|
Di depan para guru TK, Pamela Phelps PhD dan Laura
Stannard PhD menunjukkan hasil penelitiannya: anak-anak sudah belajar sejak
usia dini. Meski belum bisa berbicara, mereka sudah berkomunikasi. Di Rumah
Perubahan, kami menemukan paradoksnya: Banyak orang dewasa berhenti belajar
setelah mendapatkan ijazah terakhir
Kalau digabungkan, hasilnya menjadi minimalis: Belajar hanya di sekolah. Maka, tidak terjadilah a better generation. Pertama, sebagian besar anak Indonesia tidak dilatih belajar oleh orang tua sedari usia dini. Kedua, begitu dewasa, setelah selesai sekolah, mereka yang berhenti belajar akan berubah menjadi The Campers. Ini julukan bagi mereka yang "berhenti", yaitu berkemah karena letih sekolah, lalu tidak mengejar prestasi kehidupan pada tahap selanjutnya.
Akibatnya, semua ini bisa menjadi benih-benih kemunduran. Pengangguran, kemiskinan, kebodohan, kemarahan, korupsi, ingin cepat-cepat kaya secara tidak realistis, mudah menyerah, dan akhirnya banyak orang yang hilang dari peta karir.
Jadi, masalahnya ada di mana? Usia dewasa atau usia dini?
Minggu lalu pula, Djoko Santoso Moelyono yang pernah menjadi CEO Bank BRI meluncurkan bukunya yang berjudul: The Climbers. Mengembangkan logika dari kajian Paul Stoltz yang berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities, Djoko berkaca pada sejarah hidup pribadinya.
Berbeda dengan harapan kebanyakan orang tua yang membanggakan anak-anaknya mendapat nilai rapor yang bagus, Djoko kecil justru mengalami kesulitan. Dengan nilai rapor di sekolah yang pas-pasan (bahkan kurang bagus), orang tuanya mengalihkan strategi. Di rumah dia dilatih berpikir. Satu hal yang masih dia ingat adalah saat diminta memikirkan mengapa cangkir ada telinganya, sedangkan gelas tidak? Sejak itu, otak kanannya bergerak seimbang dengan otak kirinya.
Sejarah kemudian terulang pada anak-anaknya. Namun, keluarga ini sudah memiliki pengalaman. Maka, ketimbang melatih kecerdasan yang biasa diperoleh, anak-anak Prof Djoko dilatih menghadapi berbagai kesulitan. "Padahal, sebagai Dirut BRI, saat itu saya mampu memberikan anak-anak fasilitas saat mereka bersekolah di luar negeri. Istri saya melarangnya. Maka, anak-anak harus berjuang menghadapi kesulitan," ujar Djoko.
Anak-anak yang dilatih menghadapi berbagai kesulitan itulah, yang kelak akan memiliki kemampuan sebagai The Climbers. Ini berbeda benar dengan anak-anak yang biasa mendapatkan kemudahan. Setiap kali menghadapi kesulitan, anak-anak yang dibesarkan dalam kultur kemudahan akan lebih cepat menyerah. Namun, ini tidak berarti anak-anak yang biasa menghadapi kesulitan akan menjadi gigih berjuang.
Semua terpulang pada pendidikan anak-anak di rumah sejak usia dini. Itulah yang dibahas Laura Phelps PhD, pelopor metode BCCT (Beyond Center And Circle Time) dalam pendidikan anak-anak usia dini. Bagi Laura, di usia dini terbentuk karakter-karakter yang akan mengantarkan seorang anak ke dunia dewasa.
Dalam situs BCCT yang berpusat di Florida, Laura Phelps menyebutkan kurikulum yang dia kembangkan didasarkan pada riset yang dilakukannya selama 35 tahun. Riset itu melatih keterampilan dan pengetahuan dasar anak-anak preschool (3-5 tahun). Tetapi, di Jakarta dia melanjutkan penjelasan dengan riset-riset terbaru yang dilakukan pada anak-anak usia yang lebih dini.
Kajian-kajian seperti ini menjadi sangat penting bukan hanya sebagai bahan akademik, melainkan juga bagi negara untuk mempersiapkan generasi baru yang lebih unggul di masa depan. Ketika pasangan-pasangan muda memilih berada di dunia kerja dan negara membutuhkan kaum muda yang produktif tetap berada di dunia kerja, dibutuhkan serangkaian kebijakan agar anak-anak tetap bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Misalnya saja, bagaimana negara menyiapkan pendidikan anak usia dini yang berkualitas di area-area permukiman atau di lokasi dekat tempat bekerja.
Namun, di depan forum yang diselenggarakan sekolah Al Falah Jakarta, Laura Phepls mengingatkan, anak-anak harus diajak berkomunikasi sejak usia dini. Bahkan, jauh sebelum mampu berbicara, bayi sudah mendengar dan memahami orang tua dan lingkungannya. Bayi sudah berkomunikasi dengan senyum, gerakan mata, dan bahasa tubuh.
"Orang tua yang gelisah, yang senang membawa anak-anak bayinya ke berbagai tempat keramaian, dapat membuat anak kehilangan membangun keterampilan fokusnya. Mal yang riuh memang menyenangkan bagi orang tua yang pernah bekerja, namun amat mengganggu cara anak mendapatkan keterampilan fokus anak-anak," ujarnya. Anak-anak perlu dilatih sejak dini dalam membentuk regulasi diri. Dengan begitu, dia kelak menjadi anak yang tidak mudah menyerah, hidup dalam aturan, dan kreatif.
Maka, Indonesia perlu mengembangkan pusat-pusat observasi anak dan memperkuat program-program studi pengembangan anak yang dapat dijadikan rujukan oleh orang tua untuk membangun generasi yang cerdas dan tahan uji. Saya kira, dengan metode BCCT, bangsa ini bisa belajar banyak untuk membangun generasi baru yang lebih tangguh. ●
Kalau digabungkan, hasilnya menjadi minimalis: Belajar hanya di sekolah. Maka, tidak terjadilah a better generation. Pertama, sebagian besar anak Indonesia tidak dilatih belajar oleh orang tua sedari usia dini. Kedua, begitu dewasa, setelah selesai sekolah, mereka yang berhenti belajar akan berubah menjadi The Campers. Ini julukan bagi mereka yang "berhenti", yaitu berkemah karena letih sekolah, lalu tidak mengejar prestasi kehidupan pada tahap selanjutnya.
Akibatnya, semua ini bisa menjadi benih-benih kemunduran. Pengangguran, kemiskinan, kebodohan, kemarahan, korupsi, ingin cepat-cepat kaya secara tidak realistis, mudah menyerah, dan akhirnya banyak orang yang hilang dari peta karir.
Jadi, masalahnya ada di mana? Usia dewasa atau usia dini?
Minggu lalu pula, Djoko Santoso Moelyono yang pernah menjadi CEO Bank BRI meluncurkan bukunya yang berjudul: The Climbers. Mengembangkan logika dari kajian Paul Stoltz yang berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities, Djoko berkaca pada sejarah hidup pribadinya.
Berbeda dengan harapan kebanyakan orang tua yang membanggakan anak-anaknya mendapat nilai rapor yang bagus, Djoko kecil justru mengalami kesulitan. Dengan nilai rapor di sekolah yang pas-pasan (bahkan kurang bagus), orang tuanya mengalihkan strategi. Di rumah dia dilatih berpikir. Satu hal yang masih dia ingat adalah saat diminta memikirkan mengapa cangkir ada telinganya, sedangkan gelas tidak? Sejak itu, otak kanannya bergerak seimbang dengan otak kirinya.
Sejarah kemudian terulang pada anak-anaknya. Namun, keluarga ini sudah memiliki pengalaman. Maka, ketimbang melatih kecerdasan yang biasa diperoleh, anak-anak Prof Djoko dilatih menghadapi berbagai kesulitan. "Padahal, sebagai Dirut BRI, saat itu saya mampu memberikan anak-anak fasilitas saat mereka bersekolah di luar negeri. Istri saya melarangnya. Maka, anak-anak harus berjuang menghadapi kesulitan," ujar Djoko.
Anak-anak yang dilatih menghadapi berbagai kesulitan itulah, yang kelak akan memiliki kemampuan sebagai The Climbers. Ini berbeda benar dengan anak-anak yang biasa mendapatkan kemudahan. Setiap kali menghadapi kesulitan, anak-anak yang dibesarkan dalam kultur kemudahan akan lebih cepat menyerah. Namun, ini tidak berarti anak-anak yang biasa menghadapi kesulitan akan menjadi gigih berjuang.
Semua terpulang pada pendidikan anak-anak di rumah sejak usia dini. Itulah yang dibahas Laura Phelps PhD, pelopor metode BCCT (Beyond Center And Circle Time) dalam pendidikan anak-anak usia dini. Bagi Laura, di usia dini terbentuk karakter-karakter yang akan mengantarkan seorang anak ke dunia dewasa.
Dalam situs BCCT yang berpusat di Florida, Laura Phelps menyebutkan kurikulum yang dia kembangkan didasarkan pada riset yang dilakukannya selama 35 tahun. Riset itu melatih keterampilan dan pengetahuan dasar anak-anak preschool (3-5 tahun). Tetapi, di Jakarta dia melanjutkan penjelasan dengan riset-riset terbaru yang dilakukan pada anak-anak usia yang lebih dini.
Kajian-kajian seperti ini menjadi sangat penting bukan hanya sebagai bahan akademik, melainkan juga bagi negara untuk mempersiapkan generasi baru yang lebih unggul di masa depan. Ketika pasangan-pasangan muda memilih berada di dunia kerja dan negara membutuhkan kaum muda yang produktif tetap berada di dunia kerja, dibutuhkan serangkaian kebijakan agar anak-anak tetap bisa mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Misalnya saja, bagaimana negara menyiapkan pendidikan anak usia dini yang berkualitas di area-area permukiman atau di lokasi dekat tempat bekerja.
Namun, di depan forum yang diselenggarakan sekolah Al Falah Jakarta, Laura Phepls mengingatkan, anak-anak harus diajak berkomunikasi sejak usia dini. Bahkan, jauh sebelum mampu berbicara, bayi sudah mendengar dan memahami orang tua dan lingkungannya. Bayi sudah berkomunikasi dengan senyum, gerakan mata, dan bahasa tubuh.
"Orang tua yang gelisah, yang senang membawa anak-anak bayinya ke berbagai tempat keramaian, dapat membuat anak kehilangan membangun keterampilan fokusnya. Mal yang riuh memang menyenangkan bagi orang tua yang pernah bekerja, namun amat mengganggu cara anak mendapatkan keterampilan fokus anak-anak," ujarnya. Anak-anak perlu dilatih sejak dini dalam membentuk regulasi diri. Dengan begitu, dia kelak menjadi anak yang tidak mudah menyerah, hidup dalam aturan, dan kreatif.
Maka, Indonesia perlu mengembangkan pusat-pusat observasi anak dan memperkuat program-program studi pengembangan anak yang dapat dijadikan rujukan oleh orang tua untuk membangun generasi yang cerdas dan tahan uji. Saya kira, dengan metode BCCT, bangsa ini bisa belajar banyak untuk membangun generasi baru yang lebih tangguh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar