|
YANG
lebih diingat dari Sumpah Pemuda tentu komitmen: ber tanah air, berbangsa, dan
berbahasa Indonesia. Namun, mestinya jangan dilupakan, saat itu lagu Indonesia
Raya untuk pertama kali diperdengarkan.
Keduanya saling melengkapi,
demikian tulis Prof Dr Subroto dalam Pendidikan untuk Indonesia Raya, 2013.
Tiga sumpah yang sangat ringkas itu diberi jiwa dalam lagu kebangsaan:
Indonesia Raya.
Menjadi tanya: apa yang menjadi
makna terdalam dari himne paling utama di negeri ini? Yang pasti, jiwa
patriotis sang komponis, WR Supratman, merupakan pintu masuk, demikian kata
Subroto yang juga mantan Sekjen OPEC. Meski hanya berumur 17 tahun, ia sudah
merasa terpanggil untuk me nanggapi imbauan buletin Hindia Belanda Poetra
(1920) untuk membuat himne nasional.
Lagu yang diselesaikannya pada 1924
dan dinyanyikan pada 1928 saat ia berumur 25 tahun itu kental dengan pesan
kepemudaan. Hal itu terungkap dalam kata pandu, yang disebut dua kali, yakni
pada stanza pertama: `Jadi pandu ibuku', dan stanza ketiga (yang tidak lagi
dinyanyikan secara resmi), `Majulah pandunya'. Mengapa `pandu'? Hal itu tentu
berkaitan dengan gerakan pramuka yang dulu disebut kepanduan. Di dalam gerakan
itu tidak sedikit orang mengalami proses pendewasaan diri berkat aneka latihan
yang diperoleh.
Namun, yang lebih utama ialah peran
pemuda sebagai p(em)andu atau padvinders.
Kualitas diri yang diharapkan ialah pemuda sebagai pembuka jalan, penunjuk
arah, pencari jejak, pelacak, atau pathfinder.
Kualitas itu diungkap kan dalam dua
sisi, subjektif dan objektif. Seseorang bisa menjadi pemandu kalau memiliki
kematangan internalsubjektif. Hal itu juga ditunjukkan kesadaran untuk ikut
memiliki negeri ini. Untaian kata ku (tanah airku, tanah tumpah darahku, di
sana aku berdiri), ialah ekspresi yang sangat jelas.
Pada sisi lain, kematangan diri itu
perlu dipadukan dalam nuansa persatuan dan kesatuan. Tak mengherankan, setelah
seruan `Indonesia bers satu', ditekankan pula kesas daran objektif untuk
membangun `jiwa dan raga' yang diberi penekanan `nya' (bangunlah jiwanya,
bangunlah raganya), sebagai representasi `Indonesia Raya'.
Kesadaran baru
Sumpah Pemuda sudah berumur 85
tahun, dengan 68 tahun di antaranya merupakan masa kemerdekaan. Namun, apakah
jiwa kepemudaan itu telah menjadi sebuah kesadaran subjektif yang selanjutnya
menjadi daya dobrak untuk menca pai sebuah kekuatan kebangsaan?
Harus diakui, contoh hidup pe muda
`waktu itu' tentu ti dak bisa dijadikan takaran untuk menilai pemuda masa kini.
Tiap generasi punya konteks sendiri yang menjadikannya lain, meskipun secara
analogis terdapat kesamaan.
Dulu, misalnya, kaum kolonialis
begitu kuat memasung. Yang menarik, tantangan eksternal itu dijadikan peluang
untuk menumbuhkan kesadaran subjektif melalui etape Kebangkitan Nasional, 1908.
Ia berkembang menjadi kesadaran objektif yang terealisasi melalui Sumpah Pemuda
1928 dan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Kini tantangan paling kuat datang
dari globalisasi. Ia merambah hampir seluruh lini kehidupan. Namun, bagi pemuda
yang punya `nyali' dan kreatif, hal itu bisa sekaligus menjadi peluang. Di sana
tantangan dapat ditrans formasi secara kreatif untuk mewujudkan Indonesia Raya.
Hal itu sudah menjadi kesadaran banyak
pemuda Indonesia kini. Tantangan telah diubah menjadi peluang. Tak mengherankan
kejutan menggembirakan selalu hadir karena pemuda sanggup merangkaikan narasi-narasi
pendek, di dalamnya tebersit optimisme kita bakal menguasai dunia melalui aneka
kreativitas.
Namun, seirama dengan perjalanan
waktu, muncul kesadaran bahwa tantangan kita tidak hanya itu. Ada yang lebih
serius dan lebih mengkhawatirkan yang datang bukan dari luar, melainkan dari
dalam. Ia terus mengobok-oboki dan mencederai kebersamaan kita.
Salah satu yang paling mencemaskan
tentunya korupsi. Ia bak ngengat merongrong kita dari dalam, menggerogoti
seluruh lapisan hingga masyarakat hingga menerpa institusi terhormat seperti,
MK. Tak hanya itu. Nafsu mencapai kekuasaan tak terkontrol. Dinasti keluarga
dibangun tanpa memberi tempat pada rasa risih, malah menghibur diri karena
telah memenuhi rangkaian demokrasi prosedural yang diizinkan.
Kenyataan itu mengingatkan kita
pada awasan Arnold Toynbee: `civilizations
die from suicide, not by murder'. Kita disadarkan, kegagalan sebuah bangsa
bukan terutama disebabkan ancaman eksternal, melainkan lebih pada kita sendiri
yang sampai hati menggali kubur untuk membenamkan cita-cita kebangsaan.
Kenyataan itu bisa saja dilihat
titik-titik frustratif. Terkesan, bangsa ini kehilangan arah. Kita terus didera
aneka pengalaman mengecewakan. Karena itu, butuh nyali pemuda untuk melacak
akar masalah dan segera hadir sebagai penuntun menghadirkan optimisme.
Tugas pemuda, seperti kata
pepatah Latin nulla dies sine linea,
ialah memandu dengan menarik garis dari titik-titik kekecewaan menjadi garis
sambung penuh harapan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar