|
DAFTAR pemilih tetap (DPT) bukan sekadar masalah teknis
untuk menentukan pengadaan logistik pemilihan umum, melainkan merupakan isu
persamaan hak warga negara yang dijamin konstitusi. Setidak-tidaknya terdapat
tiga pasal dalam UUD 1945 yang menjadi rujukan dalam penyusunan DPT.
Pertama,
Pasal 22E ayat (1) yang mengatur asasasas pemilihan umum, khususnya asas umum
dan asas adil. Berdasarkan asas umum (universal
suffrage), setiap warga negara, apa pun latar belakang suku bangsa, ras,
agama, jenis kelamin, di manapun domisilinya, jenis, serta tingkat kesehatan
jasmani dan mentalnya, jenis cacat tubuh (difabel),
tingkat pendidikan, tingkat kekayaan, jenis pekerjaan, bahkan jenis dan lama
hukuman yang harus dijalani di lembaga pemasyarakatan, berhak didaftar sebagai
pemilih. Asas adil menjamin perlakuan yang sama dan setara setiap warga negara
yang berhak memilih.
Kedua, Pasal 27 ayat (1) yang pada dasarnya menjamin
kesetaraan kedudukan antarwarga negara dalam hukum dan pemerintahan. Ketiga,
Pasal 28D ayat (1) yang pada dasarnya menjamin hak setiap warga negara atas pengakuan,
kepastian hukum yang adil, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketiga
pasal tersebut tidak hanya menjamin kesetaraan perwakilan (equal representation) antarwarga negara yang telah berhak memilih,
tetapi juga menegaskan prinsip `satu orang, satu suara, dan setara' (one
person, one vote, one value/OPOVOV).
DPT demokratis
Berdasarkan ketiga pasal itu, dapatlah dirumuskan tiga
indikator DPT yang demokratis. Pertama, derajat cakupan merujuk pada jumlah
warga negara berhak memilih yang telah terdaftar dalam DPT. Berdasarkan prinsip
kesetaraan kedudukan warga negara tersebut, seharusnya seluruh warga negara
yang berhak memilih terdaftar sebagai pemilih. Akan tetapi, prestasi tertinggi
dalam derajat cakupan pemilih yang dicapai negara demokrasi berkisar 95%-97%
(seperti Australia).
Kedua, derajat kemutakhiran daftar pemilih. Apakah DPT
berhasil disesuaikan dengan perkembangan data identitas warga negara, seperti
kematian, perubahan umur, domisili, status perkawinan, bahkan status pekerjaan.
DPT yang mutakhir berarti seluruh warga negara yang pada hari pemungutan suara
akan berhak memilih termasuk dalam DPT dan warga negara yang tidak lagi berhak
memilih dikeluarkan dari DPT. Prestasi tertinggi dalam derajat kemutakhiran
daftar pemilih yang dicapai berkisar 90%-95%.
Ketiga, derajat akurasi daftar pemilih. Apakah pencatatan semua
identitas pemilih, seperti nama, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin,
status perkawinan, alamat, dan nomor induk kependudukan, dilakukan secara benar
(sesuai dengan kenyataan) dan akurat. Prestasi tertinggi dalam derajat akurasi
daftar pemilih yang dicapai berkisar 90%-95%. DPT yang berakurasi tinggi
menjamin pemilih yang berhak saja yang terdaftar dalam DPT, dan mencegah
pemilih ganda dalam DPT. Apakah DPT Pemilu Legislatif 2014 sudah mencapai
derajat tertinggi yang pernah dicapai negara tersebut?
Antara persepsi
dan kenyataan
Penilaian berbagai pihak tentang DPT Pemilu 2014,
sebagaimana diberitakan/ disiarkan oleh berbagai media, sungguh menyeramkan,
seperti DPT karut-marut karena KPU tidak serius melaksanakan tugas, masih ada
20 juta lebih pemilih belum terdaftar, DPT menjadi ancaman bagi Pemilu 2014,
banyak orang yang sudah meninggal masih tercatat sebagai pemilih dalam DPT,
banyak pemilih ganda dalam DPT Pemilu 2014, dan Mendagri Gamawan Fauzi agar
mengundurkan diri karena menjadi penyebab DPT amburadul. Sebagian besar pihak
juga semata-mata menyalahkan KPU dan tidak ada yang menyalahkan unsur masyarakat,
seperti partai politik yang menerima salinan DPS pada tingkat kecamatan. Apakah
penilaian ataupun persepsi tersebut sesuai dengan kuantitas dan kualitas DPT
Pemilu Legislatif 2014 yang dipersiapkan KPU?
Berapa persen derajat cakupan pemilih yang berhasil dicapai
KPU beserta seluruh jajarannya di daerah? Berapa pemilih dari seluruh penduduk
yang menjadi warga negara suatu negara? Tidak ada rumusan yang pasti mengenai
hal itu, kecuali semacam konvensi, yaitu jumlah pemilih mencapai sebanyak 70%
dari seluruh warga negara kalau suatu negara mengadopsi umur pemilih 18 tahun
atau lebih. Jumlah pemilih dari seluruh penduduk Indonesia diperkirakan
mencapai 75% karena persyaratan umur pemilih di Indonesia lebih rendah daripada
sebagian besar negara demokrasi di dunia.
Pertama, telah berumur 17 tahun atau lebih pada hari
pemungutan suara. Kedua, belum berumur 17 tahun, tetapi sudah kawin atau pernah
kawin. Tingkat pernikahan dini, baik yang masih sesuai dengan UU Perkawinan,
yaitu berumur 16 tahun untuk perempuan-sepanjang mendapat izin orang tua maupun
yang tidak sesuai dengan UU Perkawinan, yaitu di bawah umur 16 tahu tetapi
sudah mengalami menstruasi-di daerah perdesaan masih cukup tinggi. Di samping
itu, struktur umur penduduk Indonesia ialah berusia muda (umur 17 sampai dengan
30 tahun mencapai sekitar 60 juta). Bahkan warga negara yang ‘hilang ingatan’
pun berhak memilih.
Kalau jumlah warga negara Indonesia yang berhak memilih
pada 9 April 2014 mencapai 250 juta, jumlah pemilih yang seharusnya terdaftar
dalam DPT diperkirakan sebesar 187.500.000. Data pemilih terdaftar yang telah
direkapitulasi, tetapi ditunda pengumumannya oleh KPU berdasarkan rekomendasi
Bawaslu, terungkap jumlah berikut. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT
mencapai 186.842.553 orang. Jumlah itu belum termasuk daftar pemilih Kabupaten
Nduga, Papua. Dengan demikian, terdapat sebanyak 657.447 (187.500.000 dikurangi
186.842.553) pemilih belum masuk DPT, termasuk pemilih dari Kabupaten Nduga. Mereka
yang belum terdaftar tidak hanya berdomisili di dalam negeri, tetapi juga yang
tinggal di luar negeri.
Kalau kemutakhiran dan akurasi masih menjadi persoalan,
jumlah warga yang belum terdaftar mungkin lebih besar daripada 657.667 orang.
Migrant Care melaporkan sekitar 6 juta pemilih Indonesia berdomisili di luar
negeri, tetapi data itu dinamis (berubah setiap saat) sehingga sukar dipegang
sebagai data yang valid. Namun, kenyataan yang tidak dapat dibantah ialah
pekerja Indonesia yang kebanyakan di Malaysia dan Timur Tengah tidak terdata
secara akurat oleh KBRI. Walaupun demikian, dari derajat cakupan pemilih, sudah
dapat disimpulkan bahwa: (a) DPT Pemilu 2014 sekurangkurangnya sama dengan DPT
Pemilu 2004 yang mencapai 93%-95% (DPT Aceh pada 2003 berdasarkan audit LP3ES
mencapai 92%); dan (b) DPT Pemilu 2014 jauh lebih tinggi daripada DPT Pemilu
2009 yang hanya mencapai sekitar 85%.
Pengumuman data hasil rekapitulasi DPT diundur selama dua
minggu untuk memberikan kesempatan kepada KPU memperbaiki DPT tersebut. Yang
perlu diperbaiki menurut Bawaslu dan wakil partai politik ialah ketidaksesuaian
data yang ditetapkan daerah dengan data Sidalih KPU, akurasi identitas pemilih
karena sebanyak 432.308 data tanpa tanggal lahir, 99.513 tanpa status kawin,
NIK yang tidak valid, memiliki e-KTP tetapi tidak masuk DPT, NIK seseorang
terdapat dalam DPT tetapi atas nama orang lain, pemilih yang sudah meninggal
masih tercatat sebagai pemilih, dan warga negara berhak memilih baik yang
berdomisili di dalam negeri maupun di luar negeri belum terdaftar. Berdasarkan
data tersebut dapat pula disimpulkan bahwa derajat akurasi DPT Pemilu 2014
setidak-tidaknya sudah mencapai 90%, yang berarti jauh lebih tinggi daripada
derajat akurasi DPT Pemilu 2009 yang hanya mencapai sekitar 85%.
Kelemahan DPT sebagaimana yang disampaikan tadi dapat
diketahui Bawaslu, wakil partai politik, dan warga masyarakat umum lainnya
karena KPU menerapkan Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) yang dapat
diakses siapa saja secara daring (online). Sidalih mengandung data
identitas setiap pemilih dalam 16 digit sehingga dapat dideteksi unsur
identitas yang kosong atau tidak valid. Pengolahan data pemilih pun secara
sentral sehingga dapat mendeteksi kemungkinan pemilih ganda antarprovinsi,
antarkabupaten/kota, antar-kecamatan, dan antardesa/kelurahan. Data seperti ini
sama sekali tidak dapat dideteksi pada Pemilu 2009. Singkat kata, kelemahan
akurasi DPT Pemilu 2014 dapat dideteksi oleh publik justru karena Sidalih yang
diadopsi KPU.
Sepanjang Bawaslu, partai politik, dan pemilih pada umumnya
mampu memberikan data konkret (identitas pemilih yang dinilai bermasalah, dan
identitas pemilih yang belum terdaftar) kepada KPU, sebagian besar persoalan
ini dapat diselesaikan oleh KPU. Karena itu, berdasarkan uraian yang telah
disebutkan, dapat disimpulkan betapa kuantitas dan kualitas DPT Pemilu 2014
jauh lebih baik daripada penilaian atau persepsi masyarakat.
Permasalahan DPT
Pemilu 2014
Permasalahan DPT Pemilu Legislatif 2014 muncul
setidaktidaknya karena tiga faktor. Pertama, kelemahan KPU menggerakkan seluruh
panitia pendaftar pemilih (pantarlih) di setiap desa/kelurahan untuk
mencocokkan antara draf DPS dan data penduduk dengan mendatangi setiap rumah di
RT/RW atau nama lain di desa/kelurahannya. Kalau DPS yang diumumkan itu sudah
merupakan hasil pencocokan dan penelitian dengan data pemilih di setiap rumah
tangga, jumlah persoalan dalam ketiga indikator itu niscaya akan bisa dikurangi
semaksimal mungkin. Karena hanya berhasil menggerakkan sebagian pantarlih,
persoalan cakupan, kemutakhiran, dan akurasi pemilih muncul di KPU.
Faktor kedua berkaitan dengan ketidaksiapan sejumlah KPU
provinsi dan KPU kabupaten/kota. Ketidaksiapan itu terungkap pada empat hal. Pertama,
tidak semua KPU kabupaten/kota memiliki sarana teknologi informasi untuk mampu
mengolah data pemilih (misal nya perangkat lunak komputer yang dimiliki
sejumlah daerah hanya mampu menampung data identitas sebanyak 15 digit,
sedangkan data pemilih yang harus dientri dan diolah mencapai 16 digit). Kedua,
sejumlah KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota tidak memiliki tenaga terlatih
untuk menggunakan teknologi informasi guna mengolah data pemilih. Hal yang
ketiga berkaitan dengan motivasi anggota sejumlah KPU provinsi dan KPU
kabupaten/kota yang rendah untuk melaksanakan proses pemutakhiran daftar
pemilih karena masa jabatannya akan segera berakhir (kurang dari setahun
sebelum Pemilu 2014). Hal yang keempat berkaitan dengan tugas sebagian KPU
provinsi dan KPU kabupaten/ Kota menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah
dan wakil kepala daerah pada saat bersamaan dengan tahap pemutakhiran daftar
pemilih sehingga tidak dapat fokus pada tugas penting ini.
Faktor penyebab ketiga ialah partisipasi masyarakat yang
amat sangat rendah, baik dalam mengecek namanya atau anggota keluarganya dalam
DPS maupun dalam mengajak sesama pemilih lain untuk mengecek namanya dalam DPS.
Tingkat partisipasi yang rendah ini sebagian karena ketidaktahuan publik
perihal kapan, di mana, dan bagaimana proses pengecekan DPS tersebut.
Sosialisasi tentang DPS yang dilakukan KPU beserta seluruh jajarannya di daerah
tampaknya kurang efektif. Akan tetapi, unsur masyarakat yang seharusnya
berperan aktif dalam proses pemutakhiran daftar pemilih ialah partai politik,
tidak hanya karena semua partai politik peserta pemilu berkepentingan terhadap pemilih,
tetapi juga karena semua partai politik peserta pemilu mengetahui secara
lengkap dan akurat proses pemutakhiran daftar pemilih (KPU secara rutin
berkonsultasi dengan Komisi II DPR, dan semua partai politik peserta pemilu
menerima salinan DPS).
Berdasarkan data DPS tersebut, para pengurus dan kader
partai politik pada tingkat akar rumput seharusnya mengingatkan dan mendorong
anggota dan simpatisan partai pada khususnya serta pemilih yang belum terdaftar
pada umumnya untuk memastikan nama dan anggota keluarga mereka telah masuk DPT.
Hanya satu partai (PKS) yang mengapresiasi hasil kerja KPU karena
mendayagunakan data yang diberikan KPU. Selebihnya lebih memilih mengkritik KPU
tanpa data konkret.
Sepanjang Bawaslu, wakil partai, dan pemilih pada umumnya
mampu memberikan data konkret (identitas pemilih yang dinilai bermasalah)
kepada KPU, semua persoalan ini dapat diselesaikan oleh KPU.
Kalau dalam dua minggu ini KPU belum dapat menyelesaikan
persoalan DPT secara tuntas, masih terdapat dua kesempatan lagi bagi pemilih
yang belum terdaftar untuk dapat menggunakan hak pilih pada Pemilu 2014.
Pertama, KPU provinsi akan mendaftar pemilih yang tidak memiliki KTP atau
paspor, tetapi memiliki surat keterangan yang menunjukkan identitasnya sebagai
warga negara yang berhak memilih (inilah yang disebut daftar pemilih khusus
dalam Pasal 40 ayat 5 UU Nomor 8 Tahun 2012).
Kedua, warga negara Indonesia berhak memilih yang belum
terdaftar di DPT dapat menggunakan hak pilihnya pada 9 April 2014 pada pukul
12.00-13.00 apabila mampu menunjukkan KTP atau paspor (Pasal 150 UU Nomor 8
Tahun 2012). Daftar pemilih begitu penting sehingga sebaiknya KPU terus
memutakhirkan DPT setidak-tidaknya sampai pada akhir tahun ini karena DPHP
(yang jumlahnya sudah sesuai dengan persentase cakupan pemilih maksimal) sudah
digunakan sebagai dasar penentuan logistik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar