Kamis, 31 Oktober 2013

Kontradiksi Penguatan Bahasa

Kontradiksi Penguatan Bahasa
Saifur Rohman   Pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, 
Universitas Negeri Jakarta
KOMPAS, 31 Oktober 2013

Kongres Bahasa Indonesia 2013 di Jakarta, 28-31 Oktober, mengusung tema ”Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional”. Tema itu beranjak dari bayangan tentang kemampuan bahasa Indonesia sebagai bagian dari bahasa komunikasi internasional.

Fakta-fakta yang dirujuk adalah kebijakan Komunitas ASEAN, jati diri bangsa, persaingan dengan bahasa asing, dan praktik sosial warga bangsa yang menjadi warga dunia.

Dalam konteks pembangunan, bahasa Indonesia dijadikan sebagai medium oleh para pengguna bahasa untuk kemajuan bangsa. Bagaimana gagasan tersebut dituangkan dalam kebijakan-kebijakan konkret pada penyelenggara negara? Dari mana memulainya? Bila pertanyaan tersebut belum memperoleh jawaban yang tepat, pertanyaan selanjutnya: ”Tema itu fakta atau fiksi?”

Pengakuan formal

Secara legal perlindungan terhadap bahasa Indonesia melalui UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara tidak memadai karena hanya menjadi obyek pengakuan formal. Demikian pula, RUU Kebudayaan yang dirancang sebagai sebuah strategi pelestarian identitas bangsa itu ternyata tidak mencantumkan langkah-langkah visioner dalam pengembangan bahasa Indonesia. Buktinya, dalam naskah akademik yang diikutsertakan dalam RUU Kebudayaan, bahasa justru tidak mendapat tempat yang bermakna ketika diterjemahkan dalam aspek-aspek kebudayaan.

Fakta tersebut menunjukkan betapa kebijakan-kebijakan pemerintah sebetulnya tidak memiliki orientasi yang jelas, terutama upaya ”penguatan bahasa Indonesia dalam komunitas internasional”.

Ketidakjelasan itu sebetulnya mengingkari jati diri bangsa yang memiliki warisan kebahasaan yang sangat penting di dunia. Fakta-fakta kebahasaan yang ditemukan Anthony Reid menjadi pijakan untuk mengembangkan studi Asia Tenggara. Disertasinya yang meneliti naskah-naskah Melayu tentang Aceh menjadi bukti untuk menemukan sejarah Asia Tenggara sebagai sebuah budaya yang enclave. Kita akhirnya tahu dari Reid bahwa studi Asia Tenggara tidak bisa dimulai tanpa pemahaman yang baik tentang bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia. Temuan Reid itu relevan dengan teori Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah tentang relasi positif antara bangsa dan bahasa.

Secara historis, lebih dari dua dekade yang lalu, YB Mangunwijaya sebetulnya telah memiliki gambaran yang jelas tentang eksistensi bahasa dan bangsa Indonesia pada masa depan. Dalam novel Burung-burung Rantau (1992), YB Mangunwijaya berhasil memajang potret sosial warga Indonesia yang telah menjadi warga dunia. Dia menyebut identitas orang-orang Indonesia sebagai manusia ”pasca-Indonesia”. Dengan identitas pasca-Indonesia, manusia Indonesia menunjukkan prestasi kulturalnya melalui bahasa yang dimiliki. Bahasa menjadi identitas yang memiliki daya saing dengan bangsa lain. Itu berarti warga Indonesia harus berhadapan dengan bangsa lain dari aspek sumber daya manusia, indeks pembangunan manusia, tingkat melek huruf, daya saing, kesejahteraan, dan pelbagai kemajuan di sejumlah aspek kebudayaan.

Dalam banyak hal, lebih dari 85 tahun pasca- Sumpah Pemuda 1928, daya saing Indonesia bukanlah prestasi yang membanggakan. Itu berarti sebuah penguatan bahasa Indonesia hanya bisa dilakukan jika para penutur memiliki prestasi yang bisa diungkapkan melalui bahasa tersebut. Pendeknya, prestasi bangsa memiliki relasi positif dengan penguatan bangsa. Sebaliknya, bangsa yang mundur dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan bahasanya.

Malu aku

Tidak aneh jika Taufiq Ismail menyatakan ”Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Ismail menyaksikan penguasa yang bertindak sewenang-wenang, tidak adil, menculik, dan pidana korupsi. Karena itu, penyair itu membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain yang sudah melesat jauh sehingga dia ”tidak berani berjalan tegak”. Setelah puisi-puisinya dalam Tirani dan Benteng yang membakar para pemuda pada 1966 kini puisi Taufiq Ismail telah menjadi potret suram generasi masa kini.

Taufiq Ismail boleh saja malu, tetapi para penyelenggara negeri ini tidak pernah merasa malu sebab martabat bangsa hanya menjadi permainan kata. Dalam sajak ”Telur” karya Zawawi Imron dikatakan, dubur ayam yang mengeluarkan telur lebih mulia ketimbang mulut yang menjanjikan telur. Ungkapan puitis itu telah menjadi potret atas rendahnya martabat para penyelenggara negara.

Bila direfleksikan pada kenyataan sekarang ini, banyak kaum elite yang mengungkapkan ”kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran”, tetapi tidak pernah ada buktinya. Bahasa Indonesia hanya menjadi bahasa slogan dalam praktik-praktik meraih kekuasaan sebagaimana terlihat dalam iklan di media massa.

Ungkapan kaum elite menjadi bagian dari ekspresi untuk menyembunyikan fakta. Sebagai contoh, ungkapan ”Adalah 2000 persen fitnah jika saya dekat dengan Bunda Putri” itu seakan-akan dapat diartikan bahwa penutur tidak kenal, apalagi dekat dengan orang tersebut. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak bisa dikatakan benar sampai memperoleh pembuktian yang memadai. Kenyataannya, istilah ”fitnah” hanya berhenti sebagai respons temporer dan tidak berlanjut dalam mekanisme formal sebagai upaya pencarian kebenaran.


Atas nama kekuasaan, para penutur menyembunyikan diri dari permainan bahasa, slogan-slogan, dan diksi-diksi yang ambigu. Jadi, pendeknya, penguatan bahasa Indonesia haruslah dimulai dari upaya menjadikan bahasa Indonesia sebagai media ungkap untuk sebuah kejujuran, jiwa keberanian, dan bukan sebaliknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar