Senin, 28 Oktober 2013

“SBY, Presiden Kekanak-Kanakan”

“SBY, Presiden Kekanak-Kanakan”
Derek Manangka  Wartawan Senior
INILAH.COM, 26 Oktober 2013


Kalau saja Taufiq Kiemas belum meninggal dunia kemudian dikonfrontir dengan pertanyaan, tentang bagaimana dia melihat Presiden SBY saat ini, almarhum mungkin hanya bisa tertawa.
Dia (Taufiq Kiemas-TK), mantan Ketua MPR-RI tertawa bukan karena senang SBY disebut sebagai ‘Jenderal Kekanak-Kanakan’ seperti yang ia juluki. Bukan pula tertawa karena sebutan itu merupakan pembenaran atas penilaiannya terhadap SBY yang terjadi 9 tahun lalu.

Tapi ketika TK menyebut putera asal Pacitan yang saat itu menjadi Menteri Koordinator Polkam di Kabinet Megawati seperti itu, banyak pihak yang menyerang balik TK. Banyak politisi yang membela SBY. Ia dianggap sebagai seorang jenderal yang matang, cerdas dan berprilaku sebagai seorang pemimpin. Oleh sebab itu, pantas bila SBY didukung menjadi pemimpin atau Presiden RI.

Jadi tertawanya TK lebih karena ingin mengingatkan sekaligus mempertajam kritik dan sarkatismenya terhadap Presiden ke-6 RI tersebut. Bahwa seorang jenderal yang tampil seperti sosok yang brilian, belum tentu seperti itu adanya. Publik tidak boleh percaya begitu saja dengan penampilan yang menggunakan metode pencitraan.

Boleh jadi ketika itu, TK sudah melihat SBY dari dekat. Berbeda dengan publik yang belum pernah berinteraksi dengan SBY. Sehingga dari bahasa tubuhnya, TK sudah bisa menilai apa dan bagaimana sebetulnya jenderal yang beristerikan anak dari mantan petinggi militer itu.

Dari siikapnya ternyata SBY hanya sejajar dengan mereka yang berusia masih kanak-kanak. Pekerjaan yang semestinya bisa diselesaikannya, karena memang menjadi tanggung jawabnya, ternyata sulit dikerjakannya. Untuk menutupinya, lantas SBY berkeluh kesah. Sikap yang hanya mau berkeluh kesah inilah yang dinilai TK sebagai sebuah perilaku kekanak-kanakan.

Hanya saja ketika TK melemparkan kritikan atau kecaman itu, SBY sedang menjadi idola oleh banyak orang. Terutama oleh ibu-ibu yang senang dengan penampilan SBY. Sehingga gara-gara kritikan itu, tidak sedikit ibu-ibu yang tidak suka sama TK. Politisi PDIP ini dinilai cemburu dengan kelebihan yang dimiliki SBY.

TK keliru mewacanakan sebutan "Jenderal Kekanak-kanakan" itu kepada SBY. TK tidak sempat membuka contoh pekerjaan kecil, ringan, persoalan bangsa yang dijadikannya sebagai barometer. Bahwa untuk pekerjaan yang sederhana saja, tidak bisa diatasi oleh Menteri SBY. Maka lahirlah kalimat sarkartis yang menghebohkan itu.

Kini TK sudah terbaring tenang di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta dan kita tidak tahu apakah mendiang masih mengikuti sepak terjang SBY dalam berpolitik. Kalau dibuat penilaian, TK juga tidak mampu meyakinkan publik bahwa julukan yang diberikannya kepada SBY itu benar-benar tepat.

Akan tetapi ada atau tidak TK di panggung politik nasional, yang pasti dalam beberapa waktu belakangan ini, sepak terjang SBY, sudah semakin memperlihatkan sikap seperti julukan yang diberikan TK. Sikap SBY di Istana, di Cikeas, di bandara, di forum Silatnas Partai Demokrat, dinilai publik tidak lagi menunjukkan sikap seorang Presiden, Kepala Negara, apalagi negarawan.

Yang lebih memprihatinkan lagi, ia telah menjadikan Partai Demokrat sebagai satu-satunya partai yang paling 'bersih'. Padahal banyak kasus yang menjerat para kader termasuk di tingkat elitnya. SBY dan Partai Demokrat seperti berdiam diri ketika rakyatnya dibohongi para pemimpinnya.

Kisruh yang terjadi di internal Partai Demokrat, sebagai akibat dari ketidakmampuan jajaran petingginya yang dipimpin SBY, tiba-tiba dijadikan sebagai sebuah isu, seolah-olah pihak luar terutama pers yang merusaknya.

Perseteruannya dengan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, yang terjadi sebagai akibat dari manuver politiknya sendiri, kemudian diblow up media, juga diungkitnya. Seolah-olah perslah yang menjadi penyebab kisruh tersebut. Padahal ada atau tidaknya peran pers, perseteruannya dengan Anas akan tetap terjadi.

Tiga hari lalu di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, SBY berbicara di depan pengurus baru PWI Pusat periode 2013-2015. Ia berterima kasih sekaligus memuji peran pers. Menurut SBY, peran serta perslah yang membuat dia menjadi sosok seperti sekarang.

Lidah yang mengucapkan kalimat itu, belum kering. Tapi kini SBY berbalik menyerang pers sebagai biang dari semua kemelut yang dihadapinya. Pers yang baik tentu saja menghargai sikap SBY seperti itu, sebab ketidaksukaannya terhadap pers juga bagian dari hak azasinya yang paling fundamental. Hanya saja kalau seorang lelaki, ayah, kakek, jenderal, presiden, doktor, dalam satu minggu bisa mengeluarkan pernyataan yang saling bertolak belakang, publik sudah patut bertanya, benarkah ini sifat kanakan-kanakan? Kalau untuk saat ini, SBY bisa jadi termasuk presiden yang kekanak-kanakan! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar