|
Kalau saja Taufiq Kiemas belum meninggal dunia
kemudian dikonfrontir dengan pertanyaan, tentang bagaimana dia melihat Presiden
SBY saat ini, almarhum mungkin hanya bisa tertawa.
Dia
(Taufiq Kiemas-TK), mantan Ketua MPR-RI tertawa bukan karena senang SBY disebut
sebagai ‘Jenderal Kekanak-Kanakan’ seperti yang ia juluki. Bukan pula tertawa
karena sebutan itu merupakan pembenaran atas penilaiannya terhadap SBY yang
terjadi 9 tahun lalu.
Tapi
ketika TK menyebut putera asal Pacitan yang saat itu menjadi Menteri
Koordinator Polkam di Kabinet Megawati seperti itu, banyak pihak yang menyerang
balik TK. Banyak politisi yang membela SBY. Ia dianggap sebagai seorang
jenderal yang matang, cerdas dan berprilaku sebagai seorang pemimpin. Oleh
sebab itu, pantas bila SBY didukung menjadi pemimpin atau Presiden RI.
Jadi
tertawanya TK lebih karena ingin mengingatkan sekaligus mempertajam kritik dan
sarkatismenya terhadap Presiden ke-6 RI tersebut. Bahwa seorang jenderal yang
tampil seperti sosok yang brilian, belum tentu seperti itu adanya. Publik tidak
boleh percaya begitu saja dengan penampilan yang menggunakan metode pencitraan.
Boleh
jadi ketika itu, TK sudah melihat SBY dari dekat. Berbeda dengan publik yang
belum pernah berinteraksi dengan SBY. Sehingga dari bahasa tubuhnya, TK sudah
bisa menilai apa dan bagaimana sebetulnya jenderal yang beristerikan anak dari
mantan petinggi militer itu.
Dari
siikapnya ternyata SBY hanya sejajar dengan mereka yang berusia masih
kanak-kanak. Pekerjaan yang semestinya bisa diselesaikannya, karena memang
menjadi tanggung jawabnya, ternyata sulit dikerjakannya. Untuk menutupinya,
lantas SBY berkeluh kesah. Sikap yang hanya mau berkeluh kesah inilah yang
dinilai TK sebagai sebuah perilaku kekanak-kanakan.
Hanya
saja ketika TK melemparkan kritikan atau kecaman itu, SBY sedang menjadi idola
oleh banyak orang. Terutama oleh ibu-ibu yang senang dengan penampilan SBY.
Sehingga gara-gara kritikan itu, tidak sedikit ibu-ibu yang tidak suka sama TK.
Politisi PDIP ini dinilai cemburu dengan kelebihan yang dimiliki SBY.
TK
keliru mewacanakan sebutan "Jenderal Kekanak-kanakan" itu kepada SBY.
TK tidak sempat membuka contoh pekerjaan kecil, ringan, persoalan bangsa yang
dijadikannya sebagai barometer. Bahwa untuk pekerjaan yang sederhana saja,
tidak bisa diatasi oleh Menteri SBY. Maka lahirlah kalimat sarkartis yang
menghebohkan itu.
Kini
TK sudah terbaring tenang di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta dan
kita tidak tahu apakah mendiang masih mengikuti sepak terjang SBY dalam
berpolitik. Kalau dibuat penilaian, TK juga tidak mampu meyakinkan publik bahwa
julukan yang diberikannya kepada SBY itu benar-benar tepat.
Akan
tetapi ada atau tidak TK di panggung politik nasional, yang pasti dalam
beberapa waktu belakangan ini, sepak terjang SBY, sudah semakin memperlihatkan
sikap seperti julukan yang diberikan TK. Sikap SBY di Istana, di Cikeas, di
bandara, di forum Silatnas Partai Demokrat, dinilai publik tidak lagi
menunjukkan sikap seorang Presiden, Kepala Negara, apalagi negarawan.
Yang
lebih memprihatinkan lagi, ia telah menjadikan Partai Demokrat sebagai
satu-satunya partai yang paling 'bersih'. Padahal banyak kasus yang menjerat
para kader termasuk di tingkat elitnya. SBY dan Partai Demokrat seperti berdiam
diri ketika rakyatnya dibohongi para pemimpinnya.
Kisruh
yang terjadi di internal Partai Demokrat, sebagai akibat dari ketidakmampuan
jajaran petingginya yang dipimpin SBY, tiba-tiba dijadikan sebagai sebuah isu,
seolah-olah pihak luar terutama pers yang merusaknya.
Perseteruannya
dengan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, yang terjadi
sebagai akibat dari manuver politiknya sendiri, kemudian diblow up media, juga
diungkitnya. Seolah-olah perslah yang menjadi penyebab kisruh tersebut. Padahal
ada atau tidaknya peran pers, perseteruannya dengan Anas akan tetap terjadi.
Tiga
hari lalu di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, SBY berbicara di depan pengurus
baru PWI Pusat periode 2013-2015. Ia berterima kasih sekaligus memuji peran
pers. Menurut SBY, peran serta perslah yang membuat dia menjadi sosok seperti
sekarang.
Lidah
yang mengucapkan kalimat itu, belum kering. Tapi kini SBY berbalik menyerang
pers sebagai biang dari semua kemelut yang dihadapinya. Pers yang baik tentu
saja menghargai sikap SBY seperti itu, sebab ketidaksukaannya terhadap pers
juga bagian dari hak azasinya yang paling fundamental. Hanya
saja kalau seorang lelaki, ayah, kakek, jenderal, presiden, doktor, dalam satu
minggu bisa mengeluarkan pernyataan yang saling bertolak belakang, publik sudah
patut bertanya, benarkah ini sifat kanakan-kanakan? Kalau untuk saat ini, SBY
bisa jadi termasuk presiden yang kekanak-kanakan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar