|
Apa yang buruk,
itu hasil budi pekertimu sendiri.
Pepatah itu ungkapan bijak yang mendalam. Isinya sebuah
renungan yang harus kita “gali” sendiri untuk menjadi sejenis “kaca benggala”
tempat kita bercermin dan “mengolah” hidup. Terutama hidup kita sendiri.
“Mengolah” hidup? Apa hidup masih mentah? Ya, hidup masih
mentah. Apa yang disodorkan di depan kita dan semua yang kita hadapi, tak bisa
ditelan begitu saja.
Kita harus “mengolahnya” secara hati-hati dan penuh sikap
bijaksana. Apalagi bila kita bicara tentang kehidupan -terutama birokrasi
pemerintahan- yang banyak penyimpangannya, penggelapannya, maling, kecu,
berandal, dan garongnya.
Di sana tak ada teman, saudara, guru, dan sahabat. Semua
pihak bisa saja menipu, mengecoh, bahkan sengaja menjerumuskan. Omongan mereka
tak bisa ditelan mentah-mentah. Tiap kata pendeknya, wajib “diolah” dengan cermat
hingga matang, baru boleh kita “kunyah” pelan-pelan dan hati-hati dengan
keraguan yang tak boleh disanggah.
Seserius itukah keadaannya? Mungkin bahkan lebih dari itu.
Hidup yang hanya sekali dan tak lebih dari seabad harus dilalui dengan
kewaspadaan yang tak bisa ditunda hingga lusa karena dalam banyak hal penting,
menanti hingga lusa berarti terlambat.
Sebuah kuitansi yang disodorkan kepada kita yang minta
ditandatangani dan amplop tebal berisi uang, tak mungkin kita lahap begitu
saja. Kuitansi itu bisa saja mengandung jebakan. Duit itu, yang mungkin terasa
enak, belum tentu enak dalam pengertian seutuhnya.
Saat ini dia enak, tetapi bulan depan belum tentu. Kuitansi
itu? Saat ini dia bagian wajar dan sehat dari apa yang disebut manajemen
keuangan. Dia barang yang sah dan sehat dilihat dari sudut pengelolaan uang.
Namun bulan depan? Tahun depan? Dua tahun yang akan datang?
Berlalunya waktu, bukti penerimaan, dan legalitas aturan
pengelolaan uang itu bisa berganti wajah menyeramkan: tanda bukti bagi KPK atas
keterlibatan seseorang ke dalam suatu perilaku menyimpang, yang bisa disebut
penggelapan, penyelewengan, dan bahwa keduanya bisa diberi arti memperkaya
pihak lain, serta merugikan keuangan negara, bahwa tindakan itu melawan hukum,
tindak pidana, bahkan bisa kedudukannya disebut tindak kriminal. Ringkasnya,
korupsi.
Momentum
Momentum pendek antara detik-detik perenungan untuk menolak
dan bujukan lembut dari dalam jiwa kita sendiri untuk bersedia menandatangani
kuitansi tadi, berlalu dengan cepat. Namanya saja momentum pendek. Momentum itu
tak bisa menunggu. Ada desakan keras yang membingungkan. Lalu kita lalai.
Dalam momentum pendek itu kuitansi tadi ditandatangani.
Momentum itulah penentu utama baginya untuk masuk bui. Momentum pendek itu
situasi kritis. Dia membisikkan “kalimah toyyibah”, yang berisi kata-kata
pilihan surgawi. Sebaliknya, ada bujukan lembut, seolah kelembutan itu wujud
surga itu sendiri. Siapakah yang bisa disalahkan dalam perkara ini?
“Bukan salah bunda mengandung”. Begitu kata sebuah pepatah
lama, yang sekarang hampir tak berlaku lagi. Semua, apa pun yang terjadi,
jangan bawa-bawa nama ibu. Jika suratanmu baik, itu karyamu sendiri. Jika yang
terjadi sebaliknya? “Buruk suratan tangan sendiri.” Apa yang buruk, itu hasil
budi pekertimu sendiri.
Dan ibu? Kebanyakan ibu hanya merana, tetapi mungkin harus
dicatat juga, ada ibu yang mati-matian menyangkal kejahatan anaknya. Kronologi
peristiwa menyimpang, sikap sengaja menggelapkan, dan pencurian uang negara
(artinya juga uang rakyat) sudah dipaparkan dengan jelas, gamblang, dan
“sahih”, serbakuat, tetapi ada ibu yang mati-matian menyangkal.
Pendeknya, semua dianggap tidak mungkin. Semua terasa
ganjil karena anaknya itu sopan, lemah lembut, penuh tata krama, sering memakai
peci atau sorban, serta kalau memberi ibunya uang, jumlahnya aduhai besarnya.
Ibunya ikut kaya karena anaknya yang sopan selalu menyetor uang dalam jumlah
besar tadi.
Ibu-ibu yang lain, pada umumnya, sekali lagi, sengsara. Ibu
ikut tercoreng wajahnya, namanya ikut buruk. Betapa malunya dia lewat di depan
rumah Pak RT dan para tetangga yang lain. Juga ketika hadir di dalam kelompok
ibu-ibu arisan. Kasihan ibu tadi.
Apakah kejahatan itu hasil didikan sang ibu? Apakah
“kekudangan”, dambaan sang ibu memang agar anaknya menjadi pencuri uang negara,
yang menyengsarakan rakyat yang sudah lama sengsara itu?
Jelas tidak.
Jelas tidak.
Ibunya pernah mendambakan anaknya bekerja dengan baik,
memperoleh penghasilan yang baik, halal, bersih, dan penuh berkah. Biar pun
setitik kecil, jangan hendaknya ada noda yang melekat pada rezeki itu. Apa yang
ternoda, biar pun sedikit, tetap noda dan itu memalukan. “Nila setitik” kata
pepatah yang lain, merusak susu sebelanga.
Perasaan Ibu
Susu warnanya putih tanda kesucian. Nila itu hitam warnanya
dan hitam tanda kekotoran. Maka setitik nila hitam itu, bisa bikin hitam
sebelanga susu yang putih bersih itu. Begitu ibu-ibu pada umumnya.
Bagaimana kira-kira perasaan para ibu yang pernah
melahirkan anak-anak, yang ketika besar dan menjadi pejabat, korupsi
besar-besaran, dan menjadi kaya, memiliki beberapa rumah di satu kompleks
perumahan, memiliki mobil-mobil mewah, serta anaknya berkata: apa salahnya
kaya?
Akankah ibunya menjawab bahwa ucapan anaknya benar belaka?
Akankah ibu merasa bangga atas kekayaan anaknya? Tidak. Ibu yang baik tak boleh
menyangkal bahwa anak itu anaknya. Namun, dia tak boleh nekat membela
mati-matian kejahatan anaknya.
Ibu yang baik mungkin menangis sejadi-jadinya. Jika anaknya
menyodorinya uang maka uang itu, biar pun disimpan di dalam kulit durian, akan
dilemparkannya ke wajah anaknya. Anak tetap anak.
Namun, ada pemisahan rohaniah yang jelas. Kejahatan anak
terjadi bukan karena “salah bunda mengandung”. Semua jenis kejahatan itu, tanda
bahwa “buruk suratan anaknya” menjadi tanggung jawabnya sendiri. Itu hasil
tangannya dan bukan karena buruk kandungan ibunya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar