|
Kami Poetra dan
Poetri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Air Indonesia,
Kami Poetra dan Poetri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa
Indonesia, Kami Poetra dan Poetri Indonesia Menjoenjoeng Bahasa Persatoean,
Bahasa Indonesia”.
Betapa indahnya
bunyi sumpah yang diikrarkan delapan puluh lima tahun lalu. Lebih terasa indah
lagi membayangkan sejumlah wakil organisasi pemuda, di antaranya Jong Java,
Jong Celebes, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen
Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dan Pemuda Tionghoa. Delapan puluh
lima tahun merupakan waktu yang cukup lama. Apa yang telah kita warisi dari
semangat dan keindahan itu?
Pemberitaan
mengenai pemuda di media memperlihatkan kekerasan terjadi dalam berbagai lini
dan meruyak dalam berbagai bentuk. Terakhir kita mendengar penyiraman air keras
di beberapa tempat dan pemaksaan yang dilakukan pada siswa yunior untuk
melakukan hubungan seksual yang disaksikan dan direkam senior-seniornya. Apa
yang tengah terjadi di pemuda kita? Di mana semangat membangun dan jiwa
persatuan mereka? Semangat Sumpah Pemuda yang melihat ke masa depan Indonesia gemilang
terasa jauh.
Padahal, pemuda
kita saat ini jelas ikut membangun bangsa dalam porsi masing-masing. Kita
melihat perkembangan pesat pola kegiatan Indonesia Mengajar dalam bidang
pendidikan. Para pemuda yang tergabung dalam tim Pencerah Nusantara mengambil
porsi pendampingan masyarakat di bidang kesehatan. Atau Kegiatan Sabang Merauke
yang memberikan kesempatan siswa dari daerah terpencil tinggal di kota bersama
keluarga dengan latar belakang budaya berbeda untuk memberikan pemahaman
keragaman budaya yang kita miliki dan masih banyak lagi. Sayangnya, semangat
para pemuda di atas tertutup oleh pemberitaan kekerasan oleh pemuda juga yang
tidak mungkin kita ingkari.
Bagaimana
Sumpah Pemuda dihayati di sekolah-sekolah? Mudah ditemukan Sumpah Pemuda
diikrarkan saat upacara tanpa penjiwaan. Siswa tidak mendapatkan rasa
kepemilikan pada ikrar penting yang layak dimaknai. Lebih jauh lagi, Yayasan
Cahaya Guru menemukan beberapa penolakan sekolah, meski secara halus, untuk
melakukan upacara bendera. Kegiatan reflektif penghayatan ikrar persatuan
sangat dibutuhkan. Penolakan, apa pun alasannya, menunjukkan gagalnya pemaknaan
dan kegembiraan mengecap udara ”merdeka” yang telah diupayakan para pejuang
pendiri negeri ini. Mengapa demikian?
Tidak ikut memiliki
Tampaknya,
penekanan pada kegiatan akademis membuat guru terengah-engah. Ujian nasional
(UN) yang menjadi tujuan akhir, tanpa menimbang keragaman kondisi guru,
sekolah, dan siswa turut menciptakan suasana pembelajaran yang sangat rutin
jauh dari pertanyaan-pertanyaan dasar dalam proses pembelajaran, yaitu mengapa
penting? Bagaimana artinya untuk proses pembelajaran siswa?
Saat kelulusan
menjadi tujuan satu-satunya, sementara proses untuk mendapatkan kelulusan itu
tidak dipentingkan, maka siswa tidak akan ikut merasa memiliki proses
pembelajaran yang terjadi dalam dirinya sendiri. Doni Koesoema dalam artikelnya
”Kanibalisasi di Dunia Pendidikan” menyebut UN ”membuat semua bergembira
kecuali siswa” (Kompas, 22 Oktober 2013).
Masuknya
kegiatan pramuka sebagai ekstra kurikuler wajib dalam Kurikulum 2013 juga
merupakan pemaksaan yang menyalahi roh kepanduan. Kegiatan pilihan yang
seharusnya menyenangkan berubah menjadi beban saat diwajibkan. Perubahan
mendasar menghilangkan esensi pramuka dan merupakan pelanggaran terhadap UU
Kepramukaan Pasal 20 Ayat 1 UU No 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka yang
”bersifat mandiri, sukarela, dan nonpolitis.” Pelanggaran UU yang dilakukan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan contoh lain sikap kekuasaan
yang tidak memahami pentingnya perasaan kepemilikan pemuda.
UU Republik
Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan dalam
Bab II Pasal 3 bahwa ”Pendidikan nasional… bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dari sekian
banyak kata kunci di atas, ”akhlak mulia” sering sekali disebut termasuk dalam
tujuan Kurikulum 2013. Padahal ”akhlak mulia” sulit digambarkan dan diukur.
Pilihan kata yang akrab dalam keseharian dan netral dalam pengertian akan
memudahkan timbulnya rasa kepemilikan. Pilihan kata juga berkaitan dengan
kerendahan hati dan pemahaman adanya keragaman.
Di mana negara berada?
Pertanyaan ini
sangat mudah terlontar ketika kita menyaksikan pergeseran sekolah negeri
seakan-akan ”didominasi”oleh penganut agama mayoritaspada tempat sekolah itu
berada. Sekolah negeri dengan fungsinya sebagai penyemai keragamandan
kebangsaan utama pelan-pelan meninggalkan semangat yang delapan puluh lima
tahun diikrarkan. Justru dalam sisi ini negara bisa segera melakukan perannya.
Kemdikbud bisa dengan mudah memastikan bahwa semua kegiatan pendidikan,
termasuk tata cara upacara dan ketentuan berpakaian, tidak dilakukan
berdasarkan ajaran agama mayoritas. Bahkan ditemukan seragam sekolah negeri di
mana siswa nonmayoritas diminta menggunakan simbol agama masing-masing yang
dipasang pada seragam hari tertentu.
Melalui
intervensi Kemdikbud, setiap insan di sekolah negeri selayaknya diberi
kesempatan untuk memilih ekspresi yang dikehendaki dalam kaitannya dengan agama
atau kepercayaan yang mereka anut. Bukan menyeragamkan, melainkan memastikan
suburnya keragaman. Karena hanya dengan inilah sesungguhnya Sumpah Pemuda yang
diikrarkan sungguh dihayati dan tecermin dalam kegiatan sehari-hari.
Memaknai Hari
Sumpah Pemuda bisa dilakukan dalam keseharian yang sama sekali tidak rumit.
Marilah mulai mendengarkan dan mencontohkan. Mari memakai segenap indera, hati,
dan kemampuan berpikir agar terjadi keselarasan keragaman yang membuat hidup
lebih indah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar