|
Tanggal 28 Oktober 2013 baru saja
diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda ke-85. Momentum ini sangat
tepat menyegarkan kembali mengenai semangat kebangsaan sebagai satu tanah air
Indonesia, satu bangsa Indonesia, dan satu bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan.
Sumpah yang diucapkan pada 85 tahun
lalu ini, kiranya masih relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini guna
semakin mengukuhkan semangat kebangsaan dan semangat mencintai bahasa
Indonesia. Untuk itu, patut juga kita mengapresiasi soal penetapan bulan
Oktober sebagai bulan bahasa.
Sejarah mencatat, Indonesia
cukup sukses untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai persatuan, tanpa
menyampingkan kehadiran bahasa daerah sebagai kekayaan bangsa
Indonesia. Jadi tidak terlalu berlebihan, kalau dengan menggunakan bahasa yang
baik dan benar, sesungguhnya kita sedang ikut mengembangkan bahasa
Indonesia.
Namun, dalam kaitan dengan
peringatan Sumpah Pemuda ini, penulis menyoroti semangat sumpah pemuda dengan
kondisi terkini yang terjadi di Papua. Ini karena semangat cinta Tanah Air,
cinta bangsa, dan komitmen untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan tidak boleh hanya tumbuh di wilayah lain, tapi juga harus
merata bersemi di seluruh wilayah Indonesia ini.
Tiga kecintaan ini hanya
bisa tumbuh subur, jika semua anak bangsa merasakan adanya kepercayaan (trust),
keadilan dan penghormatan terhadap kemanusiaan sebagai bagian dari bangsa yang
besar ini. Para pendiri bangsaini sejak semula sudah menggariskan,
kalau nasionalisme Indonesia itu harus bertumpukan keadilan dan kemanusiaan.
Secara sederhana, ketika
warga bangsa merasakan adanya keadilan dan kemanusiaan maka niscaya itu akan
menumbuhkan kepercayaan dan bersemainya nasionalisme itu. Untuk itu, ketika
kita asyik mengupayakan nasionalisme, tapi di sisi lain mengabaikan atau
membiarkan runtuhnya keadilan dan kemanusiaan maka kita sebenarnya sedang
mengabaikan dan membiarkan rontoknya nasionalisme Indonesia.
Indah di Kertas
Dalam momentum yang baik
ini, sangat menarik untuk melihat implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus
Papua, yang semula diharapkan sebagai jawaban terhadap rasa keadilan dan
kemanusiaan di Papua, termasuk untuk mengembalikan rasa percaya akan adanya
keinginan baik untuk mewujudkan kesejahteraan di Papua.
Namun, UU Otsus Papua hanya
indah di atas kertas, tapi begitu lemah dalam implementasi di
lapangan. Kelemahan itu, harus secara jujur diakui ada kelemahan dari pelaksana
di daerah, tapi juga tidak kecil kontribusi dari pemerintah pusat. Di sini,
semangatnya bukan saling menyalahkan atau pun melempar kesalahan kepada
pemerintah pusat.
Bukan rahasia lagi, kalau
ada berbagai regulasi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, tapi
tersendat-sendat dan diabaikan. Begitu juga masih ada kelemahan daerah dalam
merampungkan berbagai regulasi sebagai prasyarat untuk mengimplementasikan UU
Otsus.
Namun, menjadi pertanyaan
juga ketika Papua dan Papua Barat sudah merampungkan berbagai
peraturan daerah provinsi (perdasi) dan peraturan daerah khusus (perdasus),
justru terhambat atau tidak dipedulikan pejabat pusat yang berkaitan dengan hal
itu.
Sebagai contoh, ada dua
peraturan daerah yakni mengenai pengaturan pegawas daerah. Daerah mengambil
kebijakan mengangkat pegawai honorer sebagai penjabaran dari ketentuan
Pasal 27 UU Otsus yang sudah barang tentu mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, justru masih mendapat hambatan dari
pusat tanpa penjelasan apa pun.
Begitu juga dengan Perdasus mengenai Pengelolaan
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebagai pelaksanaan
ketentuan Pasal 34 Ayat 3 dan Ayat 7 UU Otsus Papua dianggap seolah mengganggu
kewenangan dan kepentingan pusat.
Padahal, perdasus itu
mengatur pembagian hasil yang menjadi porsi provinsi kepada setiap
kabupaten/kota. Jadi, semestinya tidak boleh ada pihak yang merasa terganggu.
Hal ini karena keberadaan perdasus itu sangat penting untuk menjaga
perasaan keadilan bagi daerah produksi.
Kelompok Minoritas
Dengan berbagai pengalaman
yang ada dalam hubungan pusat dan Papua, sebenarnya Papua dan Papua Barat masih
menantikan komitmen dan janji dari sejumlah elite di Jakarta, baik presiden,
menteri, dan DPR terhadap rakyat di Papua. Implementasi UU Otsus tidak akan
pernah dilaksanakan sebaik-baiknya jika tidak ada rasa saling terbuka dan
kejujuran pusat dan Papua.
Untuk itu, dalam bulan
bahasa yang baik ini, sesungguhnya Papua telah lama menggunakan bahasa
Indonesia (Melayu) dari kota hingga ke kampung-kampung yang jauh terpencil
sekalipun, bahkan jauh sebelum Sumpah Pemuda 1928. Papua masih perlu untuk
berbahasa yang baik dan benar, tapi jauh lebih membutuhkan bahasa kejujuran
sebagai bentuk keberpihakan terhadap berbagai kebijakan yang berkaitan
dengan tanah dan orang asli Papua.
Kita tentu mengapresiasi,
adanya 11 kursi di DPR Papua dan 9 kursi DPR Papua Barat yang diangkat dari
masyarakat adat sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 6 UU Otsus Papua. Namun,
sesungguhnya harapan itu bukan sekadar keberpihakan di Papua, melainkan
bagaimana wujud keberpihakan di pusat pemerintahan dan parlemen.
Ke depan, perlu adanya
jaminan keberpihakan baik dalam struktur pemerintahan maupun di parlemen bagi
orang asli Papua. Saat ini, kursi parlemen yang merupakan jatah tanah, justru
tidak semuanya diduduki orang asli Papua.
Ada berbagai macam varian
bentuk keberpihakan atau afirmatf negara terhadap kaum minoritas yang
diberlakukan di berbagai negara. Kita bisa menyimak perlakuan terhadap suku
Maori di Selandia Baru yang memperoleh jatah 15 persen kursi di parlemen,
begitu juga ada contoh suku Quebec di Kanada. Juga kita bisa melihat affirmative
policy di Belgia terhadap suku Flemish. Ada banyak contoh, sebab hampir semua
negara memiliki varian sendiri untuk menyatakan keberpihakan terhadap kelompok
minoritas.
Harus diakui sejak
penghapusan utusan golongan di MPR, sesungguhnya telah terjadi penghilangan
keberpihakan negara terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Padahal, pendiri
negara telah jauh-jauh hari menyediakan ruang bagi kelompok minoritas di negara
ini, sehingga diatur dalam UUD 1945 (bukan hasil amendemen).
Untuk itu, menjadi sangat
relevan untuk mempertimbangkan kembali posisi kaum minoritas dalam tata
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena dalam UUD 1945, sesungguhnya
keberadaan utusan golongan merupakan ruang untuk semua kelompok warga bangsa,
termasuk kaum minoritas. Namun, ada kekeliruan dalam implementasi selama Orde
Baru. Bukan keberadaan utusan golongan yang keliru, tetapi sistem rekrutmen
yang seharusnya dibenahi.
Dalam konteks Papua, hanya
dengan bahasa kejujuran apakah benar kita masih dan akan terus satu bangsa,
satu tanah air, dan satu bahasa persatuan yaitu Indonesia maka kita tidak perlu
ragu kalau Papua selamanya akan tetap menjadi bagian NKRI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar