|
Sastra dan kuliner berhubungan tidak hanya dalam hal yang
bersifat material dan fisikal, seperti bagaimana tokoh-tokoh dalam karya sastra
mengonsumsi dan menikmati makanan, tetapi juga bersifat sosial kultural, yaitu
bagaimana tokoh-tokoh tersebut mengonstruksi identitas budaya dan prinsip hidup
mereka melalui makanan. Khazanah kuliner lokal, tradisional hingga modern,
membangun citra tokoh dan lanskap kultural dalam karya sastra.
Dalam kajian sastra dan kuliner (literary and culinary studies), makanan dapat dilihat sebagai
medium untuk membangun karakterisasi tokoh. Identitas lokal dan nasional dari
tokoh bisa digambarkan melalui kecenderungan melestarikan makanan berakar lokal
dan nasional dengan cara memasak, menghidangkan, hingga menikmatinya. Namun,
dalam karya sastra bertema urban dan metropolitan, berbagai jenis makananfast
food bisa menggambarkan gaya hidup tokoh-tokohnya sehingga citra tokoh
menjadi modern dan kosmopolitan. Dalam sastra Indonesia, kajian sastra kuliner
akan menarik karena kalau ditelisik beberapa karya mengandung isu-isu kuliner
yang menyatu dengan tema yang digarap pengarang.
Dalam novel Pulang (KPG, Desember, 2012) karya
Leila S Chudori, misalnya, dunia kuliner memainkan peran penting karena novel
ini berkisah tentang kehidupan para eksil politik Indonesia di Eropa, khususnya
Paris, Perancis, yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi dan budaya tanah air
mereka, Indonesia. Untuk membangun relasi antara tanah kelahiran dan negeri
tempat pengasingan serta menghidupkan memori dan nostalgia di kampung halaman,
kuliner khas Indonesia digambarkan dengan dipadu unsur budaya lain, kesenian
tradisional Indonesia, seperti wayang dan musik/lagu tradisional.
Kecintaan dan
kerinduan tokoh eksil seperti Dhimas Suryo (dalam novel Pulang), yang
menikah dengan perempuan Perancis bernama Vivienne, terhadap Indonesia
dijembatani dengan deskripsi kebiasaan Dhimas untuk mengonsumsi dan memasak
makanan-makanan khas Indonesia.
Kuliner
dan identitas budaya
Pada konteks konstruksi identitas budaya, eksil Indonesia
berupaya mempertahankan identitas dan selera kulinernya dengan membuka restoran
Indonesia ”Tanah Air” di Paris yang menyajikan makanan-makanan khas Indonesia,
seperti nasi kuning, tempe kering, ayam goreng kuning, kentang iris pedas,
rendang padang, gulai pakis, dan gulai anam. Di tengah dominasi makanan khas
Eropa dan kehidupan Barat yang harus dihadapi serta diadaptasi, tokoh-tokoh
eksil yang digambarkan Leila S Khudori memiliki militansi untuk menunjukkan
budaya Indonesia dan tetap mempraktikkannya. Perjuangan berat para eksil
politik 1965 dalam menghadapi tekanan dan teror Pemerintah Orba terasa makin
berat di Paris karena untuk mengobati kerinduan melalui makanan mereka harus
mengeluarkan biaya lebih mahal demi membeli bumbu-bumbu semacam cabai merah,
bawang merah, kunyit, jahe, daun jeruk, daun salam, dan bawang putih. Apalagi,
tidak mudah mendapatkan bahan-bahan untuk bumbu tersebut.
Negosiasi identitas melalui kuliner digambarkan oleh Leila
melalui tokoh gadis keturunan Indonesia-Perancis bernama Lintang (anak Dhimas
Suryo dan Vivienne) yang berkata, ”Un très bon plat, Ayah!” (”enak sekali,
Ayah!”) (hal 101) ketika dia menikmati masakan khas Indonesia yang dibuat
Dhimas Suryo. Superioritas Barat yang dalam tradisi post-kolonial masih sering
melekat dalam diri orang-orang Barat dan inferioritas budaya yang sering
distereotipkan untuk orient dengan sendirinya terdekonstruksi dalam
hal ini. Lebih jauh, Dhimas Suryo menunjukkan superioritasnya dalam urusan
meracik bumbu (resep makanan Indonesia/oriental) dengan melarang Vivienne
mengotak-atik urusan bumbu.
Identitas Indonesia yang ingin ditunjukkan tokoh eksil
Indonesia melalui urusan bumbu ini memberikan kesan bahwa praktik budaya
membutuhkan pengetahuan dan kebiasaan dari pelaku budaya yang membawa akar
budaya Indonesia. Bahkan dikisahkan, untuk menggerus bumbu tersebut, Dhimas
menggunakan ulekan batu yang dikirim dari Indonesia. Begitu penting
representasi kuliner di negeri orang hingga Leila S Chudori memberikan narasi
dalam novel Pulang bahwa ”Restoran Tanah Air adalah duta kebudayaan
di Paris yang sesungguhnya.” (hal 122).
Metafora kuliner
Jika novel Pulang lebih menekankan bagaimana
kuliner mengonstruksi identitas kultural tokoh-tokoh di dalamnya, cerpen karya
Damhuri Muhammad yang bertajuk Lelaki Ragi dan Perempuan Santan (Kompas,
29 September 2013) bisa digunakan sebagai contoh karya yang menggunakan
khazanah kuliner sebagai metafora yang menjiwai cerita. Cerpen Damhuri berkisah
tentang dinamika cinta dua anak manusia yang termetaforakan melalui makanan
khas Sumatera Barat bernama lemang-tapai yang harus disantap secara
berpasangan. Filosofi ”lemang” berhubungan dengan kesementaraan.
Sementara
”tapai” mewakili keabadian yang jika keduanya dipadukan akan saling melengkapi.
Si pemuda dalam cerpen ini memilih bersetia menanti gadis pujaannya yang selalu
mengirimkan lemang-tapai.
Pilihan yang melambangkan kesetiaan atas penantian
dan keabadian cinta. Sang pemuda tak menghiraukan kiriman gulai kentang yang
melambangkan pinangan dari gadis-gadis lain sebagaimana ditegaskan Damhuri
dalam cerpen ini, ”Kuah yang kental, kentang yang kempuh sempurna, bagai
mencerminkan kesungguhan niat dan ketulusan perasaan keluarga yang hendak
beroleh menantu.” Penggalian makna kuliner berakar lokal yang dilakukan Damhuri
makin memperkuat aspek estetis cerpen.
Metafora ”lelaki ragi” dan ”perempuan santan” mencapai
kulminasi metaforisnya ketika tapai dan santan dikaitkan dengan perkembangan
hubungan kedua anak manusia dari satu daerah itu yang mengalami keretakan. Si
gadis pergi setelah mendapatkan godaan pekerjaan, yang masih ada kaitannya
dengan dunia makanan, yaitu sebagai kasir restoran dan akhirnya menikah dengan
induk semang tanpa memberitahu si pemuda yang setia menantinya. Lemang yang
ditanak dengan santan digunakan Damhuri untuk menggambarkan ketidakabadian, bahkan
pengkhianatan yang dilakukan oleh si gadis.
Dan, ragi yang menjadi bahan wajib
untuk membuat tapai (yang makin diperam makin manis rasanya) menjadi metafora
jati diri dan kesetiaan si pemuda dalam mencintai si gadis. Si pemuda bahkan
hingga di akhir cerita memilih untuk tidak menikah sehingga ibunya sampai
memiliki asumsi bahwa anaknya itu masih memendam rasa cinta dan ingin menunggu
si gadis pujaannya yang telah menikah.
Metafora kuliner dalam cerpen Damhuri dengan demikian
memiliki peran penting, tidak hanya berkaitan dengan bagaimana meracik estetika
dan teknik penceritaan melalui metafora makanan yang dikaitkan dengan
karakterisasi tokoh, tetapi juga untuk menggerakkan plot dan menghadirkan
ketegangan serta konflik dalam cerpen. Sebagai bagian dari fenomena kebudayaan
yang telah lama mengakar di bumi Nusantara, tentunya kuliner Nusantara bisa
menjadi bahan kreatif penulisan yang makin memperkaya identitas sastra
Indonesia. ●
sangat membantu artikel ini
BalasHapusTentukan bagian struktur kutipan teks tersebut
BalasHapus