusan pendidikan.
Keempat,
pengujian berda sarkan sampel tidak dapat dipakai untuk memberikan gambaran
menyeluruh terhadap individu satuan pendidikan dan peserta didik sehingga
ketepatan sasaran program afirmatifnya tidak terjamin. Kelima, pengujian sampel
hanya boleh dipergunakan bagi populasi yang dari sejarahnya diketahui memiliki
proporsi catat yang relatif kecil, yaitu kurang dari 10%.
Dengan
alasan-alasan itu, teknik pengendalian statistika mutu tidak dapat dipergunakan
dalam pengendalian mutu pendidikan walaupun banyak dipergunakan dalam
pengendalian produk massal pada umumnya.
Penghematan yang
diperoleh tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Sebagai
konsekuensinya, pengendalian mutu pendidikan ialah berdasarkan populasi produk
yang diuji sebagaimana dilakukan selama ini dan pada masa-masa yang akan
datang. Praktik terbaik di dunia belum ada yang berani menggunakan teknik
pengendalian statistika mutu untuk menjamin mutu pendidikan.
Pertanyaannya,
bagaimana dengan pengukuran yang dilakukan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) dan PISA (Programme for International Student
Assessment) yang pengukurannya hanya menggunakan sampel. Jawabnya, TIMSS
dan PISA tidak dirancang sebagai alat penjaminan mutu, tetapi sekadar alat
pengukur dan pembanding mutu, terhadap capaian peserta didiki dari beberapa
negara. UN dirancang sebagai alat untuk penjaminan mutu sehingga dilakukan
secara menyeluruh di tingkat satuan pendidikan dan pada seluruh peserta didik.
Sembunyikan fakta
Kembali pada
pro-kontra. Sebenarnya, baik yang pro maupun kontra jika melihat payung hukum
yang digunakan--dalam hal ini UU Sisdiknas--sudah menemukan titik temu.
Perbedaan lebih terjadi karena pasal yang digunakan hanya sebagian, tidak utuh.
Padahal diketahui, pasal dalam sebuah UU, antara satu dengan lainnya saling
mengait, tidak bisa berdiri sendiri.
Benar dan memang
tidak bisa dibantah bahwa Pasal 58 ayat (1) menyatakan evaluasi hasil belajar
peserta didik dilakukan pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan
hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Itu yang selama ini dilakukan pendidik di dalam menentukan peserta didik untuk
naik atau tidak ke jenjang kelas yang lebih tinggi. Proses itu sebagai bagian
dari evaluasi internal.
Mereka yang
kontra UN kerap kali hanya menggunakan dan membaca ayat (1) itu, dan berusaha
menyembunyikan fakta ke ayat (2) yang menyatakan evaluasi peserta didik, satuan
pendidikan, dan program pendidikan dilakukan lembaga mandiri secara berkala,
menyeluruh, transparan, dan sistemis, untuk menilai pencapaian standar nasional
pendidikan. Proses itu dikenal sebagai evaluasi eksternal, dan lembaga mandiri
yang menyelenggarakannya itu adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Di sinilah
sesungguhnya letak perbedaan yang memunculkan pro-kontra terhadap UN, terkait
dengan payung hukum, karena mereka yang kontra membacanya tidak utuh dan
berusaha menyembunyikan fakta pada ayat (2) sehingga penalarannya pun tidak
sempurna, dan ketidaksempurnaan itulah yang mengundang kontra.
Bagi pemerintah,
sepanjang UU-nya masih berlaku, tentu menjadi keharusan untuk tetap menjalankan
amanah UU. Jika tidak, justru pemerintah dianggap tidak patuh di dalam
menjalankan perintah UU. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar