|
PADA 10 Oktober 2013 lalu, gubernur provinsi DKI Jakarta, Joko Widodo, secara resmi memulai pembangunan sarana transportasi massal MRT. Peresmian itu tidak saja merupakan realisasi dari program yang sudah tertunda selama 24 tahun, tapi juga menjadi solusi untuk mengatasi kemacetan mengerikan di Jakarta. Di perkirakan, pembangunan MRT akan rampung pada 2018. Dari segi daya angkut, MRT ini juga diperkirakan sanggup memberikan dampak yang signifikan. Seperti kata Jokowi, sebagaimana dikutip oleh BBC Indonesia, ‘Kalau sekali angkut bisa 1200 orang, ini tidak sedikit dan jarak antar kereta sekitar lima menit ya kita akan bisa duduk nyaman nanti akan 16 rangkaian, total gerbongnya ada 96.’
Tentu saja pembangunan MRT ini disambut suka-cita oleh mayoritas penduduk Jakarta. Bayangan akan moda transportasi massal nyaman serta jalan yang lengang kini menjadi mungkin. Tentu saja ada kritik, misalnya, kemacetan yang semakin bertambah parah di masa-masa pembangunan proyek, serta kontroversi mengenai transparansi dari proyek itu sendiri. Namun demikian, apa yang akan terjadi kelak setelah MRT ini siap beroperasi pada 2018? Dalam artikel singkat ini saya ingin memotret salah satu moda transportasi massal di Hong Kong, yang semoga bisa memberikan gambaran sekaligus sebagai bahan pelajaran tentang bagaimana jika MRT siap beroperasi pada 2018 nanti.
Mass Transit Railway (MTR) Hong Kong, pertama kali beroperasi pada 1979, dengan panjang 218.2 km (135.6 mil) dengan 152 station, termasuk 84 station kereta api dan 68 lampu pemberhentian. MRT Hongkong ini merupakan salah satu sarana transportasi masal yang paling menguntungkan secara ekonomi. Setiap tahun MTR Corporation (Mass Transit Railway atau kereta bawah tanah di Hong Kong) menaikan tarif penumpang. Pada Juli tahun ini kenaikan ongkos MTR sebesar 2,7 persen. Tahun lalu (2012), meski menuai protes besar dari warga, ongkos MTR bahkan naik 5,4 persen. Mengapa MTR terus menaikan tarifnya, padahal tidak ada alasan yang masuk akal sehingga warga marah besar? Tidak masuk akal karena keuntungan MTR sudah bermilyar-milyar.
Pada 2012 saja, keuntungan MTR mencapai 36 milyar dolar Hong Kong. Dari tarif yang dipungut dari penumpang saja, MTR sudah mendapatkan profit 85 persen. Belum lagi keuntungan dari banyak bisnis lainnya. MTR Corporation juga memiliki lisensi mengoperasikan kereta di Beijing, Hangzou dan Shengzen di Cina, dua jalur kereta bawah tanah di kota London, Inggris, dan mengoperasikan seluruh sistem kereta bawah tanah di kota Melbourne, Australia, dan Stockholm, Swedia.
Di kota Hong Kong, MTR memang telah menyediakan layanan yang tidak banyak didapat di kota-kota lain di dunia: fasilitas komputer dengan internet di beberapa stasiun, layanan lift dan kereta roda untuk penyandang cacat atau orang tua, sistem kartu pembayaran yang tinggal tempel dan bisa digunakan untuk banyak transaksi lain, dan lain-lain.
Tapi, MTR Corporation bisa seperti sekarang bukanlah tanpa sebab. Sebab yang paling utama ialah karena saham mayoritasnya dipegang oleh pemerintah kota Hong Kong, dan manajemennya ditata dengan gaya swasta: yang paling utama adalah keuntungan sebesar-besarnya. Tentu saja kolaborasi modal swasta dan wewenang pemerintah sangat efektif untuk perluasan dan berkembangnya MTR Corporation.
Sebab lain ialah karena Hong Kong juga memiliki sistem transportasi tertutup. Maksudnya, relatif tidak ada pelosok kawasan di mana warga harus atau bisa secara murah mencapainya dengan kendaraan pribadi. Jadi tentu ada insentif yang tinggi agar para warga terus menggunakan MTR ketimbang memiliki kendaraan pribadi. Karakterisitik ini, disamping juga karena ketatnya peraturan dan mahalnya memiliki kendaraan di kota Hong Kong, telah menjadikan kepemilikan kendaraan pribadi sangat rendah: hanya 6 dari setiap 100 kendaraan yang ada di Hong Kong adalah kendaraan pribadi.
MTR dan Bisnis Properti
Akan tetapi, hal yang tidak banyak kita tahu ialah bahwa MTR Corporation juga menjalankan bisnis yang tak terlihat dan tidak kita kira: bisnis properti. Dengan harga properti dan sewa ruang yang super mahal di Hong Kong sekarang ini, tentu saja telah menaikkan tingkat keuntungan MTR Corporation setiap tahunnya.
Mengapa bisa? Karena MTR melihat potensi bisnis dan nilai moneter yang muncul dari tingkat kerapatan (tingginya) warga yang tinggal di kota. Dengan tingkat kepadatan penduduk (Hong Kong adalah salah satu kota terpadat di dunia), MTR melihat potensi bahwa warga Hong Kong akan sangat bergantung pada sarana transportasi yang menghubungkan mereka ke moda transportasi lain dan membawa mereka ke tempat lain. Karenanya sejak awal MTR Corporation bernegosiasi dengan pemilik toko dan mal untuk berbagi keuntungan, sebagai imbal jasa karena MTR telah membawa ratusan ribu penumpang setiap harinya melewati dan bahkan mengunjungi toko-toko dan mal di sekitar MTR. Wajarlah kalau MTR juga mendapat bagian dari keuntungan mal dan pusat-pusat perbelanjaan yang terhubung dengan MTR. MTR kadangkala menyepakati kepemilikan bersama atas satu pusat perbelanjaan atau apartemen, atau menerima prosentase bayaran dari suatu proyek pengembangan properti.
Dalam banyak kasus, MTR sendiri bahkan yang memiliki seluruh gedung mal dan pusat perbelanjaan, yang biasanya posisinya persis di atas stasiun MTR. Dua gedung pencakar langit yang tertinggi di kota Hong Kong (International Commerce Centre dan Two International Finance Centre) adalah milik MTR Corporation, seperti juga banyak perkantoran, mal, dan apartemen-apartemen dekat stasiun MTR yang juga menjadi aset, milik, dan bagian dari bisnis yang dijalankan MTR. Toko-toko dan retail dalam stasiun MTR juga kebanyakan menyewa dari MTR Corporation. Maka wajarlah kalau tahun lalu MTR meraup keuntungan 36 milyaran dolar Hong Kong.
Bunuh diri di MTR
Warga Hong Kong tentu saja marah besar karena meskipun meraup keuntungan milyaran, setiap tahun tarif MTR naik dan semakin mempertinggi angka inflasi. Bahkan untuk pemasangan pintu kaca penghalang pun, MTR selama ini memungut tarif 10 sen pada setiap penumpang untuk setiap kali perjalanan. Pintu kaca penghalang tersebut yang melapisi pintu masuk ke MTR sebetulnya memiliki fungsi lain kecuali demi keamanan penumpang: yaitu untuk mencegah perilaku bunuh diri para pengidap depresi, yang terjun ke lintasan rel untuk dihempas kereta yang lewat.
Di Hong Kong, total angka bunuh diri di MTR meningkat dari 4.444 kasus pada 1997-2001 menjadi 5.104 kasus pada periode 2003-2007. Menurut satu penelitian, angka bunuh diri dengan menghempaskan ke kereta menurun sejak dipasang pintu kaca penghalang pada 2002, sekitar 59.9 persen.
Bunuh diri di MTR sebetulnya adalah gambaran yang jelas tentang kenyataan hidup di kota Hong Kong yang tidak adil: jurang antara yang kaya dan miskin semakin lebar, warga miskin kian bertambah, perusahaan-perusahaan seperti MTR semakin meraup keuntungan bermilyar-milyar, dan warga semakin dililit kesulitan hidup, terutama biaya sewa properti dan tempat tinggal di kota Hong Kong yang semakin tidak masuk di akal. Penyakit stres warga Hong Kong juga mau tidak mau merembet ke orang lain. Tidak jarang kita mendengar berita perilaku kekerasan terhadap buruh migran oleh majikannya.
Maka kita sekarang lebih mengerti mengapa MTR selain menjadi sarana transportasi, juga menjadi tempat untuk bunuh diri. ●
Kepustakaan:
CK, Law, et.al. ‘Evaluating the Effectiveness of Barrier Installation for Preventing Railway Suicides in Hong Kong,’ Journal of Affective Disorders, April 2009.
Padukone, Neil, ‘The Unique Genius of Hong Kong’s Public Transportation System,’ The Atlantic, 10 September 2013; tersedia online: http://www.theatlantic.com/china/archive/2013/09/the-unique-genius-of-hong-kongs-public-transportation-system/279528/
‘Railway Doors Reduce Suicides: Study’, China Daily, 23 September 2008,http://www.chinadaily.com.cn/hkedition/2008-09/23/content_7048905.htm
’Jokowi resmikan pembangunan MRT,’ BBC Indonesia, 10 Oktober 2013,http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/10/131010_jokowi_mrt_jakarta.shtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar