|
Sudah hampir 10
tahun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terbentuk. Sudah lebih dari 20
orang menjadi komisioner KPAI. Mereka berasal dari unsur pemerintah, tokoh
agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan,
organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok
masyarakat yang peduli pada perlindungan anak. Komposisi itu sama seperti yang
dimandatkan pada Pasal 75 Ayat 2 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Semuanya mengupayakan perwujudan perlindungan anak Indonesia.
Dalam kiprahnya, KPAI sudah banyak mencoba mewujudkan hal tersebut. Mereka menyosialisasikan seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Mereka juga mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Dan, yang pasti, mereka memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak (lihat Pasal 76 UU No 23 Tahun 2002).
Jangan lupa pula, tiga tahun terakhir, mereka proaktif dalam merespons persoalan aktual di masyarakat. Sebut saja mereka mengadvokasi bocah yang dihukum penjara karena mencuri sandal. KPAI memprakarsai Gerakan 1.000 sandal. Mereka juga tambah aktif dalam mengadvokasi pemerintah (nasional dan daerah) untuk mempercepat atau menerapkan akta kelahiran gratis buat seluruh anak Indonesia.
Di bidang pencegahan, dalam tiga tahun belakangan ini, KPAI juga melakukan kerja sama dengan sejumlah lembaga negara untuk hal perlindungan anak, misalnya dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Termasuk mengembangkan Gerakan Anak untuk Kejujuran serta menjalin komunikasi dan jaringan dengan 154 link data mitra. Yang jelas juga, setidaknya dalam dua hingga tiga tahun terakhir, komisioner di KPAI sering dijadikan rujukan oleh media dalam memonitor kasus-kasus terkait perlindungan anak. Ini jelas upaya yang patut dihargai setelah pada tahun-tahun sebelumnya, komisi negara ini lebih dikenal sebagai institusi yang menangani "perlindungan" bagi anak-anak dari artis yang bercerai.
Lepas dari itu, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus dipecahkan oleh KPAI. Pekerjaan-pekerjaan rumah tersebut harus dikerjakan dengan cepat. Selain memang perlu ditanggapi, pekerjaan ini akan memudahkan khalayak umum membedakan KPAI dengan Komnas PA, sebuah organisasi non pemerintah yang lebih lama berdiri dan menjadi rujukan banyak orang dalam isu perlindungan anak.
Sejumlah Pekerjaan Rumah
Dalam kiprahnya, KPAI sudah banyak mencoba mewujudkan hal tersebut. Mereka menyosialisasikan seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Mereka juga mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Dan, yang pasti, mereka memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak (lihat Pasal 76 UU No 23 Tahun 2002).
Jangan lupa pula, tiga tahun terakhir, mereka proaktif dalam merespons persoalan aktual di masyarakat. Sebut saja mereka mengadvokasi bocah yang dihukum penjara karena mencuri sandal. KPAI memprakarsai Gerakan 1.000 sandal. Mereka juga tambah aktif dalam mengadvokasi pemerintah (nasional dan daerah) untuk mempercepat atau menerapkan akta kelahiran gratis buat seluruh anak Indonesia.
Di bidang pencegahan, dalam tiga tahun belakangan ini, KPAI juga melakukan kerja sama dengan sejumlah lembaga negara untuk hal perlindungan anak, misalnya dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Termasuk mengembangkan Gerakan Anak untuk Kejujuran serta menjalin komunikasi dan jaringan dengan 154 link data mitra. Yang jelas juga, setidaknya dalam dua hingga tiga tahun terakhir, komisioner di KPAI sering dijadikan rujukan oleh media dalam memonitor kasus-kasus terkait perlindungan anak. Ini jelas upaya yang patut dihargai setelah pada tahun-tahun sebelumnya, komisi negara ini lebih dikenal sebagai institusi yang menangani "perlindungan" bagi anak-anak dari artis yang bercerai.
Lepas dari itu, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus dipecahkan oleh KPAI. Pekerjaan-pekerjaan rumah tersebut harus dikerjakan dengan cepat. Selain memang perlu ditanggapi, pekerjaan ini akan memudahkan khalayak umum membedakan KPAI dengan Komnas PA, sebuah organisasi non pemerintah yang lebih lama berdiri dan menjadi rujukan banyak orang dalam isu perlindungan anak.
Sejumlah Pekerjaan Rumah
Pengarusutamaan
anak dalam proses pembangunan dapat dikatakan masih sangat terbatas. Sangat
jarang anak terlibat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka.
Sebenarnya, monitoring pengarusutamaan isu perlindungan anak dalam segala
sektor dapat dikatakan merupakan pekerjaan rumah yang harus dilakukan setiap
saat.
Kalau boleh jujur, sejak tahun-tahun terakhir abad ke-20 lalu hingga sekarang, banyak instansi pemerintah Republik Indonesia senang sekali melakukan kegiatan sosialisasi. Ternyata, itu juga banyak dilakukan oleh KPAI sejak berdirinya hingga sekarang. Meski tidak menyalahi undang-undang, kegiatan ini tentu sudah saatnya ditinggalkan.
Usia undang-undang terkait perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi sudah lebih dari 10 tahun. Karena itu, cukuplah kegiatan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang sudah lama berjalan itu dilakukan. KPAI harus mengandaikan bahwa semua orang tahu dan pasti paham tentang peraturan perundang-undangan tersebut.
Jika itu masih dilakukan, perlu mengganti isi dari sosialisasi. Misalnya, KPAI perlu menyosialisasikan temuan mereka kepada masyarakat yang lebih luas. Jika dalam tahun-tahun terakhir KPAI lebih mengandalkan siaran pers, poster serta website, di tahun-tahun mendatang, KPAI perlu mengombinasikan sejumlah kegiatan.
Misalnya, setelah menerima pengaduan, KPAI perlu melakukan penelaahan kasus, memonitor penanganan kasus, serta mengumumkan hasilnya kepada semua media. Hasil itu harus menjadi pandangan semua komisioner serta dijadikan isi dari setiap paparan semua komisioner ketika mereka diminta menjadi narasumber mengenai perlindungan anak. Itulah pekerjaan rumah pertama KPAI: mengurangi kegiatan sosialisasi dan/atau mengombinasikannya dengan semua kegiatan penting KPAI.
Pekerjaan rumah kedua adalah: setiap komisioner perlu mendorong penegakan isu perlindungan anak di organisasi-organisasi tempat mereka berasal. Ini untuk mendorong turunnya eksploitasi anak secara signifikan.
Misal, komisioner yang berasal dari pengusaha wajib mendorong pengusaha untuk mencegah dan/atau menghapuskan perburuhan anak di tiap tingkatan dari beragam tingkatan (mikro-kecil-menengah-besar), termasuk dalam supply chain (rantai pasok) mereka. Atau, komisioner dari kalangan pengusaha juga bisa mendorong private-public-partnership (kemitraan antara masyarakat dan usaha) untuk mendukung perlindungan anak.
Begitu juga, komisioner dari kalangan agama perlu terus mendesak agar jangan sampai lagi terulang kasus ada orang dewasa yang mengatasnamakan agama (apa pun) mengawini anak (khususnya anak perempuan!). Atau juga, perwakilan pemerintah mulai menyuarakan pentingnya pembentukan/penyediaan penitipan anak dan ruang menyusui di kantor-kantor pemerintah.
Minimal, jika tiga langkah ini terjadi, pasti akan menyumbang menurunnya jumlah pekerja anak, anak-anak yang berisiko dilacurkan, status gizi buruk, serta anak broken home di kemudian hari.
Pekerjaan rumah ketiga adalah perlunya KPAI mengumumkan secara lebih luas capaian-capaian kerja mereka, termasuk jumlah pengaduan yang diterima dan ditanggapi KPAI; diteruskan pada aparat penegak hukum; dan dimonitor oleh KPAI.
Jika bisa, monitoring juga termasuk pada monitoring vonis pengadilan. Ketika capaian itu diumumkan dan diakses oleh khalayak luas, bukan tak mungkin itu akan membuat KPAI dihargai. Penghargaan ini akan memperkokoh dukungan masyarakat, yang lama-kelamaan akan memengaruhi bergeraknya aparat penegak hukum secara lebih progresif.
Selanjutnya, dalam masa globalisasi sekarang ini, akhirnya juga penting untuk memperluas jaringan. Penting juga bagi KPAI untuk mulai memperluas jaringan di luar negeri.
Tak dimungkiri, dalam empat tahun terakhir ini, Indonesia menjadi tempat belajar banyak negara dalam sejumlah isu terkait perlindungan anak. Tetapi, jangan terlalu bangga. Kedatangan mereka lebih banyak juga untuk mempelajari cepatnya Pemerintah Indonesia berkomitmen dan melaporkan komitmen tertulis kepada dunia, bukan melulu mempelajari praktik dan hasil!
Karena itu, komisioner perlu untuk berjaring dengan komisioner dari luar negeri dan berkomunikasi secara rutin melalui dunia maya. Lalu, ambillah apa yang baik, buanglah apa yang tak cocok dari perbincangan tersebut. Itulah pekerjaan rumah keempat.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar staf KPAI adalah PNS yang merasa tersisihkan dari kantor asal mereka. Di sisi lain, KPAI bukanlah lembaga negara yang mendapatkan banyak anggaran. KPAI tidak akan mungkin menjadi tempat mencari uang bagi mereka yang hidup di dalamnya.Sementara, kerja-kerja dukungan bagi lembaga seperti KPAI bukanlah kerja biasa.
Karena itu, kerja-kerja ini harus didukung oleh mereka yang andal, dan yang tak boleh dibiarkan memikirkan uang atau status kepegawaian mereka. Dengan meyakini bahwa para komisioner perlu didukung staf semacam itu, negara perlu menyediakan staf yang andal untuk mendukung kerja-kerja mulia ini. Itulah pekerjaan rumah kelima. Dan, negara pasti bisa menyediakan tenaga yang andal itu.
Internalisasi Hak Anak
Kalau boleh jujur, sejak tahun-tahun terakhir abad ke-20 lalu hingga sekarang, banyak instansi pemerintah Republik Indonesia senang sekali melakukan kegiatan sosialisasi. Ternyata, itu juga banyak dilakukan oleh KPAI sejak berdirinya hingga sekarang. Meski tidak menyalahi undang-undang, kegiatan ini tentu sudah saatnya ditinggalkan.
Usia undang-undang terkait perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi sudah lebih dari 10 tahun. Karena itu, cukuplah kegiatan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang sudah lama berjalan itu dilakukan. KPAI harus mengandaikan bahwa semua orang tahu dan pasti paham tentang peraturan perundang-undangan tersebut.
Jika itu masih dilakukan, perlu mengganti isi dari sosialisasi. Misalnya, KPAI perlu menyosialisasikan temuan mereka kepada masyarakat yang lebih luas. Jika dalam tahun-tahun terakhir KPAI lebih mengandalkan siaran pers, poster serta website, di tahun-tahun mendatang, KPAI perlu mengombinasikan sejumlah kegiatan.
Misalnya, setelah menerima pengaduan, KPAI perlu melakukan penelaahan kasus, memonitor penanganan kasus, serta mengumumkan hasilnya kepada semua media. Hasil itu harus menjadi pandangan semua komisioner serta dijadikan isi dari setiap paparan semua komisioner ketika mereka diminta menjadi narasumber mengenai perlindungan anak. Itulah pekerjaan rumah pertama KPAI: mengurangi kegiatan sosialisasi dan/atau mengombinasikannya dengan semua kegiatan penting KPAI.
Pekerjaan rumah kedua adalah: setiap komisioner perlu mendorong penegakan isu perlindungan anak di organisasi-organisasi tempat mereka berasal. Ini untuk mendorong turunnya eksploitasi anak secara signifikan.
Misal, komisioner yang berasal dari pengusaha wajib mendorong pengusaha untuk mencegah dan/atau menghapuskan perburuhan anak di tiap tingkatan dari beragam tingkatan (mikro-kecil-menengah-besar), termasuk dalam supply chain (rantai pasok) mereka. Atau, komisioner dari kalangan pengusaha juga bisa mendorong private-public-partnership (kemitraan antara masyarakat dan usaha) untuk mendukung perlindungan anak.
Begitu juga, komisioner dari kalangan agama perlu terus mendesak agar jangan sampai lagi terulang kasus ada orang dewasa yang mengatasnamakan agama (apa pun) mengawini anak (khususnya anak perempuan!). Atau juga, perwakilan pemerintah mulai menyuarakan pentingnya pembentukan/penyediaan penitipan anak dan ruang menyusui di kantor-kantor pemerintah.
Minimal, jika tiga langkah ini terjadi, pasti akan menyumbang menurunnya jumlah pekerja anak, anak-anak yang berisiko dilacurkan, status gizi buruk, serta anak broken home di kemudian hari.
Pekerjaan rumah ketiga adalah perlunya KPAI mengumumkan secara lebih luas capaian-capaian kerja mereka, termasuk jumlah pengaduan yang diterima dan ditanggapi KPAI; diteruskan pada aparat penegak hukum; dan dimonitor oleh KPAI.
Jika bisa, monitoring juga termasuk pada monitoring vonis pengadilan. Ketika capaian itu diumumkan dan diakses oleh khalayak luas, bukan tak mungkin itu akan membuat KPAI dihargai. Penghargaan ini akan memperkokoh dukungan masyarakat, yang lama-kelamaan akan memengaruhi bergeraknya aparat penegak hukum secara lebih progresif.
Selanjutnya, dalam masa globalisasi sekarang ini, akhirnya juga penting untuk memperluas jaringan. Penting juga bagi KPAI untuk mulai memperluas jaringan di luar negeri.
Tak dimungkiri, dalam empat tahun terakhir ini, Indonesia menjadi tempat belajar banyak negara dalam sejumlah isu terkait perlindungan anak. Tetapi, jangan terlalu bangga. Kedatangan mereka lebih banyak juga untuk mempelajari cepatnya Pemerintah Indonesia berkomitmen dan melaporkan komitmen tertulis kepada dunia, bukan melulu mempelajari praktik dan hasil!
Karena itu, komisioner perlu untuk berjaring dengan komisioner dari luar negeri dan berkomunikasi secara rutin melalui dunia maya. Lalu, ambillah apa yang baik, buanglah apa yang tak cocok dari perbincangan tersebut. Itulah pekerjaan rumah keempat.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar staf KPAI adalah PNS yang merasa tersisihkan dari kantor asal mereka. Di sisi lain, KPAI bukanlah lembaga negara yang mendapatkan banyak anggaran. KPAI tidak akan mungkin menjadi tempat mencari uang bagi mereka yang hidup di dalamnya.Sementara, kerja-kerja dukungan bagi lembaga seperti KPAI bukanlah kerja biasa.
Karena itu, kerja-kerja ini harus didukung oleh mereka yang andal, dan yang tak boleh dibiarkan memikirkan uang atau status kepegawaian mereka. Dengan meyakini bahwa para komisioner perlu didukung staf semacam itu, negara perlu menyediakan staf yang andal untuk mendukung kerja-kerja mulia ini. Itulah pekerjaan rumah kelima. Dan, negara pasti bisa menyediakan tenaga yang andal itu.
Internalisasi Hak Anak
Akhirnya, KPAI
perlu beranjak ke tingkat yang lebih jauh. KPAI harus mendorong adanya
internalisasi hak-hak anak pada setiap orang dewasa di Indonesia. Internalisasi
ini khususnya perlu terjadi pada mereka yang mengambil keputusan, public
figure, orang tua, dan semua pihak yang banyak berkutat atau berhubungan dengan
anak.
Tentu saja, internalisasi baru terjadi setelah KPAI merumuskan pengetahuan mereka ke dalam media yang dengan mudah dipelajari oleh individu lain. Dan, pasti setelah sebelumnya mengorganisasikan kumpulan informasi dan pengetahuan (Lihat: SECI, Nonaka dan Takeuchi). Bila pekerjaan rumah tersebut diselesaikan, setidaknya khalayak luas akan bisa membedakan antara KPAI dan Komnas PA. Lebih jauh bisa membedakan bahwa kantor KPAI ada di Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, dan yang lainnya ada di Jakarta Timur.
Dalam tiga-empat bulan mendatang, KPAI akan memiliki komisioner baru. Mungkin sejumlah nama lama akan kembali dipilih oleh DPR. Atau bahkan semuanya nama baru. Tak begitu penting. Yang penting, semua bisa bekerja demi semakin terlindunginya anak Indonesia (laki-laki dan perempuan) dari segala macam eksploitasi dan kejahatan lainnya. ●
Tentu saja, internalisasi baru terjadi setelah KPAI merumuskan pengetahuan mereka ke dalam media yang dengan mudah dipelajari oleh individu lain. Dan, pasti setelah sebelumnya mengorganisasikan kumpulan informasi dan pengetahuan (Lihat: SECI, Nonaka dan Takeuchi). Bila pekerjaan rumah tersebut diselesaikan, setidaknya khalayak luas akan bisa membedakan antara KPAI dan Komnas PA. Lebih jauh bisa membedakan bahwa kantor KPAI ada di Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, dan yang lainnya ada di Jakarta Timur.
Dalam tiga-empat bulan mendatang, KPAI akan memiliki komisioner baru. Mungkin sejumlah nama lama akan kembali dipilih oleh DPR. Atau bahkan semuanya nama baru. Tak begitu penting. Yang penting, semua bisa bekerja demi semakin terlindunginya anak Indonesia (laki-laki dan perempuan) dari segala macam eksploitasi dan kejahatan lainnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar