Selasa, 29 Oktober 2013

Presiden Bukan Pesinden

Presiden Bukan Pesinden
Denny Indrayana   Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
KORAN SINDO, 29 Oktober 2013


Presiden. Satu kata, yang mengandung berjuta peristiwa, berjuta cerita. Perjalanan kata powerful itu sudah berjalan sembilan abad hingga abad ke-21 ini. Apakah dan siapakah sebenarnya seorang ”presiden” itu, mari kita kaji bersama. 

Tercatat kata ”presiden” pertama kali merujuk pada pemimpin lembaga pemerintahan atau pendidikan, misalnya President of the Exchequer (1179); presiden dari Universitas Oxford dan Cambridge (1464); dan berdirinya President of the Royal Society (1660). Pada awal abad ke-17, kata ini diekspor Inggris ke Amerika Serikat, yaitu ketika menyebut pemimpin dari Thirteen Colonies dengan istilah President of the Council (1608). 

Thirteen Colonies adalah sebutan awal Inggris untuk cikal-bakal Amerika Serikat. Akhirnya 1774 adalah tahun pertama ketika Amerika Serikat menggunakan sendiri istilah presiden untuk President of the Continental Congress. Presiden berasal dari bahasa latin: prae- dan sedere. Seorang presiden adalah orang yang ‘preside’, memimpin. Awalnya istilah presiden merujuk pada orang yang memimpin suatu upacara atau pertemuan. 

Dalam referensi lain, istilah presiden berasal dari latin praesideo (menjaga atau mengarahkan) dan praesidere (memimpin). Pada konteks kekinian, presiden bermakna kepala negara, baik dipilih langsung oleh rakyat ataupun melalui parlemen, atau sebagaimana di Amerika Serikat—melalui electoral college. Walaupun perlu dicatat, sejarah evolusi terminologi presiden pernah pula digunakan untuk jabatan yudikatif dan legislatif. 

Di Finlandia, berdasarkan Konstitusi 1919, posisi Ketua Mahkamah Agung disebut dengan istilah presiden. Di Spanyol, berdasarkan Konstitusi 1978, pemerintahan monarki terbatasnya menyematkan nama presiden untuk jabatan perdana menteri. Dalam perkembangannya, presiden tidak hanya berperan sebagai kepala negara, namun juga sebagai kepala pemerintahan. 

Jabatan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan pertama kali muncul di Amerika Serikat pada 1789. Pasal II ayat 1 Konstitusi Amerika Serikat mengatur, ”The executive power shall be vested in a President of the United States of America.” Maka, tidak berlebihan untuk menyematkan bahwa sistem presidensial, pertama kali lahir di Amerika Serikat pada akhir abad ke-18. Yang pasti, presiden merujuk pada hanya satu orang, tidak lebih. 

Satu orang yang paling berkuasa di dalam sistem pemerintahan presidensial. Tentunya, orang yang paling berkuasa itu bukan raja, atau ratu, sebagaimana dalam sistem monarki. Agaknya, para founding parents Amerika yang berasal dari Inggris, tidak ingin membangun sistem monarki di tanah harapannya yang baru. 

Presiden adalah jawaban ala Amerika Serikat, yang menolak model kekuasaan raja yang absolut. Hanya, kekuasaan presiden tetap saja seluas kekuasaan raja, tentu dengan pembatasan yang lebih tegas dari cabang-cabang kekuasaan yang lain. Bila kekuasaan raja mutlak tanpa dapat dicap salah (the king can do no wrong); kekuasaan presiden tetap dibatasi oleh konstitusi dan peraturan perundangan. 

Pembatasan dengan konstitusi itulah yang dikenal sebagai paham konstitusionalisme. Tujuannya, agar bersamaan dengan melekatnya kekuasaan besar yang pada presiden, lahir pula pertanggungjawaban yang besar. Meski kekuasaannya terbatas, seorang presiden tetaplah model raja dalam dunia modern. Seorang presiden adalah penguasa strategis utama dalam sistem republik, sebagaimana kekuasaan raja dalam sistem monarki. 

Tidak mengherankan, merujuk pada masa bakti periode panjang kepresidenan Franklin D Rossevelt (1933 – 1945), jika muncul istilah ”the imperial presidency”. Dalam bahasa Harold J Laski, Presiden Amerika, ”both more and less than a king”. Proses lahirnya presiden di Amerika Serikat cukup berliku. 

Terlebih, hasrat untuk membentuk negara kerajaan—bukan republik—tetap mempunyai pendukung berani mati. Setahun sebelum konstitusi disetujui, John Jay mengirim surat kepada George Washington, mempertanyakan apakah tidak sebaiknya Amerika Serikat berbentuk kerajaan.

 Alexander Hamilton, meski tidak mendapatkan dukungan, dengan lantang berargumen, sistem kerajaan Inggris adalah yang terbaik di dunia. Baginya, tidak akan ada pemerintahan yang baik tanpa eksekutif yang baik. Serta, eksekutif yang baik tidak akan pernah lahir dari negara republik. Pada akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang, bentuk negara republik disetujui, sistem presidensial diadopsi. 

George Washington dipilih secara bulat menjadi presiden pertama Amerika Serikat (1789 – 1797). Meski memilih presiden dan menolak raja, para perancang konstitusi Amerika Serikat memutuskan bahwa sang presiden harus mempunyai kekuatan yang memadai untuk menyelesaikan rumitnya masalah bangsa. 

Maka dirancanglah konstitusi yang memberikan kekuasaan besar kepada presiden, namun tetap menutup potensi hadirnya pemimpin sejenis raja yang tiran. Alexander Hamilton sendiri, yang justru pada awalnya mendukung monarki dengan raja sebagai pemimpin, menjelaskan dengan baik konsep presiden. Dalam essay 69 dari Federalist Paper (1788), Hamilton membedakan antara presiden dan raja. 

Menurutnya, raja terpilih karena keturunan, sedangkan presiden menjabat melalui pemilihan dan dapat dipilih kembali setiap empat tahun. Meski kemudian melalui amendemen ke-22 pada 1951, masa jabatan presiden Amerika Serikat dibatasi hanya maksimal dua periode. 

Di Eropa, presiden sebagai pemimpin negara pertama kali muncul di Prancis. Meski bentuk negara republik berawal di tahun 1792, jabatan presiden baru muncul di era republik kedua (1848 – 1851), dengan Louis Napoleon sebagai presiden. Sempat menghilang di era Kaisar Napoleon III (1852 – 1870), jabatan presiden kembali muncul di masa republik ketiga (1875 – 1940). 

Di Jerman, jabatan presiden baru muncul setelah selesainya perang dunia I (1918), yaitu dengan berlakunya konstitusi Weimar. Sempat lenyap di era Diktator Hitler (1934 – 1945), jabatan presiden kembali muncul setelah perang dunia kedua. Di Asia, jabatan presiden dicangkokkan oleh Amerika Serikat ketika memberikan kemerdekaan yang terbatas kepada Filipina pada 1935. 

Di Afrika, Presiden Liberia yang hadir pada tahun 1848 adalah presiden pertama yang diakui dunia internasional. Pada abad ke-21, lebih tiga abad sejak kelahirannya, menurut daftar yang dibuat Wikipedia, dengan beberapa variasi dan evolusi konsep, ada lebih dari 145 negara yang mengadopsi sistem pemerintahan presidensial. 

Di Indonesia, pada tahun 1945, setelah melalui perdebatan panjang di BPUPKI dan PPKI, UUD 1945 akhirnya memutuskan Indonesia bersistem republik, dengan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sempat beralih sistem menjadi parlementer, sistem presidensial kembali ditegaskan melalui Dekrit Presiden 5 Juli1959, dan dikuatkan lagi melalui empat perubahan konstitusi pada tahun 1999 – 2002. 

Banyak romantika kehidupan yang dialami presidenpresiden Indonesia sejak Presiden Pertama Bung Karno hingga Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yang pasti, siapa pun yang menjadi presiden akan menghadapi persoalan dan kompleksitas keindonesiaan yang tidak pernah mudah. Maka, kita harus sangat berhati-hati dan superselektif pada saat menjatuhkan pilihan untuk presiden ketujuh di tahun depan. 

Kita sedang memilih presiden Indonesia, bukan presiden idol. Kita sedang memilih seorang presiden, bukan pesinden. Berbeda dengan presiden, pesinden selesai melaksanakan tugasnya cukup dengan menyanyikan lagu-lagu Jawa yang membawa ketenangan jiwa. 

Ke depan, Presiden Indonesia harus menjaga tumbuh kembangnya demokrasi Indonesia di tengah tantangan korupsi yang masih merajalela. Mari pilih presiden, bukan pesinden. Jangan salah pilih di tahun 2014. Keep on fighting for the better Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar