|
“Suka atau tidak suka pada partai, faktanya sebagian besar pengelola
negeri ini datang dari kader partai”
INDONESIA dipersiapkan
merdeka, pastilah bukan oleh kaum tua. Mereka yang terlibat aktif dalam Kongres
Pemuda I dan Kongres Pemuda II, sebagian besar adalah anak-anak muda. Moh Yamin, Soenario, J Leimena, Soegondo
Djojopoespito, WR Supratman, Kartosuwirjo, Kasman Singodimedjo, Moh Roem, Sie
Kong Liong merupakan aktor-aktor muda
yang menentukan perjalanan Indonesia selanjutnya.
Mereka adalah anak-anak muda
yang memiliki visi kebangsaan jauh ke depan. Termasuk telah menyelesaikan
agenda politik yang sangat dahsyat, yaitu masalah kesukuan dan bahasa dalam
bingkai keindonesiaan. Jika republik ini tidak memiliki Bahasa Indonesia, kita
bisa tidak bisa membayangkan bagaimana sidang parlemen berlangsung, bagaimana
pula bunyi bahasa dalam hukum, undang-undang, dan juga peraturan yang mengikat
seluruh warga negara.
Bahasa Jawa yang saat itu
sebenarnya merupakan bahasa mayoritas mengalah demi Indonesia. Meski sebagian
besar para penggagas kongres adalah anak-anak Jawa, kecerdasan intelektual
merekalah yang mendorong untuk ”mengalah” demi cita-cita yang lebih besar.
Jika Bahasa Jawa
”dipaksakan” untuk diterima sebagai bahasa nasional, sebenarnya bukanlah hal
sulit. Tetapi bentuk ” hegemoni” seperti itu susah bertahan lama karena akan
banyak yang merasa menjadi minoritas. Benih seperti itu tampaknya dihindari,
dengan memilih Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Pemilihan bahasa
minoritas menjadi bahasa nasional sungguh sebuah kearifan dari anak-anak muda
kala itu.
Tentu menjadi pertanyaan,
kenapa pada usia yang masih relatif muda di sekitar 20-30 tahun, anak-anak
bangsa kala itu sudah memiliki kesadaran politik sedemikian besar? Faktor apa
yang menjadi daya dorongnya? Gelombang perubahan dunia akhir 1900-an tentu memberikan
pengaruh kemunculan kesadaran baru di negara-negara yang terjajah yang
dimotivasi oleh makin banyaknya kaum muda terpelajar. Di samping arus informasi
dari Eropa yang kian deras menjangkau ke seluruh dunia. Apa yang terjadi di
negara-negara besar kala itu, tentu merupakan bahan kajian strategis bagi
anak-anak muda.
Pada periode setelah Kongres
Pemuda II, sejarah memberikan referensi, betapa makin banyaknya berdiri
organisasi politik, pemuda, dan juga organisasi masyarakat serta keagamaan.
Pasca kemerdekaan, partai politik jugaemakin banyak. Siapa yang berada di balik
organisasi itu semua? Kembali lagi, jawabannya bukan kaum tua melainkan
anak-anak muda yang dengan penuh idealisme membangun ”peradabannya” sendiri.
Pada umur berapa mereka
berjuang dan berpolitik? Semua masih dalam usia segar, usia muda di mana
bakat-bakat dan idealismenya bisa dieksploitasi besar-besaran. Kita bisa
membuka file sejarah kita, betapa banyak tokoh pergerakan kemerdekaan yang
bergelora pada usia muda.
Ir Soekarno masuk ke Partai
Indonesia (Partindo) pada usia 31 tahun, walaupun jauh sebelumnya sudah
berpolitik. Tan Malaka berpolitik juga dalam usia sekitar 20 tahun. Beberapa
tokoh lain menjadi gubernur dalam usia belum genap 30 tahun. Arnold Ahmad
Baramuli misalnya, menjadi Gubernur Sulawesi Utara & Tengah (1960-1962)
pada usia 29 tahun
Ilustrasi itu hanya untuk
menunjukkan bahwa betapa anak-anak muda yang masih penuh gelora dan semangat
itu mengeksploitasi kemampuannya di wilayah politik. Sementara tetap harus ada
yang bergerak di wilayah ekonomi bisnis, kebudayaan, dan juga bidang-bidang
lain misalnya ketentaraan. Untuk menjadi sastrawan, orang harus belajar ke
sekolah yang berjurusan itu. Jika ingin menjadi tentara profesional maka Akabri
dengan senang hati akan menampungnya.
Tetapi, bagaimana jika ingin
berpolitik? Partailah akan menampung,
memproses, membesarkan kariernya. Orang boleh saja tidak suka dengan partai.
Ini karena berbagai sebab. Tetapi fakta menunjukkan jasa partai terhadap
keberadaan republik ini juga besar. Partai sebelum masa kemerdekaan telah
memberikan darah segar bagi perjuangan bangsa bersama-sama dengan elemen
masyarakat lain.
Terlepas dari baik dan
buruknya partai pada masa Orde Baru, mereka juga telah memberikan kontribusi
besar bagi kelangsungan republik ini.
Dalam derajat tertentu, kemerebakan partai pascakemerdekaan hampir mirip
dengan pascareformasi. Partai sedemikian banyak, lalu terjadi koreksi alamiah
yang kembali ke jumlah ”normal”. Apakah jumlah
yang sekarang ada akan kembali terkoreksi, semua kembali kepada masyarakat.
Suka atau tidak suka pada
partai, faktanyasebagian besar dari pengelola negeri ini datang dari kader
partai. Bahkan, tentara profesional yang ingin menjadi presiden pun harus
membuat ”kapal” yang akan dinakhodai sendiri. Keadaan seperti ini seharusnya
menjadi daya tarik bagi kaum muda untuk masuk ke jalur politik via partai.
Masuknya anak-anak muda ke
partai tentu akan memberikan warna yang makin semarak, dan memberikan bobot
idealistik yang visioner bagi partai.
Mereka yang alumni badan
eksekutif mahasiswa (BEM) atau yang sekarang masih ada di sana, sebenarnya
telah memasuki fase awal pendadaran sebagai pemimpin. Mereka pun, dalam derajat
tertentu, telah memainkan diri dan memosisikan diri sebagai ìaktorî yang selalu
berusaha memengaruhi khalayak dengan semua visi dan cita-citanya.
Mereka telah menempatkan
diri sebagai aktor yang masih idealis karena ìfaktorî lain belum ikut bermain.
Telah banyak negawaran atau pun politikus Indonesia lahir dari sana, baik dari
kawah dewan mahasiswa, senat mahasiswa, atau BEM. Secara prinsip bekerjanya
tidak banyak berubah, hanya lingkungan strategisnya saja yang meluas.
Hasrat anak muda terjun ke
politik tentu saja tidak mudah. Mengader diri via partai tidak memberikan
kejelasan imbal prestasi menjanjikan. Ini berbeda manakala mereka menjadi PNS,
karyawan kantor swasta, atau pebisnis. Ketidakjelasan imbal prestasi seperti
itulah yang menjadikan praktik politik saat ini kurang menarik bagi anak muda.
Sementara yang terlihat saat ini, magang dulu sebagai pebisnis baru masuk
poliitik kemudian. Keadaan seperti ini tentu memiliki nilai plus dan minus.
Belum lagi tantangan dari
internal partai sendiri yang sering tidak memiliki agenda jelas terhadap
regenerasi. Hanya partai tertentu yang telah mempersiapkan diri dengan
menggunakan pengembangan sayap partai sebagai kawah regenerasi. Di samping itu,
kesediaan diri kaum tua untuk membuka keran kaderisasi juga amat penting, dan
tentu menjadi faktor penentu keberhasilan.
Ada beberapa faktor penentu
bagi keberhasilan anak-anak muda memasuki ìkawasanî politik. Hasrat kaum muda
memasuki kawasan ini harus dibangkitkan, karena suka atau tidak, dari sinilah
sebenarnya kaderisasi pemimpin negara disemaikan. Boleh saja orang tidak
menyukai politik, tetapi di mana pun negara berdiri, di sana para kaum politik
berperan. Dari situ pula, pemimpin
negara dipersiapkan.
Di sisi yang lain, kesediaan
partai untuk membuka diri terhadap kader yang masuk juga sangat penting. Partai
dan pengelolanya bertanggung jawab terhadap proses alih generasi dan
menyediakan diri untuk bersikap bahwa hasil renegerasi yang dipersiapkan akan
jauh lebih baik. Dengan demikian, pemahaman ideologi partai pada tiap individu
benar-benar tumbuh bersama kesadaran berpartai, berbangsa, dan bernegara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar