|
Kuartal
II-2013, transportasi Indonesia disemarakkan oleh hadirnya mobil murah ramah
lingkungan (low cost green car/LCGC),
yang ternyata mengundang kontroversi.
Yang mendukung
beralasan, inilah saatnya masyarakat menengah ke bawah berkesempatan membeli
mobil baru. Sebaliknya, masyarakat yang menentang menganggap bahwa tanpa mobil
murah sekalipun, kemacetan sudah cukup kronis, khususnya di kawasan
Jabodetabek, apalagi jika ditambah masuknya mobil-mobil murah.
Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 memberi kepastian hukum terhadap pemberian insentif
pada produksi kendaraan tersebut. Animo masyarakat untuk mendapatkan mobil
tersebut juga luar biasa. Hingga akhir September saja, 17.000 orang telah
menyatakan minatnya untuk masuk daftar antrean calon pembeli LCGC.
Menurut
Kementerian Perindustrian, kebijakan ini untuk memperkuat daya saing Indonesia
pada era perdagangan bebas Asia karena mobil murah buatan Thailand dan negara
tetangga lain akan dengan mudah masuk ke pasar domestik.
Di samping
memperkuat sektor industri otomotif dalam negeri− karena harus lebih banyak
menggunakan komponen produksi dalam negeri, −LCGC juga diyakini akan mampu
menekan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
LCGC hanya
diizinkan memakai bahan bakar berkualitas baik sekelas BBM nonsubsidi agar
tingkat emisinya rendah.
Sampai di sini,
tidak ada yang salah dalam kebijakan LCGC ini. Bahkan, LCGC sejalan dengan
komitmen Indonesia di tingkat internasional terkait target pengurangan emisi
gas rumah kaca (GRK) sebesar 41 persen pada tahun 2020.
Peraturan
Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi
GRK pun telah menyebutkan adanya tiga tahapan strategi dalam rencana aksi
pengurangan emisi di sektor transportasi, yaitu ASI (avoid, shift, improve).
Nah, penerapan
konsep LCGC ini adalah bagian dari strategi improve, yaitu meningkatkan
efisiensi dari kendaraan bermotor. Dengan kapasitas mesin tak lebih dari 1,2
liter, LCGC juga diwajibkan untuk mampu bergerak sekurang-kurangnya 20
kilometer untuk tiap liter bahan bakar yang dikonsumsi.
Proyek janggal
Namun, justru
dengan peraturan presiden inilah letak kejanggalan proyek ini mulai terasa
karena seharusnya peraturan tentang LCGC ini dilengkapi dengan peraturan lain
sebagai rangkaian kebijakan yang koheren.
Pertama,
mengapa pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan improve, sedangkan prasyaratnya kurang mendapat prioritas.
Prasyarat
tersebut adalah kebijakan avoid alias mengurangi kebutuhan perjalanan
serta kebijakanshift atau beralih ke moda transportasi yang lebih efisien
ruang dan bahan bakar. Kedua, perlu ada peraturan penunjang untuk memperkuat
segmentasi konsumen LCGC.
Mengurangi
perjalanan yang tidak perlu adalah kata kunci melawan kemacetan dan pencemaran
udara di perkotaan. Sayang, kata itu tidak dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengikat.
Meskipun
demikian, beberapa inisiatif pihak swasta perlu diapresiasi, semisal penerapan
konsep belanja online, integrasi pusat perbelanjaan dengan halte bus
transjakarta, dan pembangunan kawasan berorientasi transit.
Ketiga sistem
tersebut sebenarnya embrio dari pengejawantahan skema avoid ini.
Perlu komitmen pemerintah terkait sinergi penataan ruang dengan pengembangan
sistem transportasi massal.
Untuk
skema shift, diperlukan regulasi kuat dan komprehensif untuk
mengakselerasi manajemen kebutuhan perjalanan. Hal itu meliputi peningkatan
layanan angkutan umum yang sesuai dengan standar pelayanan minimal sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 2012, penerapan tarif
parkir yang mahal di kawasan perkotaan bagi kendaraan pribadi, hingga
pelaksanaan konsep jalan berbayar, di mana uangnya untuk membenahi lalu lintas
dan angkutan umum.
Stimulus kurang
Dengan
demikian, para pengendara kendaraan pribadi dengan suka hati beralih menjadi
pengguna angkutan massal. Namun, hingga kini belum ada skema stimulus yang
mampu mendorong semua pemerintah kota/kabupaten di Indonesia mengembangkan
angkutan massal sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ketika
peraturan-peraturan di aspek avoid dan shift telah
diterapkan saksama, barulah skemaimprove bisa dijalankan dengan baik
sehingga memberikan ruang bagi masyarakat yang memilih menggunakan kendaraan
pribadi dengan kendaraan yang lebih efisien. Di sinilah peran LCGC diharapkan bisa
berjalan lebih baik. Tanpa kebijakan avoid dan shift, kebijakan LCGC hanya memperparah
kemacetan dan emisi gas buang.
Selanjutnya,
diperlukan peraturan tambahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013
yang mampu merangsang pemilik mobil untuk meremajakan kendaraannya dengan
produk-produk otomotif berjenis LCGC.
Tanpa adanya
insentif, LCGC justru akan lebih banyak terserap oleh pemilik sepeda motor yang
hendak beralih ke roda empat. Sebagai gambaran kasar, sepeda motor mampu
memanfaatkan tiap liter bahan bakarnya untuk melaju sejauh 35 kilometer.
Sepeda motor
juga membutuhkan ruang gerak tidak lebih dari 3 meter persegi. Perpindahan dari
sepeda motor ke LCGC dengan demikian akan meningkatkan konsumsi bahan bakar dan
kemacetan.
Masihkah kita
menyebut mobil murah ini sebagai kendaraan ramah lingkungan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar