|
Menjelang
Pemilu 2014, lagi-lagi polemik politik kekerabatan, yang dipopulerkan dengan
istilah politik dinasti, muncul ke permukaan. Kasus dinasti keluarga Atut dari
Banten menjadi momok yang mendorong sejumlah pihak untuk menetapkan pembatasan
syarat jabatan untuk kepala daerah melalui RUU Pilkada.
Coba kita letakkan polemik itu dalam proporsinya. Politik
kekerabatan sesungguhnya dipraktikkan di banyak negara, tidak hanya di negara
berkembang, tetapi juga di negara maju. Di Amerika Serikat, kita kenal dinasti
Kennedy dan George Bush. Sebelum itu, ada juga John Adams (presiden kedua AS)
yang putranya, John Quincy Adams, menjadi presiden keenam AS.
Ada pula Franklin Delano Roosevelt (presiden ke-32 AS) yang
adalah sepupu Theodore Roosevelt (presiden ke-26 AS). Roosevelt sendiri
dikatakan memiliki hubungan kekerabatan dengan 11 presiden: 5 berdasarkan
hubungan darah dan 6 lain karena pernikahan.
Dinasti
politik dan partai
Asia mungkin surganya dinasti politik di mana banyak kepala
pemerintahan punya hubungan kekerabatan dengan pemimpin sebelumnya. Di ASEAN,
kita temukan itu di Singapura (keluarga Lee), di Malaysia (keluarga Razak), di
Thailand (keluarga Shinawatra), di Filipina (keluarga Marcos dan Aquino), serta
di Indonesia (keluarga Soekarno).
Selain istilah dinasti politik, ada pula istilah dinasti
partai. Istilah ini merujuk pada partai-partai yang dibangun dengan
mengandalkan ketokohan atau nama yang sudah cukup dikenal. Istilah ini sering
dipakai dalam menganalisis situasi politik di India dan negara-negara di Asia
Selatan. Contohnya: Partai Kongres di India yang sangat mengandalkan nama
Gandhi untuk menjalankan partainya. Partai ini menempatkan beberapa keluarga
Gandhi sebagai pemimpin partai dan juga perdana menteri. Tidak hanya Partai
Kongres, ada 12 dari 62 partai lain yang tersebar di beberapa negara bagian
India menganut partai dinasti.
Di Pakistan ada People’s Party yang dipimpin keluarga Bhutto.
Sesaat setelah Benazir Bhutto terbunuh, partai memutuskan bahwa penggantinya
adalah anak tunggalnya, yakni Bilawal Bhutto Zardari. Namun, karena belum cukup
umur dan belum tamat sekolah, sang ayah, Asif Ali Zardari, menjadi co-chairman dan menjalankan
keputusan partai sehari-hari hingga sang anak cukup umur.
Contoh-contoh itu menggambarkan betapa jamaknya kekuasaan
politik yang diwarnai hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Namun, kita tak
bisa lantas mengatakan keluarga itu melakukan politik dinasti atau dinasti
politik. Berkuasanya keluarga Bush dari Partai Republik adalah melalui sebuah
proses seleksi partai ketat. Walaupun Bush Jr dianggap tidak punya kewibawaan
atau kecerdasan seperti ayahnya, ternyata ia berhasil lolos seleksi partai dan
bahkan berkuasa selama dua periode.
Dalam kasus dinasti partai di India, Pradeep Chhibber (2011)
mengatakan dua hal yang memengaruhi sebuah partai berubah menjadi partai
dinasti. Pertama adalah ketika partai tidak memiliki dukungan organisasi massa
independen yang mampu memobilisasi suara atau tidak memiliki prosedur
demokratis di dalam partai. Partai yang tidak punya organisasi massa umumnya
mengandalkan ketokohan sebagai brand
name dan menunjuk pengurus partai atas dasar kekuasaan yang
dimilikinya itu.
Kedua adalah ketika keuangan partai bersifat ilegal dan
dikuasai secara sentralistik oleh pemimpin partai. Dalam kondisi seperti itu,
transaksi politik yang terjadi akan menciptakan defisit keterwakilan partai
atas suara masyarakat yang memilihnya.
Kasusnya beda dengan di Filipina, karena dinasti politik di
sana berkembang dan bertahan akibat langgengnya sistem patron dari segelintir
keluarga kaya yang pernah dihadiahi tanah oleh penjajah Spanyol. Pada masa itu,
Spanyol menggunakan metode bagi lahan untuk menciptakan loyalitas kepada
pimpinan yang dicangkok oleh Spanyol sambil melakukan konsolidasi horizontal dari tiap tuan
tanah yang dilindungi oleh Spanyol tadi.
Karena tidak pernah ada terobosan land
reform (reformasi kepemilikan lahan), maka kekuasaan para tuan tanah
berakumulasi terus dan mereka kemudian mendirikan partai-partai politik. Partai
politik di Filipina sangat rentan didikte oleh segelintir keluarga dan sering kali antarkeluarga bekerja sama untuk memenangi
kekuasaan. Filipina memang meloloskan UU Antidinasti Politik, tetapi
keefektifan UU tersebut dipertanyakan karena struktur masyarakatnya tak
berubah.
Politik
dinasti di Indonesia
Di Indonesia, politik kekerabatan dapat ditelusuri dari zaman
Orde Baru dan Reformasi. Periode Orde Baru ditandai hadirnya patrimonial
state, di mana negara berperan besar melahirkan kepentingan bisnis
tertentu dengan memanfaatkan fasilitas negara termasuk akses terhadap modal.
Pengorganisasian ala kongkalikong ini dapat dilakukan oleh berbagai jaringan
yang juga mewakili kekuatan politik. Misalnya lewat jaringan keluarga, jaringan
militer, jaringan Golkar (sebelum menjadi partai), jaringan himpunan
kemahasiswaan, jaringan keagamaan, dan lain-lain.
Pada periode Reformasi, liberalisasi ekonomi dan demokrasi
telah mengurangi peran pemerintah pusat, tetapi tercipta sentra-sentra
kekuasaan baru yang lebih tersebar dengan jaringan yang semakin beragam, tetapi
sulit ditembus masyarakat awam. Sejumlah pengamat menyebut tren ini
sebagai oligarchic state karena
jejaring kekuasaan ini berhasil mengakali mekanisme kompetisi yang fair.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa jaringan politik kekerabatan
tidak akan hancur hanya karena suatu UU. Kita harus memperhatikan faktor
sosiologis dan historis, apalagi karena akan ada saja jaringan lain yang siap
menggantikan dinasti yang tersingkir. Satu hal yang mampu memberikan jaminan
akan kompetisi yang fairdalam politik (maupun bisnis) adalah jika
birokrasi yang menggawangi proses seleksi politik (maupun ekonomi) bersikap
profesional, transparan, dan akuntabel.
Saat ini KPK sudah berhasil membongkar beberapa jaringan yang
berusaha menggembosi wibawa negara, tetapi hal ini harus terus dilanjutkan
untuk membongkar semua jaringan yang berpotensi memenjarakan Indonesia dalam
pola oligarki. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar