Senin, 28 Oktober 2013

Wewenang Pengujian Perppu

Wewenang Pengujian Perppu
Moh Mahfud MD  Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 26 Oktober 2013


Pernyataan Prof Yusril Ihza Mahendra bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwenang melakukan pengujian konstitusionalitas (judicial review) terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menarik untuk saya timpali. 

Pendapat Yusril itu sama dengan pendapat saya dari sudut akademis-keilmuan. Namun terlepas dari soal akademiskeilmuan, secara yuridiskonstitusional, sekaranginiMKberwenangmelakukan pengujian konstitusional terhadap Perppu. SebabmelaluiPutusanNo. 138/ PUU-VII/2009 saat memutus perkara pengujian konstitusional atas Perppu No 4 Tahun 2009 tentang KPK, MK telah menyatakan dirinya berwenang melakukan pengujian terhadap Perppu. 

Menurut Putusan MK itu, karena materi muatan Perppu adalah materi Undang-Undang dan derajatnya pun setingkat dengan UU, maka MK menyatakan Perppu bisa diuji oleh MK melalui judicial review. Putusan MK bersifat final dan mengikat. Putusan MK juga harus dianggap sebagai tafsir resmi atas isi konstitusi sehingga, suka atau tidak suka, putusan MK bahwa Perppu bisa diuji oleh MK harus diterima sebagai bagian dari tata hukum yang kini berlaku sah. Artinya, sejak itu, Perppu menjadi objek baru dalam pengujian konstitusional oleh MK dalam peraturan perundang-undangan. 

Adalah saya sendiri selaku Ketua MK yang mengetokkan palu vonis MK yang menjadikan Perppu itu objek judicial review sebagai keputusan yuridis konstitusional. Tetapi secara akademis-keilmuan, saya sendiri sejak awal sebenarnya tidak setuju jika Perppu itu dijadikan objek pengujian oleh MK. Saya berpendapat bahwa Perppu itu hanya bisa diuji oleh DPR melalui political review atau legislative review dan bukan oleh MK melalui judicial review. Tetapi dalam adu legal opinion dalam Rapat Permusyawaratan Hakim, saya kalah suara. 

Ada empat hakim lain yang berpendapat kuat bahwa MK bisa menguji Perppu, empat hakim lainnya setuju dengan pendapat yang terbanyak, dan hanya saya yang berpendapat Perppu tidak bisa diuji oleh MK. Jadi secara keseluruhan ada delapan hakim yang setuju Perppu menjadi objek pengujian konstitusional oleh MK dan hanya satu hakim, saya sendiri, yang berpendapat sebaliknya sehingga pada akhirnya vonis MK menyatakan Perppu menjadi objek pengujian konstitusional oleh MK. 

Saya sendiri tetap yakin dengan pendapat bahwa Perppu tak bisa diuji oleh MK, sehingga saya menyatakan membuat concuring opinion yang dibacakan dalam sidang terbuka dan dilampirkan di dalam vonis MK itu. Ada tiga alasan mengapa saya menolak jika Perppu dijadikan obyek judicial review oleh MK. Pertama, menurut Pasal 24C UUD 1945 MK menguji konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD. 

Undang-undang adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang berdiri sendiri yang tidak bisa serta-merta disamakan dengan Perppu sebab Perppu pun merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang berdiri sendiri. Oleh karena Pasal 24C hanya menyebut undangundang sebagai objek pengujian konstitusional oleh MK, maka Perppu atau bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan lainnya tidak bisa diuji konstitusionalitasnya oleh MK. 

Kedua, menurut Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Perppu yang dibuat karena kegentingan yang memaksa itu harus dimintakan persetujuan kepada DPR dalam masa sidang berikutnya, yang apabila DPR menolak untuk menyetujuinya maka Perppu itu harus dicabut. Ini berarti bahwa pengujian Perppu itu sepenuhnya menjadi wewenang DPR apakah akan dijadikan UU atau tidak. Jika DPR sudah meloloskan Perppu menjadi undang-undang barulah MK boleh melakukan pengujian konstitusionalitas atasnya. 

Ketiga, memang benar bahwa materi muatan Perppu itu setingkat UU sehingga secara sekilas memberi kesimpulan bisa diuji oleh MK, tetapi karena bentuknya sendiri bukan undang-undang sebagaimana dibunyikan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 dan berlakunya hanya terbatas sampai masa sidang DPR berikutnya, bukan untuk waktu yang tak dibatasi, maka pengujian Perppu itu menjadi wewenang DPR melalui political review atau legislative review sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (2) dan (3) UUD 1945. 

Bagi saya, Perppu itu bukan undang-undang yang boleh diuji konstitusionalitasnya oleh MK karena bentuk dan prosedur pembentukannya memang berbeda dari undang-undang. Perppu juga tak bisa diuji konstitusionalitasnya melalui judicial review oleh MK sebab pengujiannya sudah diserahkan kepada mekanisme political review atau legislative review oleh DPR dalam waktu terbatas yakni pada masa sidang berikutnya. 

Dengan demikian, jika MK melakukan pengujian konstitusionalitas terhadap Perppu berarti MK telah merampas wewenang DPR untuk melakukan pengujian pada masa sidang berikutnya guna menentukan lebih dulu apakah Perppu itu bisa menjadi undang-undang ataukah harus dicabut. Dalam pengambilan keputusan di MK, ternyata saya kalah suaradari hakim-hakim yang berpendapat lain. Salah satu kekuatan MK yang saat itu kami banggakan adalah sikap independen dan bebasnya para hakim untuk menyatakan pendapat hukum tanpa boleh diintervensi atau harus ikut pendapat Ketua. 

Sekarang MK sudah memutus, Perppu bisa diuji oleh MK. Inilah yang harus diterima sebagai ketentuan hukum yang berlaku. Jika keberlakuan ini harus diubah sesuai dengan logika akademik-keilmuan yang saya anut maka, tak ada jalan lain kecuali harus melalui amandemen UUD. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar