Senin, 28 Oktober 2013

Menegakkan Pilar Peradaban Bahasa

Menegakkan Pilar Peradaban Bahasa
Fathurrofiq  Pendidik Bahasa dan Sastra di SMP Al Hikmah, Surabaya;
Pelajar di Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
JAWA POS, 28 Oktober 2013



PADA Oktober 1928 atau 85 tahun silam, Sumpah Pemuda diikrarkan para pemuda nusantara untuk menyatakan Indonesia sebagai kesatuan identitas berbangsa, bertanah air, dan berbahasa mereka. Dihitung sejak peristiwa Sumpah Pemuda tersebut sampai sekarang, usia bahasa Indonesia sebagai bahasa bangsa belum satu abad.

Bahasa Latin, dari bahasa suku menjadi bahasa peradaban Kekaisaran Romawi, membutuhkan 900 tahun. Bahasa Arab, jika dihitung dari lahirnya Rasulullah Muhammad sampai memantapkan imperium Islam ke wilayah di luar Jazirah Arab, membutuhkan waktu 400 tahun. Sebelum Rasulullah Muhammad lahir, tentu bahasa Arab telah bertahun-tahun menjadi bahasa suku-suku Arab. Bahasa Inggris, jika dihitung dariOld English pada abad ke-8 hingga abad ke-9 sampai Modern English abad ke-16, yang menjadi bahasa bangsa Inggris, membutuhkan waktu 7-8 abad.

Hampir 100 tahun kurang lima belas tahun bahasa Indonesia telah bertahan menjadi bahasa kesatuan bangsa ini. Lalu, setelah menjadi bahasa kesatuan, perlu berapa tahun lagi bahasa ini menjadi bahasa peradaban Indonesia? Sebuah pertanyaan yang menuntut kerja megaproyek kebudayaan Indonesia.

Sebenarnya cukup niscaya bahasa Indonesia mewujud menjadi bahasa peradaban, mengingat tren peningkatan jumlah penutur bahasa Indonesia. Masyarakat perkotaan lebih memilih berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Jumlah penutur bahasa Indonesia lebih banyak daripada bahasa Jerman atau Jepang, misalnya.

Tetapi, pesimisme segera menyeruak jika dilihat cara berbahasa berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Sebegitu mu­dahnya masyarakat Indonesia terpangaruh unsur bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Taat asas pada ejaan yang baik dan benar dalam berbahasa, terutama dalam ranah formal, adalah salah satu pilar kekukuhan bahasa. Kalau ejaan bahasa disepelekan, disiplin berbahasa sulit ditegakkan. Cara bertutur elite kekuasaan dalam forum resmi dicampurbauri dengan bahasa Inggris.

Bahasa akademis di kampus atau pada penulisan-penulisan ilmiah juga tidak kalah genit dalam menggunakan kosa kata asing. Bahasa akademis belum terlalu gigih lebih jauh menggali kosa kata bahasa sendiri. Padahal, sebenarnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Benendict Anderson, dalam ulasannya pada buku Tjamboek Berduri dengan judul makalah: Bahasa tanpa Nama, mengatakan kecenderungan intelektual Indonesia menyirami tulisan mereka dengan kosa kata asing.

Sementara Duncan Grahan, wartawan asal Australia yang tinggal di Malang, merasa heran ketika mengikuti kuliah Daniel Sparingga, saat ini menjadi staf kepresidenan. Lebih dari separo bahasa dalam kuliah yang diadakan di Surabaya itu adalah serapan bahasa Inggris. Bahasa Indonesia mengalami tsunami kosa kata Inggris. Masih menurut Graham, layaknya bahasa Indonesia menjadi "Indogris" saja. Jika cara berbahasa ini terus dibiarkan, tidak ada artinya semangat "bahasa Indonesia menjadi penghela ilmu pengetahuan" diteriak-teriakkan.

Pilar Media Cetak 

Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, sementara itu, dilihat dari kemampuan anak-anak Indonesia berbahasa Indo­nesia mungkin pembelajaran bahasa Indonesia cukup berhasil. Namun, jika dilihat dari kreativitas berbahasa anak-anak Indoesia dalam menulis, berbicara di depan publik yang runtut, berimajinasi yang kuat, pembelajaran bahasa Indonesia belum dikatakan sukses. Anak-anak kita bisa lebih mudah bericara dengan sebayanya dalam bahasa Indonesia ragam nonformal atau nonbaku. Tetapi, ketika diminta menulis, menuangkan gagasan secara tertulis dalam ejaan yang benar, tak sedikit pikiran mereka yang mendadak macet.

Sesuai dengan perkembangan teori bahasa, paradigma pembelajaran bahasa juga berkembang. Perubahan terjadi dari gramatika sentris menjadi pembelajaran kompetensi berkomunikasi. Pada Kurikulum 2013, pembelajaran bahasa berparadigma bahwa bahasa Indonesia adalah penghela ilmu pengetahuan. Ini menuntut mentalitas dan budaya mengajar guru-guru bahasa Indonesia berubah sesuai dengan semangat kurikulum itu.

Media massa tidak kalah vital perannya sebagai pilar bahasa. Sayangnya, banyak media elektronik yang justru menganggap pemirsa Indonesia adalah orang-orang berbahasa Ingris. Menurut amatan Taufiq Ismail, begitu banyak nama program TV berbahasa Inggris. Layaknya pemirsa di Indonesia adalah masyarakat Amerika.

Media massa cetak yang mengandalkan keterbacaan, semisal koran atau majalah, memungkinkan pembaca berefleksi atau berkontemplasi pada isi bacaan tanpa khawatir ditinggalkan teks. Pembaca bisa kembali ke paragraf atau halaman yang dianggap penting. Dari media cetak itulah masyarakat Indonesia banyak membaca dan mengaktifkan daya nalar untuk mendapatkan informasi.

Saya dan mungkin banyak orang lain berharap media cetak terus menjaga tata tulisnya dengan taat asas pada ejaan bahasa Indonesia. Dengan demikian, media massa akan berperan menjadi pilar penjaga bahasa Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar