|
Butet Kartaredjasa dan ”budayawan” lainnya dari Yogyakarta
diberitakan kesel terhadap penyelenggara Kongres Kebudayaan. Sebabnya?
Digelar di kota perjuangan, mereka tak diundang pada acara yang konon akbar
tersebut. Sebagai tuan rumah, sekaligus pelaku budaya mumpuni, tersinggung
dong! Tapi lain Butet, lain pula lakon saya: saya bukan tuan rumah, malahan
asing, dan justru diundang!
Bisa dibayangkan pikiran-pikiran yang berduyun di benak saya
saat menerima undangan untuk bermakalah-ria pada kongres. Mulai dari yang penuh
kebanggaan: ”Jean, tidak percuma kau malang-melintang puluhan tahun di bidang
kebudayaan, akhirnya dapat pengakuan juga,” hingga yang bombastis-intelektual
bernada narsis: ”Wah! agaknya kini kau menjadi lambang dari keindonesiaan baru,
yang terbuka, plural dan humanistis!!!” Dengungan ”Indonesia Raya” terbesit
sekilas di benak saya. Mengharu-biru, seakan nasib saya mesti selaras dengan
nasib bangsa ini…. Mustahil diri ini tidak senang dan tidak bangga!
Senang, tetapi juga gamang, dan inilah sebabnya: Tepat waktu
saya akan mengagungkan postur diri sebagai ”sang cendekia” pilihan itu, tak
sengaja saya bertemu dengan salah seorang teman, sejurus acara akan dibuka dan
diresmikan. Teman itu tak lain adalah salah satu dedengkot kongres ini yang
berkata dengan ringan: ”Jangan-jangan kau seperti para pemain bule di PSSI,
yang didatangkan ramai-ramai dengan harapan mencetak gol, bahkan dinaturalisasi
segala, tetapi nyatanya gol itu boleh dikata tidak ada alias nihil, kecuali
dalam siaran iklan rokok di televisi!” Wah! Itulah gol yang sebenarnya!
Bagaimana mungkin tidak memerah muka saya yang memang sudah bule ini. Apalagi,
belum pernah menjadi pemain liga sepak bola di negeri asal; belum pula
dianugerahi kewarganegaraan oleh Presiden! Apakah ini mencerminkan bahwa
kondisi ketahanan kebudayaan Indonesia dirasakan telah kuat ataukah bahwa
persepakbolaan dianggap jauh lebih penting bagi harga diri bangsa daripada
bidang kebudayaan? Saya tidak berani memberikan jawaban. Maaf, takut ada yang
tersinggung!
Tak usah berpolemik, yang penting bagi saya: apakah pada
Kongres Kebudayaan yang agung ini, pesan yang saya coba sampaikan sudah gol
atau tidak. Saya tidak tahu pasti. Tetapi, bukan berarti saya tidak mencobanya.
Pada waktu tampil di kongres, sebagai salah satu narasumber, saya sebenarnya
cukup hadir meyakinkan, suara saya bagus dan dalam, juga tak kurang pentingnya
lagak sok serbatahu saya yang pastilah cukup mengundang pandang—maklum kodrat
bule—meski dari sudut isi, apa yang saya paparkan belum tentu mengena! Memang
saya cukup banyak mendapat aplaus, tetapi—harus tahu diri—makalah paling hampa
pun dalam acara itu sering mendapat aplaus juga. Alhasil, diri ini bertambah
bingung.
Pesan
banal
Pesan saya sebenarnya banal meskipun boleh jadi dianggap
berani! ”Kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah,” tutur Ki
Hajar Dewantara 80-an tahun yang lalu! Gaung kalimat itu terasa elok hingga
kini oleh karena menyokong semangat persatuan Nusantara. Maka, tak heran
apabila akhirnya disisipkan ke dalam UUD 1945. Tetapi, apa yang terjadi pada
sejarah? Berubah, tentu saja!
Pada waktu kemerdekaan, semua kebudayaan daerah
berlandaskan tatanan perekonomian yang agraris. Kini, tatanan agraris itu,
kalau tidak mati, ya sudah sekarat. Maka ”tradisi” asli tidak lagi
produktif—paling-paling reproduktif dari memori lama. Keberadaannya telah
tergantikan oleh ”invented tradition” (Hobsbawn), yang telah direkayasa,
terutama oleh rezim Orba, dengan salah satu tujuannya menjauhkan para seniman
dari hasrat untuk membahasakan masalah-masalah kekinian yang (terlalu) kerap
sosial.
Itulah sebabnya ”kebudayaan Indonesia” (resmi) hingga kini,
terutama di daerah, tetap sering identik dengan gemerlap eksotis nan hampa,
sedangkan amat sedikit langkah nyata diambil untuk merekam sisa memori asli
daerah atau lokal yang bersangkutan, serta tetap sulit bagi para kreator
kontemporer untuk mendengungkan kreasinya, yang biar pun dianggap ”liar”,
merupakan bagian penting dari tawaran ide-ide yang membangun kebudayaan yang
hidup sekaligus nan adab.
Sesungguhnya, apabila Indonesia ingin tampil sebagai
”superpower” kebudayaan dalam pergaulan global, sebagaimana kadang diimpikan
banyak orang, semua buah kreativitas—sisa memori asli, kreasi kekinian, dan
bahkan hasil rekayasa kebijakan—masing-masing hendaknya harus dicatat dan
didukung, serta diberikan keleluasaan untuk berbaur-proses di dalam kuali
kebersamaan penciptaan. Pasti capaian karyanya akan jauh lebih marak dan
menarik.
Namun, bagaimana pun juga aral-lintangnya, bolehlah kita
tetap optimistis untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Apa pun kelak yang
terjadi terkait naturalisasi saya, setidaknya dengan nada optimistis saya
mencatat bahwa tim sepak bola muda PSSI kita—di bawah usia 19 tahun—terbukti
bisa berjaya mencetak gol berkali-kali, bahkan melumat raksasa Asia yang
berulang juara, Korea Selatan. Dan luar biasanya lagi, mereka tampil tanpa
pemain bule seorang pun. Astaga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar