|
Pro dan kontra mengenai penerapan
kebijakan open access infrastruktur
pipa gas nasional kembali menguat dalam beberapa hari terakhir. Hal tersebut
sebenarnya sudah terjadi sejak lama dan kini menguat kembali karena mendekati
tenggat waktu yang ditetapkan.
Kebijakan open access merupakan amanat dari UU Migas No 22/2001 dan Permen ESDM No 19/2009 tentang Kegiatan Gas Bumi Melalui Pipa. Ketentuan Permen ESDM tersebut mengamanatkan open accesspaling lambat sudah harus diterapkan pada September 2011. Tetapi, pemerintah kemudian menjadwal ulang (mengundur) penerapan kebijakan tersebut hingga dua kali tanpa melalui revisi regulasi.
Pihak yang setuju meyakini open accessakan membuat harga gas di pemakai akhir khususnya industri akan lebih murah. Hal tersebut karena penawaran akan semakin meningkat sehingga harga gas bisa lebih kompetitif dan masalah defisit gas domestik dapat dikurangi.
Sedangkan pihak yang tidak setuju berpendapat penerapan open access justru akan menyebabkan harga gas menjadi lebih tinggi. Kebijakan tersebut juga akan menyebabkan pasar yang sudah dibangun oleh perusahaan gas negara (PGN) selama ini habis dimanfaatkan oleh para trader gas.
Penerapan open access membuat para trader gas dapat menggunakan pipa gas PGN dan menjual gas mereka kepada para pelanggan PGN. Pihak yang tidak setuju juga menyatakan, jika kebijakan tersebut diterapkan, tidak akan ada lagi perusahaan gas yang mau membangun infrastruktur.
Struktur Pasar Gas Nasional
Polemik penerapan kebijakan open accesstidak terlepas dari kondisi struktur pasar gas nasional yang kurang/tidak sehat. Pada sektor hulu pasar gas nasional mengarah pada kondisi oligopoli—sekitar 90% produksi gas dikuasai hanya oleh delapan produsen. Sedangkan pada sektor hilir pasar gas mengarah pada kondisi monopoli— sebagian besar infrastruktur gas nasional dikuasai oleh dua BUMN.
Berdasarkan kapasitas dan panjangnya penguasaan pipa transmisi gas nasional dimonopoli oleh Pertamina. Sedangkan penguasaan pipa distribusi gas nasional dimonopoli oleh PGN. Dalam kondisi pasar yang tidak sempurna tersebut peran/intervensi pemerintah diperlukan. Struktur pasar yang tidak sehat menjadi salah satu penyebab kondisi anomali pada pasar gas nasional.
Meski konsumsi (kebutuhan) gas nasional rata-rata baru sekitar 50% dari kemampuan produksi gas nasional setiap tahunnya, domestik telah mengalami defisit gas hampir setiap tahun. Sektor industri dan kelistrikan sering mengeluhkan minimnya pasokan gas yang mereka terima.
Untuk mengatasi permasalahan yang ada tersebut, beberapa waktu yang lalu pemangku kepentingan termasuk sejumlah anggota DPR meminta agar dilakukan moratorium ekspor gas. Meski positif untuk kepentingan nasional, usulan tersebut sesungguhnya tidak menyelesaikan akar (inti) permasalahan. Krisis gas nasional bukan karena kurangnya produksi, melainkan lebih karena keterbatasan infrastruktur gas yang tersedia.
Karena itu, jika pemangku kepentingan “sungguh-sungguh” ingin menyelesaikan masalah defisit gas domestik, tindakan yang prioritas adalah menyelesaikan masalah infrastruktur gas termasuk kebijakan open access.
Tata Niaga Gas Nasional Bermasalah
Struktur pasar gas nasional yang tidak sehat berkontribusi terhadap tata niaga gas nasional yang cenderung berbiaya tinggi. Data menunjukkan saat ini terdapat lebih dari 60 perusahaan trader gas yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, lebih dari 90% trader tidak memiliki infrastruktur.
Itu pula yang menjadi kekhawatiran pihak yang tidak setuju dengan penerapan open access. Jika kebijakan tersebut diimplementasikan puluhan trader gas ramai-ramai menggunakan infrastruktur gas PGN dan menjual gas mereka kepada konsumen PGN, PGN akan dirugikan. Kekhawatiran tersebut dapat terjadi bila fungsi pengaturan pemerintah tidak berjalan.
Kini fungsi tersebut perlu dipertanyakan. Bagaimana bisa sampai muncul puluhan trader gas yang tidak memiliki infrastruktur dan sumber gas. Hanya berperan sebagai broker— membeli gas pada produsen di hulu, menggunakan infrastruktur pihak lain, dan menjualnya kepada pengguna akhir di hilir. Kondisinya semakin mengkhawatirkan karena margin yang tinggi ternyata justru lebih banyak dinikmati oleh para trader (broker) gas.
Akibat itu, pengembangan lapangan gas di hulu relatif tidak berjalan dan sektor industri nasional berbiaya tinggi sehingga produk yang dihasilkan berdaya saing rendah. Permasalahan tata niaga gas juga telah menggeser fokus PGN dari yang diharapkan sebagai leader pengembangan infrastruktur gas menjadi lebih sebagai trader gas.
Profil perkembangan aset tetap, pendapatan, dan laba perusahaan menunjukkan kecenderungan tersebut. Dalam lima tahun terakhir nilai aset tetap perusahaan setelah dikurangi penyusutan tercatat terus menurun. Hal tersebut mengindikasikan relatif tidak ada penambahan aset tetap perusahaan yang di dalamnya termasuk infrastruktur gas.
Dari kinerja keuangan, sebagian besar pendapatan dan laba perusahaan pada periode tersebut dari usaha trader gas. Sedangkan pendapatan dan laba dari aktivitas perusahaan sebagai distributor atau transporter gas tidak begitu signifikan. Pergeseran fokus bisnis PGN tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, margin yang diperoleh dari usaha trader (broker) jauh lebih tinggi dibandingkan marjin dari usaha distributor gas.
Apalagi dengan fungsi ganda sebagai trader dan transporter perusahaan memiliki daya tawar tinggi dan berpotensi dapat mendikte produsen dan konsumen gas. Kedua, kepemilikan infrastruktur saat ini tidak cukup menguntungkan jika perusahaan hanya mengandalkan usaha distributor gas.
Ketiga, hal tersebut dapat dipicu karena pemerintah mengizinkan para trader gas yang tidak memiliki infrastruktur dan sumber gas masuk dalam tata niaga gas. Jika pihak yang relatif tidak bermodal dapat menikmati marjin tinggi dalam niaga gas, tentu PGN sebagai pemilik infrastruktur merasa jauh lebih berhak.
Membenahi
Meski akan ada pihak yang terdampak, penerapan open access menjadi salah satu tahapan yang harus dilakukan untuk membenahi masalah tata niaga gas nasional. Penerapan open access akan mendorong pasar gas domestik menjadi lebih sehat karena konsumen akan memiliki lebih banyak pilihan penyuplai gas. Konsumen yang selama ini tidak mendapatkan gas berpeluang bisa memenuhi kebutuhannya karena penyuplai gas akan bertambah.
Dalam hal ini penyuplai gas akan saling berkompetisi sehingga mendorong harga gas di pemakai akhir bisa lebih rendah. Penerapan open access pasar yang selama ini relatif dikuasai oleh PGN memang akan bergeser karena ada kompetisi. Tetapi, kondisi tersebut sesungguhnya merupakan peluang bagi PGN.
Jika perusahaan mampu melakukan ekspansi pembangunan infrastruktur gas secara masif, perusahaan akan tetap mendapatkan keuntungan yang besar dari toll fee. Hal tersebut pula yang dilakukan oleh perusahaan distributor gas di Eropa dan Amerika. Pola bisnis yang relatif sama juga dilakukan oleh perusahaan pengelola jalan tol di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Dalam hal ini jika Pertamina menyatakan siap dan sanggup menerapkan kebijakan open access untuk seluruh pipa gas yang dimiliki— baik yang sudah dibangun maupun yang sedang dan akan dibangun— sebagai sama-sama BUMN, semestinya PGN juga dapat melakukan itu. ●
Kebijakan open access merupakan amanat dari UU Migas No 22/2001 dan Permen ESDM No 19/2009 tentang Kegiatan Gas Bumi Melalui Pipa. Ketentuan Permen ESDM tersebut mengamanatkan open accesspaling lambat sudah harus diterapkan pada September 2011. Tetapi, pemerintah kemudian menjadwal ulang (mengundur) penerapan kebijakan tersebut hingga dua kali tanpa melalui revisi regulasi.
Pihak yang setuju meyakini open accessakan membuat harga gas di pemakai akhir khususnya industri akan lebih murah. Hal tersebut karena penawaran akan semakin meningkat sehingga harga gas bisa lebih kompetitif dan masalah defisit gas domestik dapat dikurangi.
Sedangkan pihak yang tidak setuju berpendapat penerapan open access justru akan menyebabkan harga gas menjadi lebih tinggi. Kebijakan tersebut juga akan menyebabkan pasar yang sudah dibangun oleh perusahaan gas negara (PGN) selama ini habis dimanfaatkan oleh para trader gas.
Penerapan open access membuat para trader gas dapat menggunakan pipa gas PGN dan menjual gas mereka kepada para pelanggan PGN. Pihak yang tidak setuju juga menyatakan, jika kebijakan tersebut diterapkan, tidak akan ada lagi perusahaan gas yang mau membangun infrastruktur.
Struktur Pasar Gas Nasional
Polemik penerapan kebijakan open accesstidak terlepas dari kondisi struktur pasar gas nasional yang kurang/tidak sehat. Pada sektor hulu pasar gas nasional mengarah pada kondisi oligopoli—sekitar 90% produksi gas dikuasai hanya oleh delapan produsen. Sedangkan pada sektor hilir pasar gas mengarah pada kondisi monopoli— sebagian besar infrastruktur gas nasional dikuasai oleh dua BUMN.
Berdasarkan kapasitas dan panjangnya penguasaan pipa transmisi gas nasional dimonopoli oleh Pertamina. Sedangkan penguasaan pipa distribusi gas nasional dimonopoli oleh PGN. Dalam kondisi pasar yang tidak sempurna tersebut peran/intervensi pemerintah diperlukan. Struktur pasar yang tidak sehat menjadi salah satu penyebab kondisi anomali pada pasar gas nasional.
Meski konsumsi (kebutuhan) gas nasional rata-rata baru sekitar 50% dari kemampuan produksi gas nasional setiap tahunnya, domestik telah mengalami defisit gas hampir setiap tahun. Sektor industri dan kelistrikan sering mengeluhkan minimnya pasokan gas yang mereka terima.
Untuk mengatasi permasalahan yang ada tersebut, beberapa waktu yang lalu pemangku kepentingan termasuk sejumlah anggota DPR meminta agar dilakukan moratorium ekspor gas. Meski positif untuk kepentingan nasional, usulan tersebut sesungguhnya tidak menyelesaikan akar (inti) permasalahan. Krisis gas nasional bukan karena kurangnya produksi, melainkan lebih karena keterbatasan infrastruktur gas yang tersedia.
Karena itu, jika pemangku kepentingan “sungguh-sungguh” ingin menyelesaikan masalah defisit gas domestik, tindakan yang prioritas adalah menyelesaikan masalah infrastruktur gas termasuk kebijakan open access.
Tata Niaga Gas Nasional Bermasalah
Struktur pasar gas nasional yang tidak sehat berkontribusi terhadap tata niaga gas nasional yang cenderung berbiaya tinggi. Data menunjukkan saat ini terdapat lebih dari 60 perusahaan trader gas yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, lebih dari 90% trader tidak memiliki infrastruktur.
Itu pula yang menjadi kekhawatiran pihak yang tidak setuju dengan penerapan open access. Jika kebijakan tersebut diimplementasikan puluhan trader gas ramai-ramai menggunakan infrastruktur gas PGN dan menjual gas mereka kepada konsumen PGN, PGN akan dirugikan. Kekhawatiran tersebut dapat terjadi bila fungsi pengaturan pemerintah tidak berjalan.
Kini fungsi tersebut perlu dipertanyakan. Bagaimana bisa sampai muncul puluhan trader gas yang tidak memiliki infrastruktur dan sumber gas. Hanya berperan sebagai broker— membeli gas pada produsen di hulu, menggunakan infrastruktur pihak lain, dan menjualnya kepada pengguna akhir di hilir. Kondisinya semakin mengkhawatirkan karena margin yang tinggi ternyata justru lebih banyak dinikmati oleh para trader (broker) gas.
Akibat itu, pengembangan lapangan gas di hulu relatif tidak berjalan dan sektor industri nasional berbiaya tinggi sehingga produk yang dihasilkan berdaya saing rendah. Permasalahan tata niaga gas juga telah menggeser fokus PGN dari yang diharapkan sebagai leader pengembangan infrastruktur gas menjadi lebih sebagai trader gas.
Profil perkembangan aset tetap, pendapatan, dan laba perusahaan menunjukkan kecenderungan tersebut. Dalam lima tahun terakhir nilai aset tetap perusahaan setelah dikurangi penyusutan tercatat terus menurun. Hal tersebut mengindikasikan relatif tidak ada penambahan aset tetap perusahaan yang di dalamnya termasuk infrastruktur gas.
Dari kinerja keuangan, sebagian besar pendapatan dan laba perusahaan pada periode tersebut dari usaha trader gas. Sedangkan pendapatan dan laba dari aktivitas perusahaan sebagai distributor atau transporter gas tidak begitu signifikan. Pergeseran fokus bisnis PGN tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, margin yang diperoleh dari usaha trader (broker) jauh lebih tinggi dibandingkan marjin dari usaha distributor gas.
Apalagi dengan fungsi ganda sebagai trader dan transporter perusahaan memiliki daya tawar tinggi dan berpotensi dapat mendikte produsen dan konsumen gas. Kedua, kepemilikan infrastruktur saat ini tidak cukup menguntungkan jika perusahaan hanya mengandalkan usaha distributor gas.
Ketiga, hal tersebut dapat dipicu karena pemerintah mengizinkan para trader gas yang tidak memiliki infrastruktur dan sumber gas masuk dalam tata niaga gas. Jika pihak yang relatif tidak bermodal dapat menikmati marjin tinggi dalam niaga gas, tentu PGN sebagai pemilik infrastruktur merasa jauh lebih berhak.
Membenahi
Meski akan ada pihak yang terdampak, penerapan open access menjadi salah satu tahapan yang harus dilakukan untuk membenahi masalah tata niaga gas nasional. Penerapan open access akan mendorong pasar gas domestik menjadi lebih sehat karena konsumen akan memiliki lebih banyak pilihan penyuplai gas. Konsumen yang selama ini tidak mendapatkan gas berpeluang bisa memenuhi kebutuhannya karena penyuplai gas akan bertambah.
Dalam hal ini penyuplai gas akan saling berkompetisi sehingga mendorong harga gas di pemakai akhir bisa lebih rendah. Penerapan open access pasar yang selama ini relatif dikuasai oleh PGN memang akan bergeser karena ada kompetisi. Tetapi, kondisi tersebut sesungguhnya merupakan peluang bagi PGN.
Jika perusahaan mampu melakukan ekspansi pembangunan infrastruktur gas secara masif, perusahaan akan tetap mendapatkan keuntungan yang besar dari toll fee. Hal tersebut pula yang dilakukan oleh perusahaan distributor gas di Eropa dan Amerika. Pola bisnis yang relatif sama juga dilakukan oleh perusahaan pengelola jalan tol di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Dalam hal ini jika Pertamina menyatakan siap dan sanggup menerapkan kebijakan open access untuk seluruh pipa gas yang dimiliki— baik yang sudah dibangun maupun yang sedang dan akan dibangun— sebagai sama-sama BUMN, semestinya PGN juga dapat melakukan itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar