|
Ada
yang laju dan yang layu. Dalam rentang waktu 85 tahun sejak Kerapatan Besar
Pemuda Indonesia (KBPI) II, 28 Oktober 1928, ada garis kontinuitas dan
diskontinuitas antara generasi hari ini dan generasi Sumpah Pemuda.
Yang terus melaju adalah kualitas kecerdasan anak-anak muda
negeri ini. Adapun yang melayu adalah kepeloporan politik kaum muda untuk
merajut kecerdasan yang berserak menjadi kekuatan progresif.
Bayangkan, pada usia 25 tahun Bung Karno telah melahirkan
pikiran-pikiran visioner untuk menyintesiskan antara ”Nasionalisme, Islamisme,
dan Marxisme”, yang menjadi bantalan vital bagi perumusan dasar negara. Pada
usia 26 tahun, Bung Hatta telah memikirkan dasar-dasar ”Indonesia Merdeka”
(Indonesia Vrije). Pada usia 25 tahun, Muhammad Yamin telah menyodorkan gagasan
”Persatuan dan Kebangsaan Indonesia”, dalam KBPI II, dengan secara visioner
melihat kemustahilan negeri seluas Indonesia hanya memiliki satu bahasa;
sehingga yang dituntut oleh persatuan kebangsaan bukanlah berbahasa satu,
melainkan ”menjunjung bahasa persatuan”, bahasa Indonesia. Pikiran-pikiran
cemerlang generasi muda pada dekade 1920-an ini mencerminkan kegeniusan respons
minoritas kreatif yang sepadan dengan tantangan zamannya.
Kualitas
pemuda saat ini
Dalam konteks yang berbeda, minoritas kreatif pemuda hari ini
juga tak kalah cemerlangnya. Tanda-tandanya bisa dilihat dari keberhasilan
delegasi seni dan sains Indonesia dalam kompetisi antarbangsa. Dalam berbagai
ajang olimpiade internasional di bidang matematika, fisika, kimia, dan robotik,
para pelajar dan mahasiswa Indonesia bukan saja bisa bersaing dengan utusan
negara-negara terpandang seperti Amerika Serikat, Jepang, China, dan India,
bahkan berulang kali memecundangi mereka. Ratusan genius muda Indonesia
memainkan peran penting di pusat-pusat pengetahuan dan industri dunia.
Kantong-kantong kreatif negeri ini, seperti Bandung,
Yogyakarta, dan Bali, juga seperti tak pernah mati akal, terus-menerus
melahirkan kreativitas baru yang memberi nilai tambah. Bukanlah suatu isapan
jempol apabila Prof Yaumil Agoes Achir (almarhum) pernah memperkirakan, sekitar
2 persen dari manusia Indonesia masuk dalam kategori genius. Lebih dari itu,
Indonesia sebagai masyarakat multi-etnis tampaknya mengandung potensi
multi-inteligensia dan multi-talenta, yang memberikan potensi kejayaan kepada
bangsa.
Pada setiap generasi, kuantitas pemuda sebagai pemikir dan
pelopor itu selalu merupakan minoritas kreatif. Tahun 1926, pada masa puncak
aktivitas politik Perhimpunan Indonesia (PI), dari 673 lebih mahasiswa
Indonesia di Belanda pada saat itu, hanya 38 orang yang menjadi aktivis PI
(Ingleson, 1979: 2). Demikian pula hanya dengan situasi kepemudaan di Tanah
Air. Menyusul berdirinya tiga perguruan tinggi pada 1920-an (THS, RHS, dan
GHS), beberapa klub mahasiswa universitas bermunculan di Hindia, dengan arus
utamanya bersifat rekreatif. Namun, di sela arus utama klub-klub berorientasi
rekreasi, muncullah sekelompok kecil mahasiswa sadar politik yang mendirikan
perkumpulan berorientasi politik dengan pengikut yang sangat terbatas, seperti
Algemene Studieclub, yang dipimpin Soekarno. Sejarah mencatat, minoritas
kreatif inilah yang menjadi pelopor perubahan, yang mengonseptualisasikan
”Indonesia” sebagai simpul persatuan dan kemerdekaan.
Alhasil, tidak perlu terlalu diratapi jika kebanyakan anak
muda hari ini lebih suka menghabiskan waktu denganchatting di media
sosial, bersenang-senang di pusat belanja, atau pelesiran ke tempat-tempat
wisata. Toh, masih ada minoritas pemuda kreatif yang terlibat dalam kerja-kerja
inovatif, kewirausahaan, dan aksi-aksi politik. Malahan, sesuai dengan struktur
demografis Indonesia saat ini, minoritas kreatif masa kini jumlahnya jauh lebih
besar dengan varietas bidang kreatif yang lebih beragam ketimbang generasi
sebelumnya.
Struktur demografis Indonesia membengkak pada penduduk
berusia muda. Jika definisi pemuda mengikuti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yakni mereka yang berusia 16 sampai 30
tahun, maka jumlahnya pada saat ini menurut SUPAS 2005 sekitar 62,24 juta, atau
setara dengan 25 persen dari total penduduk Indonesia. Jika satu persen saja
dari total pemuda itu bersifat kreatif, kita akan mendapatkan gambaran pemuda
kreatif dengan magnitude yang tiada tara dibandingkan generasi Sumpah
Pemuda.
Letak masalahnya, jika minoritas kreatif pada generasi Sumpah
Pemuda mampu mempertautkan dan mengorganisasi potensi-potensi kreatif yang
berserak menjadi kesatuan generasi perubahan, generasi hari ini belum
menunjukkan kesanggupan seperti itu dengan risiko bisa menuju ”generasi yang
hilang” (the lost generation).
Pengertian generasi dalam sosiologi tidak sekadar merepresentasikan kolektivitas
atas dasar kesamaan usia, tetapi juga kesamaan pengalaman, visi, dan panggilan
kesejarahan yang membentuk kekuatan perubahan. Ron Eyerman menyatakan,
”Konsepsi sosiologis mengenai generasi mengimplikasikan lebih dari sekadar
terlahir pada masa yang hampir sama. Konsepsi itu menyatakan sebuah kesamaan
pengalaman sehingga menciptakan sebuah dasar bagi cara pandang yang sama,
orientasi tujuan yang sama, sehingga bisa mempersatukan para pelaku, bahkan
meskipun mereka tak pernah saling bertemu.”
Dalam pandangan Karl Mannheim, sebuah generasi membentuk
identitas kolektifnya dari sekumpulan pengalaman yang sama, yang melahirkan
”sebuah identitas dalam cara-cara merespons, dan rasa keterikatan tertentu
dalam suatu cara di mana semua anggotanya bergerak dengan dan terbentuk oleh
kesamaan pengalaman-pengalaman mereka”. Tidak ada generasi perubahan tanpa
usaha kesengajaan. Generasi Sumpah Pemuda secara sengaja merespons tantangan
kolonialisme dan feodalisme lewat penciptaan ruang publik, wacana publik, dan organisasi
aksi kolektif yang mempertautkan minoritas kreatif yang berserak menjadi blok
nasional pengubah sejarah (historical bloc).
Dengan mendirikan rumah penerbitan, koran, studieclub,
sekolah dan jaringan pergaulan lintas kultural, mereka membentuk ruang publik
baru sebagai wahana collective social learning. Ruang publik ini menjadi tempat
pertemuan minoritas kreatif yang tercerahkan, ajang perseorangan terhubung ke
dalam jaringan memori kolektif lewat komunikasi intersubyektif, dengan ikhtiar
membebaskan diri dari dominasi kuasa dan uang. Di dalam kehadiran ruang publik
baru ini, minoritas kreatif membangun agenda setting lewat
pengarusutamaan agenda bersama sebagai wacana dominan di ruang publik. Melalui
penciptaan ruang publik, wacana publik dan kekuatan nalar publik, terbentuklah
suatu konektivitas kolektivitas yang dalam kekuatan artikulatifnya menjadi
katalis bagi perwujudan politik perubahan.
Adapun minoritas kreatif generasi hari ini, ibarat matahari,
rerumputan dan pepohonan yang bergerak dalam sunyi. Tanpa usaha sengaja untuk
mengangkat partikularitas sel-sel kreatif menjadi komonalitas jaringan kreatif,
kekuatan minoritas kreatif terpencar ke dalam unit-unit yang terkucil.
Munculnya media sosial baru dengan kencenderungan individuasi yang sangat kuat
semakin memperkuat tendensi ke arah atomisasi kekuatan-kekuatan kreatif.
Sesekali jaringan kesadaran yang merambat melalui media sosial ini memang bisa
melahirkan kekuatan korektif. Namun, kekuatan korektif ini, tanpa keberadaan
agenda dan pengorganisasian bersama, sering kali hanya sekadar kekuatan reaktif
yang akan segera padam begitu daur isu memudar.
Tampak jelas, kemampuan mengorganisasikan gagasan secara
publik-politiklah yang bisa mengangkat partikularitas kekuatan kreatif menjadi
kekuatan perubahan kolektif. Seperti kata Hannah Arendt, politiklah yang
menjadi ”ruang penampakan” (space of appearance) bagi ide-ide yang terpendam.
Tanpa kesanggupan mengorganisasikan diri secara politik, kekuatan-kekuatan
kreatif hari ini, betapapun besar jumlahnya, tak membuat ide-ide mereka
terungkap secara publik; tak mampu membangkitkan inspirasi kreatif bagi banyak
orang; dan tak mendorong pengikatan bersama kekuatan-kekuatan progresif untuk
bangkit bersama membentuk generasi perubahan.
”Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki
pemuda,” ujar Tan Malaka. Masalahnya, setiap zaman memiliki tantangannya
tersendiri yang menuntut respons yang berbeda. Seturut dengan itu, idealisme
pemuda juga harus diletakkan dalam konteks tantangan zamannya.
Pemuda
dan politik
Tantangan idealisme hari ini adalah bagaimana
mentransformasikan individu-individu yang baik dan kreatif menjadi kolektivitas
yang baik dan kreatif. Seperti kata Aristoteles, kebaikan manusia sebagai
manusia tidak selalu identik dengan kebaikan manusia sebagai warga negara.
Keidentikan antara manusia yang baik dan warga negara yang baik hanya bisa
berlangsung dalam suatu negara yang baik. Karena dalam suatu negara yang buruk,
manusia baik dan kreatif bisa saja menjadi warga negara yang buruk dan destruktif.
Negara yang baik memerlukan perpaduan antara warga negara
yang baik dan institusi negara yang baik. Untuk yang pertama, tantangan
generasi hari ini adalah memperjuangkan nation and character
buildingmelalui pendidikan kewargaan (civic education) yang baik. Untuk yang
kedua, tantangannya memperjuangkan visi restorasi dan transformasi
institusi-institusi kenegaraan lewat pendalaman dan perluasan demokrasi. Visi
restorasi berisi konsepsi untuk memulihkan kembali kondisi bangsa agar bisa
merasa lebih sehat, lebih kuat dan lebih bersemangat setelah mengalami
kelemahan, kemurungan, dan keputusasaan, dengan cara menjangkarkan kembali
pilihan-pilihan kebijakan dan pembangunan pada nilai-nilai luhur bangsa. Visi
transformasi berisi konsepsi untuk mengubah keadaan dengan jalan menawarkan
hal-hal baru yang lebih baik, lebih sehat dan lebih kuat, dengan tetap
mempertimbangkan koherensinya dengan basis nilai kebangsaan.
Semuanya itu memerlukan keterlibatan pemuda secara politik.
Politik dalam arti ini bukanlah politik sebagai bahasa teori ”pilihan
rasional”, bahwa rasionalitas kepentingan individual harus dibayar oleh
irasionalitas kehidupan kolektif. Politik dalam konsepsi kaum muda merupakan
usaha resolusi atas problem-problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan
kolektif. Mirip dengan pemahaman Aristotelian, politik dipandang sebagai seni
mulia untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum.
Peran politik kaum muda seperti itu kini dipanggil kembali
oleh sejarah, ketika politik sebagai seni mengelola republik demi kebajikan
kolektif mulai tersisihkan oleh apa yang disebut Machiavelli sebagai raison
d’état(reason of state) yang berorientasi kepentingan sempit. Jika ”politik”
sejati memiliki kepedulian untuk mempertahankan kepentingan kolektif melalui
perbaikan otoritas publik, reason of state memprioritaskan
kepentingan elite dan kelompok penguasa dengan mengatasnamakan ”kebajikan
publik”.
Manakala elemen-elemen kemapanan menjadikan politik sebagai
seni memerintah dengan menipu rakyat, pemuda-pemuda kreatif hari ini perlu
secara sadar menghadirkan suatu creative
destruction dengan menawarkan ide-ide progresif dalam semangat
republikanisme. Tendensi menuju ”generasi yang hilang” harus dicegat dengan
secara sadar membangun kebersamaan pengalaman, visi, dan panggilan kesejarahan
lewat penciptaan ruang publik, wacana publik, dan aksi publik yang
mempertautkan minoritas kreatif yang berserak menjadi kolektivitas progresif
generasi perubahan.
Di hadapan mahkamah sejarah, generasi muda hari ini
dihadapkan pada ”wajah janus” (janus face)
keberadaannya sendiri. Kehadiran penduduk usia muda dalam jumlah besar, jika
berhasil mengelolanya, bisa menjadi ”bonus demografis” yang menjanjikan
kejayaan bangsa; tetapi jika gagal meresponsnya secara kreatif bisa menjelma
menjadi ”bencana demografis” yang melumpuhkan bangsa. Dalam titik persilangan
seperti itu, idealisme muda kembali dipanggil untuk ”bersumpah”, seperti tekad
yang pernah diikrarkan Bung Hatta: ”Di
atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku
menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan
dalam dadaku.” ●
Thanks infonya. Oiya ngomongin generasi muda, masalah yang dihadapi saat ini bisa dibilang lebih rumit sih, salah satunya terkait masalah finansial. Makanya ga heran kalo anak-anak muda disarankan buat investasi sedini mungkin. Lalu, apa sih alasan sebenarnya di balik hal itu? Yuk cek jawabannya di sini: Alasan harus investasi sejak muda
BalasHapus