|
Penobatan
bulan Oktober sebagai bulan bahasa merupakan wujud penghormatan ditetapkannya
bahasa Indonesia oleh kaum muda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa
persatuan.
Saat
itu pemuda dari berbagai suku mulai dari Jong Java, Jong Sumatera, Jong
Celebes, dan Jong-jong lainnya membentuk suatu identitas. Mereka mengucap
sumpah yang kita kenal dengan sumpah pemuda yang bertekad sebagai satu
kesatuan, bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu.
Namun
seiring bergulirnya waktu, beberapa tahun terakhir peringatan bulan bahasa
tidak lagi menggema dan bahkan sangat menyakitkan banyak masyarakat di generasi
saat ini yang tidak peduli dan mengetahui bulan Oktober sebagai bulan bahasa.
Beragam
faktor membuat generasi sekarang lupa ingatan pada peringatan bulan bahasa.
Pemerintah pun ikut andil, abai terhadap bahasa sebagai sebuah identitas.
Sistem pendidikan juga ikut berperan, kreativitas dalam mengenalkan bahasa
Indonesia agar bisa dicintai generasi sekarang. Ditambah lagi secara individu
pun keinginan untuk tahu sejarah dan asal usul bahasa Indonesia juga tidak
dimiliki mereka.
Pramoedya
Ananta Toer pernah bertutur bagaimana mungkin seseorang dapat mencintai negeri
dan bangsanya, kalau dia tak mengenal sejarahnya. Jadi, bagaimana mungkin pula
seseorang bisa mencintai bahasa Indonesia jika sejarahnya saja tidak pernah
mereka tahu.
Sejarah
panjang perjalanan bahasa Indonesia yang menjadikannya makin berkembang
sangatlah berliku, misalnya jika kita melihat masa pergerakan nasional bermula
tahun 1918, Ratu Belanda memberikan kebebasan kepada anggota dewan rakyat untuk
menggunakan bahasa Melayu saat bersidang.
Lalu,
pada kongres pemuda pertama penetapan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan
mengalami perdebatan, yang akhirnya pada kongres pemuda kedua ditetapkanlah
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (Harimurti Kridalaksana “2 Mei Hari
Jadi Bahasa Indonesia” Kompas, 2/5/ 2013).
Selanjutnya,
tahun 1933 terbentuk Angkatan Pujangga Baru yang dipimpin Sutan Takdir Alisyahbana.
Kemudian di Solo tahun 1938 diadakan Kongres Bahasa Indonesia pertama guna
menentukan pegangan bagi pengguna bahasa, mengatur bahasa, serta
menyebarluaskan bahasa Indonesia (Berdianti, 2008).
Pada
awal kemerdekaan tepatnya tanggal 18 Agustus ditetapkanlah bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara yang dinyatakan dalam UUD 1945 Bab XV, Pasal 36.
Disebutkan
pula bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa negara memiliki empat fungsi dan
peranan sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar di dalam dunia
pendidikan, bahasa resmi untuk kepentingan pemerintah, serta pengembang
kebudayaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemudian
pada kongres bahasa Indonesia kelima di Jakarta tahun 1988 diperkenalkanlah
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun atas kerja sama dan koordinasi Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hari-hari
ini pun bahasa Indonesia terus mengalami perkembangan. Hal yang paling
membanggakan dan menjanjikan pada saat penerapan kurikulum 2013 yang menetapkan
bahasa Indonesia terlahir kembali sebagai bahasa dalam dunia pendidikan dan
juga sebagai pengembang kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesadaran
Kedudukan
bahasa Indonesia amatlah tinggi dan strategis. Hal ini karena bahasa adalah
sebagai alat pemersatu. Indonesia yang memiliki suku, adat istiadat, serta
bahasa daerah yang beragam dapat disatukan dengan bahasa Indonesia. Sulit
dibayangkan jika tidak ada bahasa pemersatu.
Judul
tulisan ini “Basa-basi Bulan Bahasa” didasarkan atas rendahnya kesadaran
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada masyarakat Indonesia saat
ini. Kaum muda, petinggi, serta pejabat negara pun harus dipertanyakan
kecintaannya pada bahasa Indonesia.
Jika
kita rajin mencatat, tidak sedikit para petinggi yang menggunakan bahasa asing
dalam wawancara atau pun pidatonya, meskipun bahasa asing tersebut telah
mempunyai padanan dalam bahasa Indonesia.
Dalam
pengunaan bahasa Indonesia kita miskin keteladanan dan terjebak pada apa yang
disebut Haryatmoko “logika mode,” yaitu mengarah kepada hal-hal yang spektakuler
dan sarat sensasi. Logika mode memungkinkan pengingkaran terhadap masa lalu dan
pemujaan terhadap sesuatu yang baru. Logika mode berpatokan pada sesuatu yang
baru itu senantiasa indah (Antara, 11/09/2013).
Jadi,
kita bisa mengatakan banyak dari masyarakat menjadi “korban” dari logika mode.
Korban yang paling kentara dan mendapat olok-olokan adalah Vicky Prasetyo.
Melihat
perkembangan bahasa Indonesia seperti ini harus ada upaya yang lebih intens
agar timbul kesadaran masyarkat untuk terus mencintai, bergairah, dan
senantiasa menggunakan bahasa Indonesia.
Kemudian,
dalam tataran kemampuan berpikir dan berkreasi posisi bahasa juga sangat
strategis. Didasarkan pada teori kreativitas, bahasa merupakan titik awal
kreativitas seorang bermula yang selalu berkorelasi dengan pemahaman masa lalu.
Jadi,
tidak mengherankan orang Jerman yang terus maju dan mampu berpikir kreatif
karena pemerintahnya tidak pernah lupa menjaga karya sastra dan bahasa Jerman
melalui event Frankfurt Book Fair yang telah berusia 500 tahun yang
dilaksanakan pada bulan Oktober setiap tahunnya.
Harusnya
pihak yang berwenang dalam pengembangan bahasa Indonesia pun harus lebih fokus
dan bersinergi dengan berbagai lembaga yang ada agar terus merangsang lahirnya
kecintaan masyarakat pada bahasa Indonesia.
Misalnya
membuat lomba mengarang, debat, atau event-event lainnya yang sifatnya
menumbuhkan kesadaran berbahasa Indonesia. Hal-hal seperti ini akan mengetuk
kesadaran baru masyarakat akan pentingnya bahasa Indonesia sebagai sebuah
identitas dan mampu melahirkan kreativitas.
Memajukan
bahasa Indonesia tidak cukup sebatas wacana. Tapi, membutuhkan langkah konkret.
Saya yakin jika semua pihak tergerak dan bersungguh-sungguh ingin memajukan
bahasa Indonesia pasti akan terwujud, sehingga bahasa Indonesia pun akan terus
berkembang sesuai tuntutan zaman. Semoga.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar