|
KEMENANGAN tim nasional (timnas) Indonesia U-19 atas Korea
Selatan awal Oktober lalu menjadi sejarah bagi sepak bola negeri ini. Betapa
tidak, setelah menjadi kampiun dalam Piala AFF 2013 yang menjadi pelipur bagi
penantian 22 tahun lamanya, Evan Dimas dan kawan-kawan berhasil menumbangkan
tim `Negeri Ginseng' yang notabene juara bertahan selama 12 tahun di ajang
Piala AFC U-19. Ini bukan saja sejarah dalam sepak bola muda Indonesia,
melainkan juga kebangkitan sepak bola nasional.
Lebih jauh, prestasi luar biasa dari Evan Dimas dan kawan-kawan
bisa menjadi momentum kebangkitan bagi bangsa ini. Seperti ditandaskan oleh
pelatihnya, Indra Sjafrie, Indonesia adalah bangsa besar yang bisa menaklukkan
siapa pun. Tentu saja harus ada harga yang dibayar untuk meraih hal tersebut:
kerja keras dan kepercayaan diri.
Satu hal penting yang bisa kita petik dari pelatih Indra
adalah pembangunan mental bagi anakanak didiknya. Inilah kunci keberhasilan
sekaligus kebangkitan yang ditunjukkan oleh Timnas U-19. Tanpa mental yang
bagus, hampir musta hil bagi timnas bisa menjuarai Piala AFF dan menang atas
Korsel.
Inilah yang tengah hilang kini--utamanya pada generasi muda
kita. Sekadar mengambil contoh aktual dari persoalan tawuran yang laten di
kalangan kawula muda kita ialah peristiwa penyiraman air keras di bus kota oleh
seorang pelajar SMA yang melukai 16 orang. Tentu getir perasaan siapa pun yang
mendapati kenyataan itu. Sudah demikian anjlokkah nalar kemanusiaan generasi
muda kita karena begitu entengnya mereka merusak kehidupan orang. Laku tanpa
nalar sehat seolah lekat dengan mereka.
Laku budaya
Tentu banyak penjelasan terkait dengan fenomena di atas.
Namun, jika kita tilik dari kacamata kebudayaan, seperti ada yang bengkok dari
perjalanan budaya bangsa ini. Sekolah kita semakin banyak bertebaran, mulai
peringkat `diakui', `disamakan', hingga yang bertaraf internasional (meski
sudah dihapus kemudian). Sekolahsekolah unggulan bermunculan di mana-mana.
Kampus-kampus sudah berdiri di setiap kabupaten dan kota, mulai yang negeri
hingga yang swasta. Namun, semua itu ternyata tidak berkorelasi positif dengan
pertumbuhan mental dan kebudayaan bangsa yang adigung. Kita tidak menemukan
jati diri kita sebagai sebuah bangsa di sana. Malah yang marak adalah perilaku
yang jauh dari keluhuran.
Jati diri ini yang dalam bahasa Bung Karno disebut sebagai character building. Persoalan character building sudah menjalar pada
seluruh aspek kebangsaan kita dewasa ini. Bisa dikatakan, kita tengah
kehilangan panduan pembangunan budaya bangsa.
Jika kita simak kronik modernitas di Indonesia, kesadaran akan
pembangunan mental bangsa sudah dimulai saat masa pergerakan Indonesia awal
abad XX.
Berbagai perkumpulan daerah lahir hingga kemudian mereka bertemu pada kesadaran
bersama sebagai sebuah bangsa dengan Sumpah Pemuda 1928. Namun hal itu tidak
cukup. Kesadaran sebagai sebuah bangsa yang memiliki identitas bersama perlu
disemai, dibangun, dan dibentuk. Itulah mengapa ada nation and character building dari Bung Karno seusai kemerdekaan.
Lewat Pancasila dan berbagai proyek politik lainnya, Bung
Karno menyemaikan proses pembangunan karakter bangsa. Kehebatan sikap itu
tecermin dalam pergaulan internasional lewat Konferensi Asia-Afrika atau
Ganefo, misalnya.
Hanya, kini Pancasila digunakan untuk menopang kekuasaan
yang otoriter. Hasilnya, Pancasila dangkal dipahami dan kering dari dimensi
spiritualnya. Kini, kaum muda harus bangkit dan menjadi aktor kembali aktor
kembali dalam sejarah perjalanan bangsa.
Program Empat Pilar
Bangsa yang digagas mantan Ketua MPR (alm) Taufiq Kiemas cukup kontributif
bagi upaya pembangunan kembali mental dan karakter bangsa. Kemunculan
kelompok-kelompok politik yang menggagas gerakan perubahan dengan penekanan
untuk kembali pada jati diri bangsa, juga cukup signifikan. Semisal, gagasan
Restorasi Indonesia, yang bisa kita baca sebagai sintesis atas dialektika
perubahan bangsa ini adalah sebuah gagasan yang perlu diapresiasi.
Peran penting kaum muda tidak sekadar sebagai generasi
penerus bangsa. Lebih dari itu, kaum muda adalah aktor-aktor perubahan
sepanjang sejarah. Kaum muda tidak terlalu sulit dibentuk dan belum terlalu
banyak terkontaminasi virus peradaban bangsa yang kumal. Mereka masih bisa
diharapkan, mereka masih punya harapan.
Tanpa berapriori terhadap pihak mana pun, apa yang menjadi
pilihan dari Indra Sjafrie adalah sebuah pelajaran bagi kita. Pelatih kelahiran
Februari 1963 ini memilih tetap menangani Evan Dimas cs ketimbang menerima
tawaran menangani timnas senior.
Di sisi lain, sebagai orangtua, pelatih Indra telah
memperlihatkan sebuah keteladanan yang luar biasa dengan blusukan ke berbagai
pelosok negeri untuk mencari bibit unggul, meski tanpa kontrak yang jelas dan
tanpa gaji selama setahun. “Ini kerja
untuk negara,“ kata Indra. Sikap patriotik yang amat langka di negara kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar