|
Kemarahan
Perancis terhadap Amerika Serikat atas penyadapan percakapan telepon warga
Perancis yang dilakukan oleh AS masih berlanjut. Selasa (22/10) lalu, Menteri
Luar Negeri Perancis Laurent Fabius meminta kepada Menlu AS John Kerry agar AS
tidak mengulang lagi penyadapan percakapan warga Perancis. Fabius juga menuntut
agar AS memberikan penjelasan rinci terkait program spionasenya. Reaksi Kerry
atas permintaan yang diajukan oleh Fabius itu tidak diketahui.
Sebelumnya,
Presiden Perancis Francois Hollande langsung menelepon Presiden AS Barack Obama
dan mengekspresikan kekecewaannya. Hollande mengecam AS dengan menyatakan,
program spionase AS itu jelas-jelas tidak dapat diterima di antara sahabat dan
sekutu karena melanggar privasi warga Perancis.
Namun,
tampaknya, langkah itu belum cukup. Perdana Menteri Perancis Jean-Marc Ayrault
mengatakan, Perancis membawa masalah spionase AS itu ke pertemuan puncak para
pemimpin Uni Eropa di Brussels, Belgia.
Ayrault
mengatakan, sangat terkejut oleh penyadapan itu. ”Ini luar biasa bahwa negara
sekutu, seperti AS, pada saat ini telah bergerak terlalu jauh dengan menyadap
komunikasi pribadi yang tidak memiliki pembenaran strategis. Tidak ada alasan
pembenaran atas dasar pertahanan nasional,” katanya.
Penyadapan yang
dilakukan oleh AS itu dilaporkan oleh surat kabar terkemuka Perancis, Le
Monde. Disebutkan, Badan Keamanan Nasional AS (NSA) menyadap 70,3 juta
percakapan telepon di Perancis selama 30 hari, dari 10 Desember 2012 hingga 8
Januari 2013. Surat kabar itu mengutip dokumen rahasia yang dibocorkan oleh eks
analis dan kontraktor NSA, Edward Snowden, yang kini tinggal dalam pengasingan
(in exile) di Rusia. Juga disebutkan,
agen mata-mata AS menyadap percakapan pada nomor-nomor tertentu di Perancis.
NSA tak hanya menyadap individu yang diduga terlibat terorisme, tetapi juga
pebisnis dan politisi papan atas.
Di Washington
DC, Selasa, Direktur Intelijen Nasional AS James R Clapper membantah
pemberitaan Le Monde, dengan menyebut, laporan itu berisi informasi yang
tidak akurat dan menyesatkan.
Menurut
Clapper, AS mengumpulkan informasi intelijen dengan cara yang sama seperti
dilakukan negara-negara lain. Dan, informasi intelijen itu dikumpulkan untuk
melindungi tidak hanya kepentingan nasional, tetapi juga kepentingan negara
sahabat. ”AS sangat menghargai persahabatan dan persekutuan dengan Perancis.
Kami akan terus bekerja sama dalam bidang keamanan dan intelijen di masa yang
akan datang,” kata Clapper.
Dalam tulisan
ini, kita tidak membahas tentang mana yang benar, keterangan Snowden yang
dimuat Le Monde atau keterangan Clapper, tetapi lebih membahas tentang
bagaimana Perancis menyikapi laporan Le Mondeitu. Pada saat ini, terlepas
dari benar atau tidaknya laporan Le Monde itu, Perancis merasa
dikhianati oleh negara sahabatnya, AS.
Hampir sama
Perasaan yang
hampir sama juga pernah dialami AS ketika ingin mengajak Perancis bergabung
dalam penyerbuan ke Irak untuk menumbangkan Presiden Irak Saddam Hussein tahun
2003. Saat itu, Perancis bukan saja menolak bergabung, melainkan bersama-sama
Jerman menentang keras niat AS menyerbu Irak.
Pada saat itu,
AS merasa dikhianati Perancis, yang pernah dibantunya ketika diduduki oleh
pasukan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Bahwa sikap Perancis menentang keras
niat AS menyerbu Irak itu adalah tindakan yang benar, itu adalah persoalan
lain, yang tidak akan kita bahas dalam tulisan ini.
Yang kita bahas
adalah kekecewaan AS karena Perancis bukan saja tidak mau bergabung, tetapi
bahkan dengan keras menentangnya. Dalam pandangan AS, AS merasa dikhianati
Perancis, yang telah dibebaskannya dari pendudukan pasukan Nazi dalam Perang
Dunia II, tetapi dengan arogan malah menentangnya.
Dan, situasi
itu didramatisasi oleh The New York
Post, dengan menerbitkan foto kuburan pasukan AS yang menjadi korban pada
Perang Dunia II di halaman satu dengan tulisan Sacrifice (Pengorbanan). Tulisan utamanya berjudul ”They Died for France, but France Had
Forgotten (Mereka Mati untuk Perancis, tetapi Perancis Sudah
Melupakannya)”.
Dalam keadaan
seperti ini, persoalan itu bukan lagi benar atau tidak, karena luka tersebut
sudah tertoreh. Jika penyadapan itu benar-benar terjadi, AS harus dapat
meyakinkan Perancis bahwa hal tersebut memang perlu dilakukan dan AS tidak
mempunyai pilihan lain. Meskipun mungkin hal itu tetap akan didebat oleh
Perancis. Sedangkan, jika penyadapan yang dilakukan AS benar-benar tidak
terjadi, AS harus dapat meyakinkan Perancis bahwa penyadapan itu benar-benar
tidak terjadi.
Namun, seperti
disebut di atas, persoalan itu bukan lagi soal benar atau tidak, melainkan soal
perasaan. Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih dari AS, di samping
menjelaskan mengapa penyadapan itu dilakukan, jika penyadapan itu benar-benar
dilakukan, atau membuktikan kepada Perancis bahwa penyadapan tersebut
benar-benar tidak terjadi. Dengan upaya ekstra dari AS, diharapkan Perancis
dapat dengan cepat memulihkan perasaannya yang terluka.
Kata-kata
bijak, atau pepatah, yang menyebutkan bahwa waktu akan menyembuhkan luka itu
pasti berlaku, tetapi persoalannya berapa lama…. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar