|
Kongres Bahasa Indonesia 2013 di
Jakarta, 28-31 Oktober, mengusung tema ”Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia
Internasional”. Tema itu beranjak dari bayangan tentang kemampuan bahasa
Indonesia sebagai bagian dari bahasa komunikasi internasional.
Fakta-fakta yang dirujuk adalah
kebijakan Komunitas ASEAN, jati diri bangsa, persaingan dengan bahasa asing,
dan praktik sosial warga bangsa yang menjadi warga dunia.
Dalam konteks pembangunan, bahasa
Indonesia dijadikan sebagai medium oleh para pengguna bahasa untuk kemajuan
bangsa. Bagaimana gagasan tersebut dituangkan dalam kebijakan-kebijakan konkret
pada penyelenggara negara? Dari mana memulainya? Bila pertanyaan tersebut belum
memperoleh jawaban yang tepat, pertanyaan selanjutnya: ”Tema itu fakta atau
fiksi?”
Pengakuan formal
Secara legal perlindungan terhadap
bahasa Indonesia melalui UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara tidak memadai karena hanya menjadi obyek pengakuan formal. Demikian
pula, RUU Kebudayaan yang dirancang sebagai sebuah strategi pelestarian
identitas bangsa itu ternyata tidak mencantumkan langkah-langkah visioner dalam
pengembangan bahasa Indonesia. Buktinya, dalam naskah akademik yang
diikutsertakan dalam RUU Kebudayaan, bahasa justru tidak mendapat tempat yang
bermakna ketika diterjemahkan dalam aspek-aspek kebudayaan.
Fakta tersebut menunjukkan betapa
kebijakan-kebijakan pemerintah sebetulnya tidak memiliki orientasi yang jelas,
terutama upaya ”penguatan bahasa Indonesia dalam komunitas internasional”.
Ketidakjelasan itu sebetulnya
mengingkari jati diri bangsa yang memiliki warisan kebahasaan yang sangat
penting di dunia. Fakta-fakta kebahasaan yang ditemukan Anthony Reid menjadi
pijakan untuk mengembangkan studi Asia Tenggara. Disertasinya yang meneliti
naskah-naskah Melayu tentang Aceh menjadi bukti untuk menemukan sejarah Asia
Tenggara sebagai sebuah budaya yang enclave. Kita akhirnya tahu dari Reid
bahwa studi Asia Tenggara tidak bisa dimulai tanpa pemahaman yang baik tentang
bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia. Temuan Reid itu
relevan dengan teori Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah tentang relasi
positif antara bangsa dan bahasa.
Secara historis, lebih dari dua
dekade yang lalu, YB Mangunwijaya sebetulnya telah memiliki gambaran yang jelas
tentang eksistensi bahasa dan bangsa Indonesia pada masa depan. Dalam
novel Burung-burung Rantau (1992), YB Mangunwijaya berhasil memajang
potret sosial warga Indonesia yang telah menjadi warga dunia. Dia menyebut
identitas orang-orang Indonesia sebagai manusia ”pasca-Indonesia”. Dengan
identitas pasca-Indonesia, manusia Indonesia menunjukkan prestasi kulturalnya
melalui bahasa yang dimiliki. Bahasa menjadi identitas yang memiliki daya saing
dengan bangsa lain. Itu berarti warga Indonesia harus berhadapan dengan bangsa
lain dari aspek sumber daya manusia, indeks pembangunan manusia, tingkat melek
huruf, daya saing, kesejahteraan, dan pelbagai kemajuan di sejumlah aspek
kebudayaan.
Dalam banyak hal, lebih dari 85
tahun pasca- Sumpah Pemuda 1928, daya saing Indonesia bukanlah prestasi yang
membanggakan. Itu berarti sebuah penguatan bahasa Indonesia hanya bisa
dilakukan jika para penutur memiliki prestasi yang bisa diungkapkan melalui
bahasa tersebut. Pendeknya, prestasi bangsa memiliki relasi positif dengan
penguatan bangsa. Sebaliknya, bangsa yang mundur dapat dilihat dari
ungkapan-ungkapan bahasanya.
Malu aku
Tidak aneh jika Taufiq Ismail
menyatakan ”Malu (Aku) Jadi Orang
Indonesia”. Ismail menyaksikan penguasa yang bertindak sewenang-wenang,
tidak adil, menculik, dan pidana korupsi. Karena itu, penyair itu membandingkan
Indonesia dengan negara-negara lain yang sudah melesat jauh sehingga dia ”tidak berani berjalan tegak”. Setelah
puisi-puisinya dalam Tirani dan Benteng yang membakar para pemuda
pada 1966 kini puisi Taufiq Ismail telah menjadi potret suram generasi masa
kini.
Taufiq Ismail boleh saja malu,
tetapi para penyelenggara negeri ini tidak pernah merasa malu sebab martabat
bangsa hanya menjadi permainan kata. Dalam sajak ”Telur” karya Zawawi Imron dikatakan, dubur ayam yang mengeluarkan
telur lebih mulia ketimbang mulut yang menjanjikan telur. Ungkapan puitis itu
telah menjadi potret atas rendahnya martabat para penyelenggara negara.
Bila direfleksikan pada kenyataan
sekarang ini, banyak kaum elite yang mengungkapkan ”kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran”, tetapi tidak pernah ada
buktinya. Bahasa Indonesia hanya menjadi bahasa slogan dalam praktik-praktik
meraih kekuasaan sebagaimana terlihat dalam iklan di media massa.
Ungkapan kaum elite menjadi bagian
dari ekspresi untuk menyembunyikan fakta. Sebagai contoh, ungkapan ”Adalah 2000 persen fitnah jika saya dekat
dengan Bunda Putri” itu seakan-akan dapat diartikan bahwa penutur tidak
kenal, apalagi dekat dengan orang tersebut. Akan tetapi, pernyataan tersebut
tidak bisa dikatakan benar sampai memperoleh pembuktian yang memadai.
Kenyataannya, istilah ”fitnah” hanya
berhenti sebagai respons temporer dan tidak berlanjut dalam mekanisme formal
sebagai upaya pencarian kebenaran.
Atas nama kekuasaan, para penutur
menyembunyikan diri dari permainan bahasa, slogan-slogan, dan diksi-diksi yang
ambigu. Jadi, pendeknya, penguatan bahasa Indonesia haruslah dimulai dari upaya
menjadikan bahasa Indonesia sebagai media ungkap untuk sebuah kejujuran, jiwa
keberanian, dan bukan sebaliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar