|
Dalam demokrasi beradab, hukum berenang di lautan etika,
sehingga defisit undang-undang selalu bisa ditutupi kecukupan moralitas. Dalam
demokrasi lemah adab, hukum berenang di lautan para perompak, sehingga surplus
undang-undang tak membuat tertib hukum, malah semakin membuka peluang bagi
aksi-aksi kejahatan manipulatif.
Persoalan yang menyangkut politik dinasti sebagai sarang
korupsi dan tsunami yang menimpa Mahkamah Konstitusi (MK) adalah gunung es yang
menyingkap persoalan besar republik ini. Akar terdalam kebiadaban penyelenggara
negara itu bersumber dari paceklik etika politik. Padahal, etika politik
menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan
bersama, dan keadilan sosial. Seperti kata Paul Ricoeur, etika politik adalah
kekuatan reflektif untuk membongkar argumen yang melegitimasi kebijakan publik
dengan menempatkan diri dalam posisi dan dimensi moral orang lain.
Tidak ada yang lebih sempurna menggambarkan krisis etika
politik ini seperti musibah yang menimpa MK. Para hakim konstitusi mestinya
sadar benar akan sebuah diktum yang menyatakan, ”tidak ada konstitusi tanpa
moral”. Diktum inilah yang melandasi pernyataan Prof Soepomo di akhir
penjelasannya tentang Rancangan Undang- Undang Dasar 1945. ”Segala sistem ada
baik dan jeleknya,.. sistem mana saja tidak sempurna.” Lantas ia tekankan, apa
pun rancangan Konstitusi Indonesia, untuk kesempurnaannya sangatlah ditentukan
semangat moral penyelenggara negara. Bahwa ”yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hidup negara ialah semangat, semangat para penyelenggara
negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin
undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat
para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan,
undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik.”
Alangkah tragisnya ketika ketidaksempurnaan konstitusi yang
mestinya ditutupi moral penyelenggara negara, Ketua MK malah jatuh ke tangkup
penguasaan tangan-tangan amoral. Namun, solusi atas kemelut MK yang ditempuh
Presiden juga menggambarkan situasi yang lebih sinister. Krisis etika tidak
ditutupi oleh solusi etis, tetapi oleh pelanggaran etis. Mengeluarkan perppu
tanpa kegentingan yang memaksa selalu mengandung potensi susupan kepentingan
lain dan melampaui batas etis.
Berbagai ekspresi ketidakpatutan etis yang diperagakan para
pemimpin republik ini mengindikasikan meluasnya fenomena ”buta moral” (moral
iliteracy) yang melanda bangsa. Rendahnya tingkat melek moral inilah yang
membuat para penyelenggara negara kekurangan rasa malu dan rasa kepantasan. Dalam
kehidupan publik yang sehat, ada banyak hal yang tak bisa dibeli dengan uang.
Namun, dengan menipisnya rasa malu dan rasa kepantasan, cuma sedikit yang masih
tersisa. Hampir semua nilai, termasuk harga diri, bisa dibeli oleh uang.
Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan
pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, atau popularitas tokoh, melainkan
kehilangan harga diri karena diabaikannya semangat moral kehidupan bernegara.
Hilangnya harga diri dan prinsip kehidupan membuat para politisi dan penyelenggara
negara tumbuh dengan mentalitas pengemis. Para pemimpin di segala lapis dan
segi tak terbiasa lagi meletakkan tangan di atas, melainkan senantiasa di
bawah. Mereka mengalami kemiskinan permanen karena tak pernah merasa cukup
dengan yang telah ditimbunnya dari mencuri hak orang banyak.
Betapa banyak orang menyandang predikat pemimpin, tetapi
dengan mentalitas pengemis. Dalih ketidakcukupan gaji sebagai pejabat negara
dijadikan alasan terus menggelembungkan aneka tunjangan dan pencarian rente.
Tabiat seperti ini melenceng jauh dari kesadaran etis pendiri bangsa. Di tengah
impitan depresi ekonomi dan represi rezim pada dekade 1930-an, setegar baja
Bung Hatta berkata: ”Betul banyak orang yang bertukar haluan karena
penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis
itu.”
Indonesia lahir karena perjuangan dan komitmen luhur
memuliakan nilai dan martabat manusia. Dalam memperjuangkan harga diri manusia
lewat kemerdekaan, Indonesia telah lolos dari berbagai ujian kemelaratan dan
penderitaan. Namun, daya hidup dan karakter keindonesiaan itu justru goyah saat
ketamakan dan kezaliman kuasa menari di atas penderitaan rakyat banyak.
Tanpa basis moral yang kuat, negara hukum Indonesia menyimpan
banyak kemungkinan kebuntuan karena konstitusi memberikan kepercayaan besar
pada moral penyelenggara negara. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945
menyebutkan, ”Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab, mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lainnya untuk memelihara
budipekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat
yang luhur.”
Pejabat publik adalah representasi rakyat yang harus memiliki
kepekaan etis. Kepekaan etis senantiasa menempatkan keadilan di atas hukum.
Dalam rasa keadilan, pejabat negara dalam perilaku dan gaya hidupnya harus
menenggang simpul terlemah dari jutaan rakyat kecil yang terempas dan terputus.
Para penyelenggara negara dalam mengemban tugasnya tidak hanya bersandar pada
legitimasi hukum, tetapi juga legitimasi moral. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar