|
Bangsa
ini baru saja melakukan peringatan 85 tahun Hari Sumpah Pemuda yang hanya ramai
di tingkat seremoni kemudian dilupakan. Ketika peran pemuda pertama kali diakui
pada masa persiapan kemerdekaan, 28 Oktober 1928, pemuda saat itu belum disebut
pahlawan nasional. Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong
Sumatranen Bond dan Jong Islamieten Bond merasa deklarasi pemuda hanya perlu
disampaikan untuk menunjukkan eksistensi pemuda. Kini, eksistensi pemuda
menjadi sangat diharapkan kontribusinya karena begitu rumitnya persoalan
bangsa.
Kesolidan
pemuda Indonesia diakui bangsa ini ketika berperan penting menumbangkan
pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, Mei 1998 dengan aksinya yang heroik.
Para elite pemerintah yang mendapat keuntungan dari aksi 1998 pun kemudian ramai-ramai
menyebut pemuda adalah pahlawan, namun kini jasa pemuda mungkin sudah
dilupakan.
Menyikapi
melencengnya arah reformasi, tidak kurang pemuda melakukan gerakan menantang
kelompok senior yang kini berkuasa untuk melakukan potong generasi, namun tidak
mendapat respon yang berarti. Potong generasi dinilai oleh kaum senior terlalu
berisiko karena tentu saja akan mengancam status quo pihak yang mapan.
Ketakutan pemerintah terhadap pola potong generasi semakin tampak ketika
pemerintah memutuskan untuk memanjangkan usia pensiun hakim agung menjadi 70
tahun melalui revisi UU MA.
Hal
yang sangat utama dari konsep ini adalah pembaharuan bidang hukum yang diwarisi
dari hukum kolonial sejak 1918. Pemuda merasakan bahwa diperlukan reformasi
hukum secara total untuk mengejar dinamika dunia yang semakin cepat.
Hukum
kita begitu hitam putih dan sangat konservatif, tidak bisa melihat kepentingan
yang lebih besar, para hakim dibutakan sendiri oleh konstitusi sesat. Di
sinilah persoalannya, kenapa kasus-kasus korupsi BLBI atau Century tidak
kunjung bisa diselesaikan. Penyelesaian sengketa bisnis tidak berjalan,
sehingga menakutkan investor untuk berinvestasi. Ini terjadi karena hukum
Indonesia begitu multitafsir, yang salah bisa menjadi benar dan sebaliknya,
kepastian hukum menjadi sangat langka di negeri ini.
Law enforcement yang rendah ini akhirnya
memunculkan persoalan sosial di sisi lain sehingga mengubah kultur asli bangsa
seperti yang sekarang terjadi. Pemuda semakin tidak percaya dengan instrumen
bangsa, akhirnya memutasi behavior yang tadinya ramah tamah menjadi
temperamental dan emosional.
Betul-betul
dibutuhkan format baru bangsa, agar negeri ini bisa keluar dari lilitan
persoalan dan bisa mengembalikan budaya timur yang luhur. Karena itu, sangat
pantas bagi pemuda untuk segera tampil di Republik ini agar segera bisa
melakukan potong generasi.
Dengan
memotong generasi, maka tidak ada pola kaderisasi yang sebetulnya digunakan
untuk melestarikan prinsip-prinsip yang salah pada masa lalu. Potong generasi
diperlukan di seluruh sektor, seperti di legislatif, eksekutif dan yudikatif,
sehingga me-refresh ulang pola pikir untuk menyederhanakan persoalan.
Saat
ini bangsa Indonesia sebetulnya sudah paralyzed
karena mengawali seluruh persoalan dengan kerumitan. BUMN yang akan
berinvestasi dengan tujuan untuk menggerakkan sektor riil dihambat ratusan
peraturan yang berbelit, padahal milik bangsa sendiri, jangan pernah bayangkan
bagaimana jika investor swasta. Mereka barangkali lebih baik berinvestasi di
luar Indonesia dan sudah terbukti banyak sekali.
Kaum
pemuda secara harafiah memiliki peluang untuk parsinomi atau menyelesaikan
masalah bangsa dengan diawali sederhana. Berangkatnya dengan konsep sederhana
karena sebetulnya kerumitan akan datang sendiri kemudian. Inilah sebetulnya
esensi utama potong generasi, membuat sederhana persoalan agar masalah bangsa
menjadi ringan.
Gagal
Regenerasi
Sosok
pemimpin era sekarang memang tidak dilahirkan sebagaimana terjadi pada zaman
raja-raja. Anak-anak raja ketika itu otomatis menjadi putra mahkota dan
seketika memiliki privilege sebagai pemimpin. Kini, seiring berkembangnya
zaman, masyarakat harus menciptakan atau membuat pemimpinnya sendiri. (Ouchi,
1997) Namun yang memiliki tanggung-jawab utama menciptakan kaderisasi pemimpin
adalah pemimpin masa sekarang.
Jika
sampai saat ini belum dimunculkan regenerasi pemimpin maka ada dua alternatif
persoalan. Pertama, pemimpin saat ini menganggap seluruh generasi muda tidak
mampu menerima regenerasi. Kedua, karena pemimpin sekarang memiliki hidden agenda
untuk kelanggengan kekuasaannya sendiri.
Untuk
mendapatkan legitimasi bahwa alasan pertama ditolak sementara alasan kedua
diterima, sebetulnya mudah bagi pemimpin sekarang. Kelompok muda memang
diberikan kesempatan sampai di
tampuk pimpinan, namun secara sistematis
diupayakan agar terjebak dalam konflik.
Namun,
ketika pemimpin sekarang merasa tidak nyaman karena sosok pemimpin muda
memiliki agenda tersendiri, keberadaan pemimpin muda itu sebagai new comer
tentu tidak diharapkan. Apalagi, ketika pemimpin handal masa depan yang
seharusnya kebal godaan materi dan kepentingan ekonomi praktis ternyata juga
memiliki kualifikasi pemimpin muda yang terjebak hedonisme dan memuja
kemewahan.
Dari
sini ada dua hipotesis yang diributkan bahwa pemimpin muda tidak mampu dibebani
suksesi nasional dengan potong generasi dan tidak pula mampu dengan cara
regenerasi. Kapankah pemuda siap, waktu yang akan
membuktikannya. Yang pasti, pemimpin muda belum layak untuk diuji kontestansi
2014 mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar