|
HARI
Sumpah Pemuda yang dirayakan setiap 28 Oktober merupakan momentum emas yang
menandai spirit terbangunnya kesadaran magis keindonesiaan. Sebuah kesadaran
penanda lipatan sejarah kelam yang membakar semangat pikiran kaum muda saat itu
untuk melawan eksploitasi, penindasan atas kebebasan, keadilan, dan tumpukan
warisan biologis dan keunikan ras yang membatasi pikiran progresif dan lahirnya
elite-elite urban juga terdidik di Nusantara.
Kongres Pemuda Indonesia, 28
Oktober 1928, menjadi suluh historis berkobarnya cita-cita kepemimpinan kaum
muda sebagai agen sejarah (the historic people)
yang dicetuskan Soegondo Djojopuspito, 24, Mr Sunario, 25, dan Muhammad Yamin,
25, yang mengusung simbol bahasa-Melayu--sebagai dasar perjuangan kolektif. Di
forum ini pula nama `Indonesia' diperkenalkan setelah di 1913, Suwardi
Suryaningrat memakai `Indonesia' ketika mendirikan Biro Pers Indonesia di
Belanda.
Simbol bahasa tidak saja
menunjukkan perjuangan artikulatif untuk menggusur fatalisme (pasrah pada
keadaan), inferioritas pribumi oleh tekanan primordialisme agama, etnik, dan
feodalisme yang merestriksi cakrawala berpikir masyarakat (Sutherland, 1983), tetapi juga roh kata-kata yang membangkitkan
fantasi spiritual untuk membumikan eksistensi kebangsaan dalam pengakuan
kolektif: tumpah darah satu, bangsa satu, dan bahasa persatuan, yang kemudian
menjadi lahan persemaian tumbuhnya identitas kolektif bernama `Indonesia
Merdeka'.
Terbentur
Kini, 85 tahun nyala api Sumpah
Pemuda menerangi politik revolusioner yang mengantar ke era Reformasi. Ada
sebaris harapan bahwa semangat perubahan yang berduyunduyun dalam pikiran
segenap rakyat terus meniti gelombang sejarah di tengah perubahan
sosial-politik yang berjalan dengan cepatnya.
Namun, harapan itu kini se perti
membentur batu karang. Eksistensi kaum muda sebagai pelopor p kekritisan dan
pembuk jalan bagi rekonstruksi diskan kursus panjang keindonesiaan yang kuat di
bawah sendi-sendi demokrasi seolah tenggelam oleh hiruk pikuk kekuasaan yang
pragmatis dan liar. Politik menjadi kaca bening yang cocok untuk mengukur sepak
terjang kaum muda kita yang dari hari ke hari kian apolitis. Para aktivis muda
pasca-1998 yang mencoba mewarnai politik parlemen--dari pusat sampai
daerah--maupun eksekutif untuk memperjuangkan hak-hak ekonomi, sosial, budaya,
dan HAM tampaknya tak mampu berbuat apa-apa.
Mereka justru terpapar radiasi
pemikiran politik konvensional kaum elite tua yang lebih dahulu bermimikri dari
kelompok status quo menjadi kelompok reformis dan membangun jaringan kekuasaan
dalam skala padat modal dan politik tertutup. Model politik tertutup itu diperlihatkan
dalam struktur kekuasaan partai politik yang tidak pernah serius melakukan
edukasi dan kaderisasi. Sistem rekrutmentasi dan model seleksi politik partai
dengan sistem suara terbanyak dalam pemilu membuat kaum muda kesulitan
memobilisasi ide-idenya karena miskin modal dan kemampuan komunikasi politik
dengan rakyat.
Kalaupun ada yang berhasil lolos
dalam parlemen maupun eksekutif, lebih karena dukungan klientalisme dan
kesanggupan menempuh jalan pintas (penguasaan modal dan ketenaran) yang
mengabaikan kemampuan imajinasi, visi, gagasan konstruktif, dan peng alaman
menggalang dukungan sosial untuk mengusung agenda perubahan. Akibatnya,
kehadirannya di struktur kekuasaan menjadi antiklimaks, di satu sisi terbawa
arus pragmatisme, di sisi lain menjadi boneka politik dari bosisme kekuasaan.
Pada 2011, Lingkaran Survei
Indonesia pernah membuat survei tentang kiprah politisi muda sebagai anggota
DPR, DPRD, DPD, menteri, dan lembaga politik lain. Ketika ditanya tentang
kualitas dari pemimpin politik atau elite politik yang berusia muda tersebut,
hanya 24,8% publik yang menyatakan kiprah politisi muda saat ini baik/sangat
baik.
Bahkan responden yang mendiami
daerah perkotaan lebih kecewa lagi dengan kinerja politisi muda. Yang menjawab
kinerja politisi muda lebih baik daripada politisi tua untuk responden di desa
26,5% dan di kota 21,2%, Laki 22,7%, Perempuan 26,8%, sedangkan terpelajar
19,7%, dan SMU, SMP, SD 25,3%. Publik yang menjawab kinerja politisi muda lebih
baik daripada politisi senior hanya 15,4%, sedangkan yang menjawab politisi
senior lebih baik daripada politisi muda 23,8%. Sebanyak 37,6% menjawab sama
saja.
Seretnya performa politisi/ pejabat
muda antara lain karena maraknya berita korupsi yang menerpa, serta tingginya
ekspektasi publik terhadap politisi muda sebagai agen dan simbol perubahan.
Hasil survei di atas tentu masih relevan untuk mengukur kecenderungan kinerja
politisi muda saat ini.
Inferioritas
Karena itu, tak mengherankan jika
kegagalan kaum muda mewariskan peluang dan perubahan menjadi kontribusi utama
bagi Benedict Anderson untuk menyebut masyarakat kita sebagai old state, new
society di mana negara tetap memelihara karakter dasarnya meskipun masyarakat
terus berkembang. Bahkan gambaran kaum muda zaman pergerakan tempo doeloe oleh R Mrazek yang
mengatakan, “...apakah anak muda akan mengikuti perjuangan kaum nasionalis atau
meniru ayah dalam kegiatan rutin mereka yang membosankan, dengan patuh dan
senang hati melaksanakan perintah dari atas, meninggalkan hasrat,
memperjuangkan cita-cita apa pun, dan hanya memikirkan karier...“ (Mrazek, 1996:112), justru makin terlihat
jelas saat ini.
Mereka tampak lemah dan tak berani
untuk mendinamisasi pemikiran independen dan kritis yang melawan arus pemikiran
seniornya di kamar-kamar pengambilan keputusan. Inferioritas pendirian ini
bukan saja karena kelemahan pengalaman, skill, basis dukungan politis, tetapi
juga ketidakmampuan kaum muda membangun kaukus politik perubahan lintas faksi
sebagai haluan dasar melawan wacana mainstream
kekuasaan yang ada (Fakih, 2004). Tak
mengherankan jika politisi muda mudah kehilangan identitas dan orientasi dan
akhirnya gampang terjeru mus dalam mentalitas konsumtif dan banalitas korupsi.
Hal itu akan semakin memperbesar
lingkaran apatisme politik terutama kaum muda terhadap politik. Apolitisasi ini
sangat merugikan bagi proses pematangan demokrasi karena ketika politisi
bertalenta cemerlang lebih suka memilih karier profesional, maka ruang politik
akhirnya diisi oleh politisi junk food,
bertalenta buangan, dengan segala warisan kedangkalan politik yang
mengontaminasi prinsip-prinsip demokrasi. Padahal dalam dunia politik inilah
desain nasib bangsa dipertaruhkan.
Karenanya komponen masyarakat
kritis memerlukan spiritualitas baru untuk mendorong kader-kader pemimpin muda
berkualitas untuk bergabung dalam politik. Partai politik harus didesak untuk
mentransendensi kesempatan ini lewat penciptaan ramuan sistem rekrutmentasi
politik afirmatif yang mementingkan kaderisasi dan meritokrasi, termasuk
menekan partai membuka pintu seluas-luasnya bagi capres-capres muda untuk
berkontestasi dalam Pilpres 2014. Akan tetapi, yang terpenting dari sekadar
usia, negara ini sejatinya memerlukan kader pemimpin bermental kejiwaan muda
yang berani mengambil risiko dan mau memberikan badannya untuk menyelamatkan
kepentingan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar