|
Pemilu
2014 tinggal menghitung bulan. Tetapi, jumlah pemilih dalam daftar pemilih
tetap (DPT) belum berhasil disepakati. Mungkin baru dua minggu lagi, daftar
pemilih tetap itu akan dapat diketahui. Sementara suasana pemilu telah merebak.
Foto-foto
caleg telah bertebaran dan wacana capres telah bermunculan. Ada yang
mengkhawatirkan, Pemilu 2014 akan kehilangan kredibilitasnya sehingga jumlah
pemilih yang golput akan meningkat.
Pemilu
Indonesia adalah pemilu yang sangat kompleks dalam aspek penyelenggaraannya.
Sejak penentuan jumlah partai peserta pemilu telah terjadi permasalahan. Sengketa
verifikasi partai pemilu diselesaikan melalui jalur hukum. Penyelenggara
pemilunya terdiri atas tiga badan independen yang bisa saling berbeda pendapat
yaitu KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Toh
kalau ada masalah, jalur hukum yang menyelesaikan. Daftar pemilih di zaman
e-KTP mestinya telah dapat diketahui lebih awal. Ternyata, produk e-KTP masih
belum dapat sepenuhnya dipercayai sehingga ada tuntutan Menteri Dalam Negeri
untuk mundur.
Mengherankan,
perbedaan jumlah pemilih cukup bermakna. Apakah Pemilu 2014 akan terselenggara
dengan jumlah pemilih yang cacat? Doa kita, hal ini tidak terjadi. Sebab,
jumlah pemilih yang cacat tidak saja akan menodai demokrasi kita, tetapi juga
dapat menjadi sumber konflik yang bisa sengit. Penyelenggara pemilu selayaknya
mengantisipasi fenomena ini.
Selain
itu, proses penghitungan suara juga rawan konflik. Meski di tempat pemungutan
suara tidak akan menjadi masalah, proses berikutnya bisa menjadi masalah.
Perjalanan penghitungan suara, dari tempat pemungutan suara sampai final secara
nasional, ternyata bisa menjadi masalah.
Meski
KPU sudah diperlengkapi dengan teknologi canggih, justru penggunaan teknologi
canggih itulah yang ternyata dapat menimbulkan permasalahan. Garbage in, garbage out. Kalau garbage in tidak benar, garbage out pasti keliru. Kejujuran dan
profesionalisme penyelenggara pemilu dalam hal ini dipertaruhkan.
Terakhir
adalah masalah pencalonan presiden atau wakil presiden. Meski sudah begitu
banyak nama calon presiden beredar, baru hasil pemilu legislatif bulan April
2014 yang akan dapat memastikan siapa capres/cawapres yang lolos. Tidak
mustahil, calon presiden/wakil presiden yang telah muncul bakal gagal sebagai
calon presiden/wakil presiden. Nasibnya sekadar bangga sebagai bakal calon.
Dengan
kompleksnya penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia, setiap lima tahun
sekali, kita masih akan disibukkan dengan penyusunan UU Pemilu yang baru.
Demikian pula UU tentang Pilkada. Semua itu mengindikasikan bahwa sistem pemilu
kita masih mencari bentuknya yang mantap. Dapatkah kita menemukan sistem pemilu
yang lebih sederhana, namun tetap demokratis, sehingga sistem politik kita
tidak high cost ?
Hitunglah
biaya pemilu yang harus kita keluarkan, selain mahal, juga belum tentu
melahirkan demokrasi yang kita harapkan. Inilah mengapa kita perlu
menyelamatkan Pemilu 2014, agar segala jerih payah dan biaya yang telah
membebani bangsa ini bisa melahirkan pemilu yang lebih baik, lebih demokratis
sehingga pasca-Pemilu 2014, kita bisa menikmati kehidupan politik yang lebih
baik.
Semoga
harapan ini tidak sekadar sebagai mimpi di siang hari. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar