|
Kalau apa
yang dilakukan oleh Presiden Zhu itu diadopsi di negeri ini, tentulah bukan
hanya ribuan koruptor yang mengisi peti mati, tetapi bisa berjuta koruptor.
Pasalnya, koruptor di negeri ini terus tumbuh subur tanpa mengenal takut.
Sebelum KPK menangkap basah Akil Mochtar (mantan Ketua MK)
dalam kasus suap, selama ini stigma yang melekat pada Mahkamah Konstitusi (MK)
dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah lembaga itu merupakan institusi
yudisial yang independen dan mendapatkan tempat di hati masyarakat karena
keduanya dinilai sukses mengemban misi konstitusi, khususnya militansi atau daya
juangnya melawan korupsi.
MK, misalnya, menunjukkan perannya dengan cara menanggulangi berbagai bentuk "korupsi legislasi" lewat pemeriksaan permohonan uji materi UU (judicial review), sedangkan KPK secara langsung memasuki kawasan empirik "rimba belantara" kekuasaan dengan mendekonstruksi berbagai bentuk skandal yang dilakukan oleh pejabat negara atau elemen korporasi.
Begitu Akil Mochtar tertangkap tangan (haterdaad) dengan tuduhan suap, mencuat keraguan publik yang bercorak praduga bersalah (presumption of guilt), jangan-jangan institusi lain yang selama ini jadi benteng terhebat negara, yakni KPK, akan ikut terjerembap mengikuti jejak MK.
Pertanyaan lain yang mencuat, siapa yang berani memberikan jaminan kalau KPK atau institusi lain benar-benar bersih dari jamahan bahkan hegemoni "neokleptokrasi" oknum yang mengail untung di balik bingkai politik pemberantasan korupsi?
Setelah tertangkapnya ketua MK itu, memang makin banyak pertanyaan yang harus kita kedepankan, seperti benarkah kita selama ini sudah berupaya maksimal menanggulangi korupsi, sekurang-kurangnya dari akar penyebabnya yang berhubungan dengan menjalar dan menguatnya korupsi? Apakah penangkapan ketua MK ini masih sebagian dari "sampel kecil" dari gunung es korupsi yang sebenarnya menggurita di negeri ini? (Rahman, 2013)
Terhadap kasus bertajuk extra ordinary crime seperti korupsi ini, negara ini memang harus belajar banyak pada pemimpin negara-negara lain yang gencar menunjukkan sikap moral dan politiknya dalam memberantas korupsi.
Belajar dari China
Bangsa ini dapat belajar dari model kegigihan atau militansi negara lain dalam melawan koruptor. Bangsa ini wajib berguru terus-menerus pada bangsa lain yang lebih maju semangat dan strateginya dalam menyikat koruptor. Semangat memberantas korupsi tak boleh melemah, apalagi padam. Korupsi harus didekonstruksi secara berkelanjutan. Masalahnya, bagaimana model sikap dan perilaku yang tepat untuk mengerem atau mengalahkan koruptor?
China menjadi salah satu contoh negara yang gigih melawan korupsi. China bahkan tergolong berhasil menunjukkan strategi radikal dalam melawan dan mengurangi korupsi.
Ketika dilantik menjadi perdana menteri pada 1998, Zhu Rongji berkata, "Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, yang satu untuk saya jika saya korupsi." Faktanya, setiap tahun, ada saja orang dihukum mati karena korupsi. Hukuman yang dijatuhkan pada koruptor di rezim Zhu Rongji sangat ampuh.
Presiden Zhu itu bahkan merelakan diri dihukum mati jika terbukti korupsi. Pejabat yang ditengarai bermain-main dengan uang negara atau tergelincir dalam malapraktik profesi (jabatan) jangan dibiarkan bebas. Mereka dimintai pertanggungjawaban yuridisnya secara egaliter meski yang memintanya berpangkat lebih rendah atau jabatannya tidak sekelas dirinya.
Kalau apa yang dilakukan oleh Presiden Zhu itu diadopsi di negeri ini, tentulah bukan hanya ribuan koruptor yang mengisi peti mati, tetapi bisa berjuta koruptor. Pasalnya, koruptor di negeri ini terus tumbuh subur tanpa mengenal takut, kecuali jika memang berjuta peti mati benar-benar dipersiapkan oleh negara untuk koruptor, khususnya koruptor kelas kakap.
Faktor Serakah
Apa yang dilakukan koruptor selama ini jelas bukan disebabkan kesulitan ekonomi, tetapi dominan oleh keserakahan dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan dampaknya pada rakyat dan negara. Mental serakah diberikannya tempat mengembara tak kenal batas hingga menerabas dinding yuridis.
"Peti mati" seperti yang disampaikan presiden Zhu sebenarnya mampu mengubah mental serakah itu menjadi mental mendahulukan kepentingan makro bangsa, bilamana paket hukuman "peti mati" juga dideklarasikan oleh para elite yudisial, bahkan oleh presiden SBY sendiri.
Para pejabat negara barangkali tidak akan sampai tergelincir memenangkan keserakahan (korupsi), bilamana dimulai dari presiden SBY, ada deklrasi hingga muncul dan membumi gerakan pengimplementasian "peti mati" pada siapapun elitis yang terbukti melakukan korupsi.
Faktanya, "ledakan" korupsi di negeri ini memang butuh terapi kejut yang bernama persediaan berjuta "peti mati". Koruptor gaya Indonesia ini tidak mau tahu kalau akibat perbuatannya, rakyat bisa hidup sekarat, ekonomi bangsa carut-marut, daya beli rakyat menurun, merangsang booming kejahatan lain seperti bersemainya, meminjam kata Jeffri Winters "utang najis" atau utang jahat (criminal dept), serta jatuhnya citra bangsa di mata negara-negara lain.
Keistimewaan koruptor Indonesia itulah yang membuat tidak gampangnya kekuatan lain yang berdiri di garis kebenaran dan keadilan, serta pembelaan hak-hak rakyat untuk memberantasnya. MK yang diidealisasikan jadi good guardians konstitusi, akhirnya ikut tereduksi kredibilitasnya akibat masuknya koruptor. Koruptor sukses memasuki lembaga sakral untuk diajak menghancurkan MK.
Memang koruptor di negeri ini "bermilitansi" tinggi. Mereka terus berusaha memasuki relung dan pori-pori sang rezim. Katankalah saat negara menciptakan institusi yang bermaksud menggelorakan semangat jihad melawan koruptor, maka koruptornya juga menyiapkan berbagai jurus yang bisa diandalkan untuk berkelit dan memenangkan pertarungan, yang salah satu jurunya adalah mengajak seseorang atau berjumlah orang di institusi itu untuk menoleransi suap, gratifikasi, atau lainnya.
"Ideologi" ganas yang membuat aparat tergusur ke pemilikan mental sekarat adalah tawaran uang. Senyatanya virus uang tergolong sukses membuat elemen penegak hukum atau rechstaat menjadi karut-marut. Ratusan atau bahkan ribuan aparat penegak hukum yang tergoda virus ini yang membuat dirinya bergeser status menjadi penegak dan proteksi kriminalitas.
Virus uang itu benar-benar telah membuat aparat ikut terlibat dalam praktik-praktik malapraktik dan malversasi profesinya. Mereka tidak takut profesinya ternoda dan kehilangan kredibilitasnya, dengan syarat saat berhubungan dengan orang yang bermasalah secara hukum, mendapatkan keuntungan (uang) besar. Presiden Zhu telah memberikan teladan tentang bagaimana seharusnya pejabat negara menghormati sumpah jabatannya, diantaranya tidak menerima pemberian berupa apapun (termasuk uang) yang terkait dengan jabatannya, kecuali para pejabat itu mau menerima sanksi mengisi peti mati yang disiapkan negara.
"Put not your trust in money, but put your money in trust" atau "jangan letakkan kepercayaan anda kepada uang, tetapi letakkan uang anda dalam kepercayaan", demikian Oliver Wendell Holmes mengingatkan kalangan profesional, bahwa kredibilitas tidak boleh hancur karena uang, tetapi berfungsinya uang harus dijaga dalam bingkai kredibilitas.
Dengan kalkulasi materialistik tersebut, masyarakat memang layak mengidap ketakutan besar kalau masa depan Indonesia nantinya, bukannya menjadi lebih baik, namun semakin buram, khususnya dalam dunia hukum. Meski banyak komisi atau institusi bertajuk rehabilitasi dunia hukum didirikan oleh negara, namun akibat mentalitas bervirus uang yang terus dipelihara dan dibudayakannya, wajar kalau ekspektasi Indonesia yang berkonstitusi negara hukum menjadi terkikis dan terdegradasi
Untuk menghidupkan ekspektasi tersebut, berjuta "peti mati" tampaknya harus dijadikan opsinya. Presiden SBY dan elemen-elemen yudisial sudah saatnya menggelorakan kampanye urgensi "peti mati" bagi koruptor supaya ke depan kader-kader muda yang masuk ke lingkaran kekuasaan tidak menjadikan kekuasaan, kesempatan, atau jabatannya sebagai kendaraan memproduksi keserakahan secara sistematis, terstruktur, dan masif (STM). ●
MK, misalnya, menunjukkan perannya dengan cara menanggulangi berbagai bentuk "korupsi legislasi" lewat pemeriksaan permohonan uji materi UU (judicial review), sedangkan KPK secara langsung memasuki kawasan empirik "rimba belantara" kekuasaan dengan mendekonstruksi berbagai bentuk skandal yang dilakukan oleh pejabat negara atau elemen korporasi.
Begitu Akil Mochtar tertangkap tangan (haterdaad) dengan tuduhan suap, mencuat keraguan publik yang bercorak praduga bersalah (presumption of guilt), jangan-jangan institusi lain yang selama ini jadi benteng terhebat negara, yakni KPK, akan ikut terjerembap mengikuti jejak MK.
Pertanyaan lain yang mencuat, siapa yang berani memberikan jaminan kalau KPK atau institusi lain benar-benar bersih dari jamahan bahkan hegemoni "neokleptokrasi" oknum yang mengail untung di balik bingkai politik pemberantasan korupsi?
Setelah tertangkapnya ketua MK itu, memang makin banyak pertanyaan yang harus kita kedepankan, seperti benarkah kita selama ini sudah berupaya maksimal menanggulangi korupsi, sekurang-kurangnya dari akar penyebabnya yang berhubungan dengan menjalar dan menguatnya korupsi? Apakah penangkapan ketua MK ini masih sebagian dari "sampel kecil" dari gunung es korupsi yang sebenarnya menggurita di negeri ini? (Rahman, 2013)
Terhadap kasus bertajuk extra ordinary crime seperti korupsi ini, negara ini memang harus belajar banyak pada pemimpin negara-negara lain yang gencar menunjukkan sikap moral dan politiknya dalam memberantas korupsi.
Belajar dari China
Bangsa ini dapat belajar dari model kegigihan atau militansi negara lain dalam melawan koruptor. Bangsa ini wajib berguru terus-menerus pada bangsa lain yang lebih maju semangat dan strateginya dalam menyikat koruptor. Semangat memberantas korupsi tak boleh melemah, apalagi padam. Korupsi harus didekonstruksi secara berkelanjutan. Masalahnya, bagaimana model sikap dan perilaku yang tepat untuk mengerem atau mengalahkan koruptor?
China menjadi salah satu contoh negara yang gigih melawan korupsi. China bahkan tergolong berhasil menunjukkan strategi radikal dalam melawan dan mengurangi korupsi.
Ketika dilantik menjadi perdana menteri pada 1998, Zhu Rongji berkata, "Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, yang satu untuk saya jika saya korupsi." Faktanya, setiap tahun, ada saja orang dihukum mati karena korupsi. Hukuman yang dijatuhkan pada koruptor di rezim Zhu Rongji sangat ampuh.
Presiden Zhu itu bahkan merelakan diri dihukum mati jika terbukti korupsi. Pejabat yang ditengarai bermain-main dengan uang negara atau tergelincir dalam malapraktik profesi (jabatan) jangan dibiarkan bebas. Mereka dimintai pertanggungjawaban yuridisnya secara egaliter meski yang memintanya berpangkat lebih rendah atau jabatannya tidak sekelas dirinya.
Kalau apa yang dilakukan oleh Presiden Zhu itu diadopsi di negeri ini, tentulah bukan hanya ribuan koruptor yang mengisi peti mati, tetapi bisa berjuta koruptor. Pasalnya, koruptor di negeri ini terus tumbuh subur tanpa mengenal takut, kecuali jika memang berjuta peti mati benar-benar dipersiapkan oleh negara untuk koruptor, khususnya koruptor kelas kakap.
Faktor Serakah
Apa yang dilakukan koruptor selama ini jelas bukan disebabkan kesulitan ekonomi, tetapi dominan oleh keserakahan dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan dampaknya pada rakyat dan negara. Mental serakah diberikannya tempat mengembara tak kenal batas hingga menerabas dinding yuridis.
"Peti mati" seperti yang disampaikan presiden Zhu sebenarnya mampu mengubah mental serakah itu menjadi mental mendahulukan kepentingan makro bangsa, bilamana paket hukuman "peti mati" juga dideklarasikan oleh para elite yudisial, bahkan oleh presiden SBY sendiri.
Para pejabat negara barangkali tidak akan sampai tergelincir memenangkan keserakahan (korupsi), bilamana dimulai dari presiden SBY, ada deklrasi hingga muncul dan membumi gerakan pengimplementasian "peti mati" pada siapapun elitis yang terbukti melakukan korupsi.
Faktanya, "ledakan" korupsi di negeri ini memang butuh terapi kejut yang bernama persediaan berjuta "peti mati". Koruptor gaya Indonesia ini tidak mau tahu kalau akibat perbuatannya, rakyat bisa hidup sekarat, ekonomi bangsa carut-marut, daya beli rakyat menurun, merangsang booming kejahatan lain seperti bersemainya, meminjam kata Jeffri Winters "utang najis" atau utang jahat (criminal dept), serta jatuhnya citra bangsa di mata negara-negara lain.
Keistimewaan koruptor Indonesia itulah yang membuat tidak gampangnya kekuatan lain yang berdiri di garis kebenaran dan keadilan, serta pembelaan hak-hak rakyat untuk memberantasnya. MK yang diidealisasikan jadi good guardians konstitusi, akhirnya ikut tereduksi kredibilitasnya akibat masuknya koruptor. Koruptor sukses memasuki lembaga sakral untuk diajak menghancurkan MK.
Memang koruptor di negeri ini "bermilitansi" tinggi. Mereka terus berusaha memasuki relung dan pori-pori sang rezim. Katankalah saat negara menciptakan institusi yang bermaksud menggelorakan semangat jihad melawan koruptor, maka koruptornya juga menyiapkan berbagai jurus yang bisa diandalkan untuk berkelit dan memenangkan pertarungan, yang salah satu jurunya adalah mengajak seseorang atau berjumlah orang di institusi itu untuk menoleransi suap, gratifikasi, atau lainnya.
"Ideologi" ganas yang membuat aparat tergusur ke pemilikan mental sekarat adalah tawaran uang. Senyatanya virus uang tergolong sukses membuat elemen penegak hukum atau rechstaat menjadi karut-marut. Ratusan atau bahkan ribuan aparat penegak hukum yang tergoda virus ini yang membuat dirinya bergeser status menjadi penegak dan proteksi kriminalitas.
Virus uang itu benar-benar telah membuat aparat ikut terlibat dalam praktik-praktik malapraktik dan malversasi profesinya. Mereka tidak takut profesinya ternoda dan kehilangan kredibilitasnya, dengan syarat saat berhubungan dengan orang yang bermasalah secara hukum, mendapatkan keuntungan (uang) besar. Presiden Zhu telah memberikan teladan tentang bagaimana seharusnya pejabat negara menghormati sumpah jabatannya, diantaranya tidak menerima pemberian berupa apapun (termasuk uang) yang terkait dengan jabatannya, kecuali para pejabat itu mau menerima sanksi mengisi peti mati yang disiapkan negara.
"Put not your trust in money, but put your money in trust" atau "jangan letakkan kepercayaan anda kepada uang, tetapi letakkan uang anda dalam kepercayaan", demikian Oliver Wendell Holmes mengingatkan kalangan profesional, bahwa kredibilitas tidak boleh hancur karena uang, tetapi berfungsinya uang harus dijaga dalam bingkai kredibilitas.
Dengan kalkulasi materialistik tersebut, masyarakat memang layak mengidap ketakutan besar kalau masa depan Indonesia nantinya, bukannya menjadi lebih baik, namun semakin buram, khususnya dalam dunia hukum. Meski banyak komisi atau institusi bertajuk rehabilitasi dunia hukum didirikan oleh negara, namun akibat mentalitas bervirus uang yang terus dipelihara dan dibudayakannya, wajar kalau ekspektasi Indonesia yang berkonstitusi negara hukum menjadi terkikis dan terdegradasi
Untuk menghidupkan ekspektasi tersebut, berjuta "peti mati" tampaknya harus dijadikan opsinya. Presiden SBY dan elemen-elemen yudisial sudah saatnya menggelorakan kampanye urgensi "peti mati" bagi koruptor supaya ke depan kader-kader muda yang masuk ke lingkaran kekuasaan tidak menjadikan kekuasaan, kesempatan, atau jabatannya sebagai kendaraan memproduksi keserakahan secara sistematis, terstruktur, dan masif (STM). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar