|
Di
era reformasi ini, kita menyaksikan banyak kasus tindak pidana korupsi yang
melibatkan elite politik dan praktik mafia peradilan yang melibatkan penegak
hukum. Dari beragam kasus, para pelakunya ternyata bukan orang-orang bodoh,
tetapi mereka yang memiliki kecerdasan intelektual, umumnya dengan gelar
sarjana, lulusan perguruan tinggi.
Para
sarjana pelaku tindak pidana korupsi ini sepertinya mewujudkan pandangan yang
pernah diungkapkan Theodore Roosevelt, Presiden AS Ke-26 yang menyatakan, "(A) man who has never gone to school
may steal from a freight car; but if he has a university education, he may
steal the whole railroad." Artinya, orang yang tidak pernah mengenyam
pendidikan di sekolah, hanya bisa mencuri dari mobil angkutan. Tetapi, orang
yang mengenyam pendidikan di universitas, bisa mencuri jaringan rel kereta api.
Inilah
yang terjadi dalam berbagai kasus korupsi yang menarik perhatian publik selama
ini. Celakanya, di negeri ini, rakyat kecil yang tidak sekolah dan melakukan
pencurian kecil-kecilan, seperti kasus pencurian piring oleh nenek Rasmiah (55
tahun), kasus curi semangka oleh Suyanto (45) dan Kholid (49), penegakan
hukumnya benar-benar tajam. Namun, terhadap kasus-kasus korupsi besar yang
melibatkan para elite politik, dan para sarjana yang memiliki kecerdasan
intelektual, hukum menjadi tumpul.
Kita
juga menyaksikan fakta bahwa pelaku tindak pidana korupsi bukanlah orang-orang
kafir. Selain bergelar sarjana, mereka adalah orang-orang yang tekun dan taat
beribadah. Tetapi, semua kegiatan rohaniah spritual itu, setali tiga uang
dengan kegiatan intelektual, seakan tidak ada hubungannya dengan kehidupan di
luar tempat ibadah dan kampus. Dunia pendidikan sepertinya menghasilkan para
sarjana yang cerdas secara intelektual, namun mengalami keterpecahan atau
keterpisahan dalam dirinya.
Sungguh
menarik pandangan Joseph G Allegretti dalam bukunya, The Lawyers Calling: Christian Faith and Legal Practice bahwa
maraknya berbagai kasus yang melibatkan para intelektual tidak hanya
menunjukkan terjadinya krisis etika, atau komersialisasi atau hubungan sosial,
tetapi juga krisis spiritualitas. Meski hal ini menunjuk pada krisis yang
dialami lawyer di AS, tetapi tampaknya pas dengan apa yang dialami lawyer dan
para pemangku jabatan publik, birokrat, hakim, jaksa, polisi, politisi, dokter,
guru, dosen, rohaniwan/wati dan para tokoh agama di Indonesia. Kita sepertinya
memang sedang mengalami krisis spritualitas.
Krisis
itu tecermin dalam menjalankan profesi, yang semata-mata hanya untuk mengejar
dan mengutamakan kepentingan materi dengan menghalalkan segala cara tanpa
mengindahkan nilai-nilai kultural, moral dan nilai spritual. Profesi tidak lagi
dipahami, dihayati dan diamalkan sebagai suatu panggilan. Padahal, makna
profesi atau pekerjaan tidak semata untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari.
Tetapi, di atas segalanya, untuk mengevaluasi tanpa henti tingkat moral dan
kultural masyarakat, tempat manusia hidup bersama komunitas dan keluarga.
Dalam
perspektif inilah, seorang manusia yang cerdas tidak hanya dituntut memiliki
kecerdasan intelektual, tapi juga kecerdasan moral, emosional dalam satu
kesatuan dengan kecerdasan spritualnya. Dan, sejatinya, inilah tantangan dunia
pendidikan, harus terus berjuang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Akademisi
dan penyair Inggris, Clive Staple Lewis, mengatakan, pendidikan
tanpa nilai-nilai, seberapa pun manfaatnya, hanya akan membuat manusia menjadi a more clever devil - iblis yang lebih
pintar.
Lembaga
pendidikan memiliki misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Di dalamnya mesti
terkandung internalisasi nilai-nilai yang telah dirumuskan menjadi nilai
kehidupan dalam Pancasila. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar