|
Berawal dari sebuah diskusi kecil di
antara pelajar di kampus Institute of
Social Science (ISS) Den Haag, tulisan ini mencoba mengangkat fenomena
Jokowi sebagai isu yang layak didiskusikan. Dewasa ini, mau tidak mau, para
pengamat Indonesia akan melihat isu Jokowi sebagai sebuah isu menarik dan
sekaligus merefleksikannya dengan pemahaman kontemporer, setidaknya di dua
sisi, yaitu politik partisipasi dan birokrasi. Berbeda dengan kebanyakan
pendapat yang melihat fenomena Jokowi sebagai referensi untuk para pejabat
daerah, tulisan ini ingin membedah dari sisi kritis apa yang sebenarnya terjadi
dalam pemahaman akademis yang perlu juga diketahui oleh khalayak publik.
"Blusukan" menjadi tren akhir-akhir ini. Dalam pemahaman bahasa, "blusukan" adalah terminologi dalam bahasa Jawa yang kurang-lebih berarti keluar-masuk tempat-tempat kecil. Dalam pemahaman politik, blusukan lebih merujuk pada pendekatan langsung kepada konstituen atau konstituen potensial. Fenomena ini tentunya bukanlah sebuah fenomena baru, bahkan Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto juga pernah melakukan hal yang sama di zaman mereka. Yang membedakan fenomena blusukan model Jokowi dengan dua nama sebelumnya adalah, Jokowi langsung memberikan aksi atas laporan warganya dan kalau perlu mencopot pejabat yang bertanggung jawab atas hal tersebut. Sebuah aksi yang jarang sekali kita temui di masa Orde Baru.
Dalam hal ini, blusukan Jokowi menyiratkan dua konsep dalam politik, yaitu partisipasi publik dan distorsi organisasi birokrasi. Apa keterkaitan dua hal itu dengan blusukan? Blusukan adalah bentuk pengecekan (cross-check) atas apa yang selama ini dilaksanakan oleh birokrasi dan organisasi pemerintah, sekaligus mencari input baru dalam operasi perbaikan sistem politik. Blusukan sekaligus membuka sumbatan (bottle neck) yang selama ini sering dikeluhkan oleh warga. Akuntabilitas yang lemah, tidak adanya transparansi, dan lamanya respons atas komplain adalah wujud dari bottle neck tersebut. Dengan blusukan, semua akan terbuka secara gamblang; apa masalah yang ada, bagaimana kemungkinan penyelesaiannya, dan siapa yang harus bertanggung jawab.
Partisipasi warga adalah formasi penting dalam sistem politik. Dalam banyak hal, khususnya di negara berkembang, penghargaan atas partisipasi warga ternyata masih sangat kurang. Pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up), yang selama ini banyak didengungkan, dalam realitasnya tak lebih dari sebuah ritual yang wajib dijalankan dalam tahun anggaran. Dalam konteks politik pembangunan, Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) adalah bentuk ritual dari model partisipasi publik. Tetapi model ini sering kali tidak efektif, karena warga tidak tahu bagaimana cara menelusuri ide-ide yang sudah mereka sumbangkan dalam Musrenbang. Serupa, citizen charter (perjanjian warga) adalah juga bentuk partisipasi yang selama ini muncul di beberapa daerah sebagai wujud akuntabilitas pejabat publik kepada masyarakatnya. Singkatnya, dengan blusukan, partisipasi warga bisa didengar sekaligus direspons oleh birokrat.
Hal berbeda terjadi dalam organisasi birokrasi. Blusukan bisa menjadi bagian penting dalam model baru sistem pemerintahan. Tapi, dalam kacamata yang berbeda, blusukan adalah juga wujud ketidakpercayaan terhadap kinerja birokrasi. Dalam pemahaman yang kedua inilah sebenarnya titik temu di mana fenomena blusukan dipahami dalam lingkup akademisi dan praktisi. Dewasa ini, lembaga donor internasional menyerukan penerapan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) sebagai ujung tombak pemberantasan kemiskinan sekaligus bentuk baru pelembagaan kewenangan kepada pemangku-pemangku kepentingan di luar negara. Pendekatan good governance sangat menekankan pada kerja teknokrasi yang baik, transparan, dan dalam beberapa hal-apolitis.
Idealnya, tanpa blusukan, kinerja birokrasi harus mampu menjalankan fungsi-fungsi dasarnya seperti yang diinginkan. Mekanisme kontrol dan checks and balancesseharusnya sudah terlembagakan dalam penerapan ini. D, istilah dalam Orde Baru semisal waskat (pengawasan melekat) menjadi alat disiplin bagi pegawai pemerintahan. Sekarang, blusukan menjadi waskat model baru yang lebih ampuh.
Sebenarnya, apakah blusukan menjadi fenomena ad hoc (sementara) yang bisa diterapkan di tempat lain? Jawabannya adalah relatif dan situasional. Blusukan, sebagai bagian dari efek kejut awal dalam sebuah birokrasi yang tidak bekerja maksimal, memiliki efektivitas yang sangat tinggi. Kalau ini tidak dilembagakan dan diintegrasikan dengan sistem pemerintahan, efeknya menjadi negatif dan tidak berkelanjutan. Kenapa? Karena blusukan (jika tidak terlembagakan) tidak memberi pelajaran swadisiplin (self-discipline) kepada organ birokrasi. Terkesan, blusukan adalah strategi kepala daerah yang baru. Dan setelah berakhir masa jabatannya, maka berakhir sudah blusukan itu.
Di banyak negara maju, tanpa blusukan pun, birokrasi pemerintah berjalan dengan baik. Jarang sekali ditemui penyelewengan-penyelewengan secara personal, lebih-lebih secara sistematis. Di Indonesia, reformasi birokrasi adalah salah satu cita-cita reformasi yang harus diwujudkan. Blusukan bisa menjadi fenomena reformasi birokrasi kekinian yang perlu diberi telaah mendalam, diberi kritik yang membangun, dan tentu saja disumbang dengan ide-ide perbaikan di dalamnya. Jangan sampai, setelah blusukan tidak ada, organisasi birokrasi kembali mengalami disfungsi. ●
"Blusukan" menjadi tren akhir-akhir ini. Dalam pemahaman bahasa, "blusukan" adalah terminologi dalam bahasa Jawa yang kurang-lebih berarti keluar-masuk tempat-tempat kecil. Dalam pemahaman politik, blusukan lebih merujuk pada pendekatan langsung kepada konstituen atau konstituen potensial. Fenomena ini tentunya bukanlah sebuah fenomena baru, bahkan Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto juga pernah melakukan hal yang sama di zaman mereka. Yang membedakan fenomena blusukan model Jokowi dengan dua nama sebelumnya adalah, Jokowi langsung memberikan aksi atas laporan warganya dan kalau perlu mencopot pejabat yang bertanggung jawab atas hal tersebut. Sebuah aksi yang jarang sekali kita temui di masa Orde Baru.
Dalam hal ini, blusukan Jokowi menyiratkan dua konsep dalam politik, yaitu partisipasi publik dan distorsi organisasi birokrasi. Apa keterkaitan dua hal itu dengan blusukan? Blusukan adalah bentuk pengecekan (cross-check) atas apa yang selama ini dilaksanakan oleh birokrasi dan organisasi pemerintah, sekaligus mencari input baru dalam operasi perbaikan sistem politik. Blusukan sekaligus membuka sumbatan (bottle neck) yang selama ini sering dikeluhkan oleh warga. Akuntabilitas yang lemah, tidak adanya transparansi, dan lamanya respons atas komplain adalah wujud dari bottle neck tersebut. Dengan blusukan, semua akan terbuka secara gamblang; apa masalah yang ada, bagaimana kemungkinan penyelesaiannya, dan siapa yang harus bertanggung jawab.
Partisipasi warga adalah formasi penting dalam sistem politik. Dalam banyak hal, khususnya di negara berkembang, penghargaan atas partisipasi warga ternyata masih sangat kurang. Pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up), yang selama ini banyak didengungkan, dalam realitasnya tak lebih dari sebuah ritual yang wajib dijalankan dalam tahun anggaran. Dalam konteks politik pembangunan, Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) adalah bentuk ritual dari model partisipasi publik. Tetapi model ini sering kali tidak efektif, karena warga tidak tahu bagaimana cara menelusuri ide-ide yang sudah mereka sumbangkan dalam Musrenbang. Serupa, citizen charter (perjanjian warga) adalah juga bentuk partisipasi yang selama ini muncul di beberapa daerah sebagai wujud akuntabilitas pejabat publik kepada masyarakatnya. Singkatnya, dengan blusukan, partisipasi warga bisa didengar sekaligus direspons oleh birokrat.
Hal berbeda terjadi dalam organisasi birokrasi. Blusukan bisa menjadi bagian penting dalam model baru sistem pemerintahan. Tapi, dalam kacamata yang berbeda, blusukan adalah juga wujud ketidakpercayaan terhadap kinerja birokrasi. Dalam pemahaman yang kedua inilah sebenarnya titik temu di mana fenomena blusukan dipahami dalam lingkup akademisi dan praktisi. Dewasa ini, lembaga donor internasional menyerukan penerapan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) sebagai ujung tombak pemberantasan kemiskinan sekaligus bentuk baru pelembagaan kewenangan kepada pemangku-pemangku kepentingan di luar negara. Pendekatan good governance sangat menekankan pada kerja teknokrasi yang baik, transparan, dan dalam beberapa hal-apolitis.
Idealnya, tanpa blusukan, kinerja birokrasi harus mampu menjalankan fungsi-fungsi dasarnya seperti yang diinginkan. Mekanisme kontrol dan checks and balancesseharusnya sudah terlembagakan dalam penerapan ini. D, istilah dalam Orde Baru semisal waskat (pengawasan melekat) menjadi alat disiplin bagi pegawai pemerintahan. Sekarang, blusukan menjadi waskat model baru yang lebih ampuh.
Sebenarnya, apakah blusukan menjadi fenomena ad hoc (sementara) yang bisa diterapkan di tempat lain? Jawabannya adalah relatif dan situasional. Blusukan, sebagai bagian dari efek kejut awal dalam sebuah birokrasi yang tidak bekerja maksimal, memiliki efektivitas yang sangat tinggi. Kalau ini tidak dilembagakan dan diintegrasikan dengan sistem pemerintahan, efeknya menjadi negatif dan tidak berkelanjutan. Kenapa? Karena blusukan (jika tidak terlembagakan) tidak memberi pelajaran swadisiplin (self-discipline) kepada organ birokrasi. Terkesan, blusukan adalah strategi kepala daerah yang baru. Dan setelah berakhir masa jabatannya, maka berakhir sudah blusukan itu.
Di banyak negara maju, tanpa blusukan pun, birokrasi pemerintah berjalan dengan baik. Jarang sekali ditemui penyelewengan-penyelewengan secara personal, lebih-lebih secara sistematis. Di Indonesia, reformasi birokrasi adalah salah satu cita-cita reformasi yang harus diwujudkan. Blusukan bisa menjadi fenomena reformasi birokrasi kekinian yang perlu diberi telaah mendalam, diberi kritik yang membangun, dan tentu saja disumbang dengan ide-ide perbaikan di dalamnya. Jangan sampai, setelah blusukan tidak ada, organisasi birokrasi kembali mengalami disfungsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar