|
Mampukah ketua dan anggota kelompok pelaksana pemungutan
suara di tempat pemungutan suara menyertifikasi hasil pelaksanaan Pasal 154 dan
Pasal 178 UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD?
Maksudnya, apakah para petugas pemungutan dan penghitungan
suara mampu mengklasifikasi pilihan, mencatat, dan menjumlah hasil pelaksanaan
pemungutan dan penghitungan suara dalam sertifikat hasil penghitungan suara
secara benar dan akurat? Pertanyaan ini muncul dalam suatu diskusi di antara
beberapa teman yang peduli pada pemilu yang berintegritas.
Berbagai
persoalan
Apa yang terjadi pada Pasal 154 dan Pasal 178 tersebut? Pasal
154 berisi tentang cara memberikan suara dan pilihan yang tersedia bagi
pemilih, sementara Pasal 178 berisi rumusan ketentuan tentang suara yang dapat
dinyatakan sah.
Pasal 154 berbunyi: ”Pemberian suara untuk Pemilu Anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara
mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama
calon pada surat suara.”
Dua persoalan muncul dari pasal ini. Pertama, menyamakan
pilihan pemberian suara untuk pemilu anggota DPR dan DPRD dengan pilihan
memberikan suara untuk pemilu anggota DPD. Hal ini keliru karena peserta pemilu
anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, sedangkan peserta pemilu anggota
DPD adalah perseorangan. Namun, persoalan ini kemudian diperbaiki pada rumusan
Pasal 178 yang berisi tentang suara sah untuk pemilu anggota DPR dan DPRD (Ayat
1) dipisahkan dari suara sah untuk pemilu anggota DPD (Ayat 2).
Persoalan kedua menyangkut berbagai pilihan yang tersedia
bagi pemilih ketika pemberian suara untuk pemilu anggota DPR dan DPRD sehingga
sukar diklasifikasi, dicatat, dan dijumlah secara benar dan akurat. Persoalan
kedua ini berkaitan erat dengan Pasal 178 Ayat (1). Pasal 178 Ayat (1)
berbunyi: ”Suara untuk pemilu anggota DPRD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dinyatakan sah apabila (a) surat suara ditandatangani oleh ketua
KPPS; dan (b) tanda coblos pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau
nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota berada pada kolom
yang disediakan; atau (c) tanda coblos pada tanda gambar partai politik berada
pada kolom yang disediakan.”
Pasal 178 Ayat (1) ini mengandung dua persoalan. Huruf c
sesungguhnya sudah terkandung dalam huruf b, khususnya bagian pertama dari
huruf b. Namun, adanya rumusan huruf c akan melahirkan ketidakpastian hukum:
apakah cara coblosan huruf c berbeda dengan cara coblosan yang terkandung dalam
huruf b.
Akan tetapi, persoalan terberat justru isi huruf b. Jika
dibaca secara cermat, rumusan huruf b sekurang-kurangnya mengandung dua
tafsiran. Pertama melihat lima cara mencoblos yang masuk kategori sah. Pertama,
mencoblos kolom nomor partai politik. Kedua, mencoblos kolom tanda gambar
partai politik. Ketiga, mencoblos kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota.
Keempat, mencoblos kolom nomor partai politik dan
kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Kelima,
mencoblos kolom tanda gambar partai politik dan kolom nama calon anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Dari kelima alternatif pemberian suara ini terdapat dua
potensi persoalan. Pertama, para politisi di DPR ternyata memandang nama partai
tidak penting disebut dalam surat suara. Bagi sebagian partai politik hal itu
tak jadi masalah karena nama partai tertulis dalam tanda gambar partai
tersebut, tetapi bagi sebagian partai lain nama partai tidak tertulis dalam
tanda gambar partai. Kedua, kemungkinan pemilih mencoblos kolom nomor partai
dan kolom tanda gambar partai sekaligus. Intensi pemilih jelas menggambarkan
pilihan kepada partai, tetapi mungkin akan dikategorikan tidak sah karena tanda
coblos lebih dari sekali pada partai politik.
Kalau bacaan ini benar, pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana menyertifikasi hasil pencoblosan (mencatat dan menjumlah hasil
pencoblosan) pemilih dalam sertifikat hasil penghitungan suara secara benar dan
akurat. Setidaknya terdapat tiga tugas ketua dan anggota Kelompok Pelaksana
Pemungutan Suara (KPPS) dalam proses sertifikasi hasil penghitungan suara.
Pertama, menentukan apakah tanda coblos dalam surat suara
termasuk kategori suara sah atau tidak sah. Kedua, menempatkan tanda coblos
pemilih pada perolehan suara nomor partai politik, atau pada perolehan suara
tanda gambar partai politik, atau pada perolehan suara calon, atau pada
perolehan suara nomor partai politik dan nama calon, atau pada perolehan suara
tanda gambar partai politik dan nama calon. Ketiga, menjumlahkan perolehan
suara partai politik dan menjumlah perolehan suara nama calon.
Tanda coblos pada kolom nama nomor partai atau pada kolom
tanda gambar partai politik dianggap sebagai perolehan suara suatu nama partai
politik tertentu. Akan tetapi, hal ini lebih bersifat kesimpulan logis daripada
berdasarkan ketentuan formal. Sebab, Pasal 154 dan Pasal 178 tersebut sama
sekali tidak menyebut nama partai politik. Suara yang diberikan kepada seorang
nama calon otomatis akan menjadi suara partai politik yang mengajukan calon
tersebut. Tetapi hal itu lebih bersifat logika (kesimpulan logis) daripada berdasarkan
ketentuan formal, mengingat tidak ada satu pasal pun dalam UU Pemilu itu yang
menyatakan secara tegas kesimpulan tersebut.
Sejumlah potensi persoalan muncul dari tugas ketiga ini:
kekeliruan dalam mengklasifikasi tanda coblos pada kolom apa saja yang termasuk
perolehan suara partai politik; kekeliruan dalam mengklasifikasi tanda coblos
pada kolom apa saja yang termasuk perolehan suara nama calon; kekeliruan dalam
mengklasifikasi tanda coblos pada kolom apa saja yang termasuk perolehan suara
partai dan perolehan suara seorang nama calon; serta kekeliruan dalam menjumlah
perolehan suara partai dan dalam menjumlah perolehan suara nama calon. Singkat
kata, permasalahan yang muncul dalam proses sertifikasi hasil pemungutan suara
tidak hanya kemungkinan peningkatan jumlah suara tidak sah, tetapi terutama
kemungkinan kesalahan dalam proses sertifikasi. Sebab, pilihan yang dibuka
untuk pemberian suara terlalu kompleks sehingga tidak saja timbul berbagai
penafsiran atas maksud ketentuan tersebut, juga sukar dilaksanakan.
Tafsiran kedua berangkat dari asumsi bahwa desain surat suara
yang ditetapkan oleh KPU akan berisi dua kolom tempat tanda coblos untuk setiap
partai politik peserta pemilu. Kolom pertama berisi nomor, nama partai politik,
dan tanda gambar partai politik. Sementara kolom kedua sebanyak jumlah calon
(yang diajukan setiap partai di setiap daerah pemilihan), berisi nomor dan nama
calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Asumsi ini muncul
tak hanya berangkat dari desain surat suara yang baik, yaitu pilihan yang
ditawarkan sedikit dan mudah dipahami, tetapi juga berdasarkan desain sistem
pemilihan umum yang dianut dalam UU Pemilu, yaitu hanya dua pilihan yang
ditawarkan kepada pemilih: memilih satu partai politik peserta pemilu atau memilih
satu nama calon yang diajukan suatu partai politik.
Akan tetapi, tafsiran kedua ini berangkat dari asumsi, bukan
dari teks resmi UU. KPU hanya dapat membuat desain surat suara seperti itu
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU Pemilu, bukan berdasarkan asumsi
yang seharusnya.
Perlu direvisi
Untuk menjamin integritas proses pemungutan dan penghitungan
suara di tempat pemungutan suara, rumusan Pasal 154 perlu direvisi sehingga
mudah dipahami dan disertifikasi oleh petugas KPPS. Rumusan revisi yang disarankan
tidak hanya memisahkan cara pemberian suara untuk pemilu anggota DPR dan DPRD
dari cara pemberian suara untuk pemilu anggota DPD, tetapi juga menyederhanakan
alternatif pilihan.
Pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan mencoblos satu kali pada kolom berisi
nomor, nama, dan tanda gambar partai dan/atau pada kolom yang berisi nomor dan
nama calon pada surat suara. Rumusan revisi terhadap Pasal 178 Ayat (1) huruf b
berbunyi sebagai berikut: tanda coblos pada kolom yang berisi nomor, nama, dan
tanda gambar partai politik dan/atau tanda coblos pada kolom yang berisi nomor
dan nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Selain itu,
ketentuan huruf c perlu dihapuskan karena sudah termasuk dalam rumusan huruf b.
Revisi ini sangat penting karena hasil pemilu ditentukan
tidak saja oleh kemampuan ketua dan anggota KPPS melaksanakan proses pemungutan
dan penghitungan suara di TPS, juga rumusan pemberian suara yang mudah dipahami
dan disertifikasi oleh petugas KPPS tersebut. Rumusan Pasal 154 dan Pasal 178
terlalu kompleks untuk dapat dipahami dan disertifikasi secara benar dan akurat
oleh seluruh petugas KPPS. Seluruh tahapan pemilu lainnya, seluruh biaya pemilu
yang dikeluarkan, dan penggunaan perangkat teknologi informasi yang canggih dan
mahal akan tidak berguna jika hasil pelaksanaan pemungutan suara tidak dapat
disertifikasi secara benar dan akurat oleh petugas KPPS.
Alternatif
format hukum
Ada empat alternatif format hukum yang tersedia untuk
merevisi kedua pasal tersebut. Pertama, mengubah UU No 8/2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, khususnya Pasal 154 dan Pasal 178 tersebut. Hal ini
merupakan format hukum yang ideal, tak hanya karena memang tugas dan kewenangan
DPR bersama Presiden membuat/mengubah undang-undang, tetapi juga perubahan
dapat dilakukan sesuai dengan isi yang diharapkan. Kelemahan cara ini tidak
saja akan memakan waktu yang agak lama, tetapi juga dapat berkembang ke isu
lain.
Kedua, perubahan kedua pasal itu melalui peraturan pemerintah
pengganti UU (perppu). Kalau isi perubahan itu disepakati semua pihak,
perubahan dengan format ini tidak saja akan dapat dibatasi sesuai yang
diharapkan, tetapi juga dapat dilakukan dalam waktu singkat.
Ketiga, mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi
untuk membatalkan kedua pasal tersebut. Namun, cara ini sangat tidak ideal
karena MK tidak memiliki kewenangan menawarkan rumusan pengganti kedua pasal
tersebut.
Keempat, perubahan kedua pasal tersebut melalui peraturan pelaksanaan
oleh KPU. Perubahan isi kedua pasal itu dapat dilakukan sesuai dengan yang
diharapkan, tetapi mengandung potensi digugat kepada Mahkamah Agung karena
dianggap tidak sesuai dengan isi undang-undang. Karena itu, perubahan melalui
perppu merupakan format hukum yang paling tepat dari segi isi dan waktu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar