|
Sejarah 28 Oktober 1928 adalah
bagian dari the culture of the mind (kebudayaan
alam pikiran) menjawab pertanyaan mendasar yang dinyatakan terpelajar awal
Abdul Rivai pada awal abad ke-20: “Siapakah
diriku sebagai bangsa?”
Secara gampangan pada awalnya pertanyaan atau mungkin lebih tepat kegelisahan itu lahir dari usaha sistematis kolonialisme Belanda yang dirasakan sebagai rezim greedy alias rakus karena tidak cukup puas hanya dengan mengangkangi wilayah juga kekayaan alam. Lebih jauh juga ingin menguasai pikiran kaum pribumi dengan menyandangkan kepada mereka status inferior, kerendahan martabat, dan penghapusan identitas.
Pendek kata, ada usaha di antara terpelajar sebagai minoritas kreatif untuk membuat suatu counter-ideology alias kontraideologi terhadap kolonialisme. Otomatis sejak awal abad ke- 20 itu kolonialisme menghadapi fenomena historis social movement (gerakan sosial) yang berorientasi pada tujuan untuk membangun sebuah negara-bangsa. Lantaran tujuan yang hendak dicapai tidak lain adalah komunitas politik, tidak mengherankan apabila sering bersifat radikalistik, bahkan menjadi revolusioner. Ironisnya sejarah radikalistik, bahkan revolusioner yang melekat pada 28 Oktober 1928 pelan-pelan dihilangkan. Mengapa?
Peristiwa 28 Oktober 1928 salah satu medium identifikasi peran pemuda. Bahkan medium mengonsolidasikan mitos peran pemuda. Perlu diketahui bahwa semula perayaan peringatan 28 Oktober 1928 sebagai Perayaan Nasional bukanlah peringatan yang kini dikenal sebagai “Sumpah Pemuda”.
Tetapi, peringatan “Hari Lahirnya Lagu Indonesia Raya”. Sukarno yang memulai dan memimpin upacaranya di Istana Presiden Yogyakarta pada 28 Oktober 1949. Katanya perlu dirayakan karena pada 28 Oktober 1928 itu saat pertama kali diperdengarkannya hymne nasional, Indonesia Raya, karya Wage Rudolf Soepratman di depan publik. Jadi tidak ada kaitannya dengan memuliakan apalagi memitoskan pemuda.
Meskipun istilah Sumpah Pemuda untuk menyebut peristiwa bersejarah 28 Oktober itu sudah diperkenalkan sejak 1930-an melalui surat kabar, tetapi baru dicomot dan menjadi sebutan yang ajek bagi hari nasional pada 1954. Pada perayaan Hari Sumpah Pemuda 1957 memang ada arakarakan pemuda, tetapi visinya lebih diarahkan untuk meyakini peristiwa ditemukannya identitas nasional.
Ini dianggap penting karena Sukarno ingin menggunakannya sebagai senjata ideologi menegur para dalang gerakan separatis yang marak mengancam keutuhan Indonesia pada pertengahan 1950-an. Mereka dianggap sebagai “orang-orang yang menyimpang dari sumpah 1928”. Mohammad Yamin bahkan menambahkannya dengan mengaitkan peristiwa 28 Oktober 1928 itu dengan visi Indonesia yang jauh lebih tua dan lebih besar. Kata “sumpah” pada Sumpah Pemuda disejajarkan secara historis dengan Sumpah Palapa oleh Gajahmada.
Dengan demikian, Yamin bukan saja ingin bicara tentang ruh Indonesia yang sudah ada jauh sebelum abad ke-20, tetapi juga mereka yang melakukan gerakan separatis telah melanggar tuahnya nenek moyang sebagai leluhur. Sampai dijatuhkan Sukarno pada 1965 via peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober), Sumpah Pemuda tidak identik dengan konsolidasi peran pemuda.
Mitos peran pemuda baru lahir dan dirayakan luar biasa dalam ingatan negara justru begitu Soeharto muncul sebagai kekuatan utama Indonesia menggantikan Sukarno. Mungkin gampangnya itu ada kaitannya dengan bagaimana Soeharto dan tentara Angkatan Darat mahasiswa sebagai kekuatan utamanya keberhasilan mereka mendongkel Sukarno. Tetapi, cobalah percaya meskipun peran pemuda dimitoskan dalam politik Indonesia masa Orde Baru via sebutan Angkatan 66, kenyataannya sangat aneh bahwa peran pemuda pada masa Soeharto sebenarnya menurun dan menjadi kecil.
Onghokham pernah menyatakan masa Sukarno negara mencoba menjadikan revolusi sebagai suatu lembaga permanen dan pemuda menjadi perhatian sebab diperlukan sebagai tenaga dan pengemban cita-cita. Dengan kata lain, ada saluranbagi energi orangmuda, terlepas dari apakah orang setuju atau tidak dengan saluran tersebut. Soeharto sebaliknya, menekankan stabilitas, tata tenteram, dan kontinuitas. Nilai-nilainya lain. Lebih-lebih Orde Baru bertata susun agak ketat dengan penekanan pada hierarki militer, hierarki birokrasi, dan teknokrat sebagai ahli-ahli yang berperan.
Nah, pemuda dalam konteks itu tidak memiliki tempat dalam hierarki mana pun. Mereka belum dianggap memilik keahlian apa pun. Pemuda ditempatkan dalam konsepsi ngenger atau nyawita (magang atau menghamba) di mana promosi tidak didasarkan atas prestasi atau bakat, tetapi kepercayaan sang atasan atau guru dan bapak. Dalam situasi itu kepercayaan kepada pemuda bergantung pada kedekatan etnis, kedekatan genealogis alias koncoisme dan keluargaisme, kedekatan pemikiran bahwa konsep dan nilai-nilainya sewarna.
Keith Foulcher yang khusus meriset sejarah peringatan demi peringatan Sumpah Pemuda menyatakan ide kejawaan atas pemuda itu memang terasakan saban perayaan 28 Oktober 1928 masa Orde Baru. Ia mengutip satu tema resmi Sumpah Pemuda dari Sekretariat Negara masa Orde Baru pada 1980-an: “Dengan Sumpah Pemuda, kita tingkatkan disiplin dan kualitas Generasi Muda Indonesia untuk memantapkan kerangka landasan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila”.
Kalaupun berbeda, hanya variasi kalimatnya saja yang berubah. Tetapi itulah kata-kata kunci yang mendefinisikan penekanan ideologi Orde Baru terletak pada disiplin, stabilitas, dan pembangunan. Inti dari formulasi ini adalah kata kerja “memantapkan’ dalam arti membuat jadi stabil. Ini kata yang tidak pernah muncul dalam kamus politik Sukarno. Dan kata jelas mewakili sifat konservatif dan kejawaan yang memang sejak 1980-an ditekankan sebagai ciri khusus Orde Baru.
Adalah menarik pada saat bersamaan, mengutip riset sejarah Een kole hoofd en een warm hart karya Hans Van Miert, ada pembengkokan sejarah pergerakan secara ganda dalam penulisan sejarah Indonesia. Pembengkokan itu terjadi pada karya-karya peneliti asing, tetapi yang lebih hebat terjadi juga dalam kanon sejarah Indonesia sendiri yang menjadi sumber penulisan sejarah untuk khalayak ramai orang Indonesia untuk para guru.
Pembengkokan ini maksudnya pemberian perhatian berlebihan kepada gerakan nasionalis radikal dan nasionalis nonkoperatif yang dianggap lebih memainkan peran sejarah. Dalam konteks itu dilupakanlah bahwa kata jong yang digunakan bukan tanda provinsi, konservatif tetapi identifikasi anggota muda Boedi Oetomo yang kritis dan menganut kebijakan progresif.
Istilah yang diadopsi dari istilah “Turki Muda”, gerakan reformasi yang lahir di Kesultanan Ottoman paruh kedua abad ke-19 itu kemudian diikuti oleh pemuda-pemuda lain yang menolak konservatisme dan otokartisme. Tidak diingat lagi betapa pada pembukaan Kongres Pemuda pada 27 Oktober 1928 itu panitianya membacakan surat sambutan dari semua unsur gerakan radikal yang diwakili oleh surat Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka.
Termasuk betapa sepanjang kongres pengunaan kata merdeka oleh tokoh-tokoh yang memberikan ceramah bikin berang polisi kolonial yang hadir. Belum lagi terkait spontanitas untuk mengizinkan WR Supratman membawakan lagu Indonesia Raya yang meskipun hanya boleh dengan biola tanpa syairnya karena dianggap menghasut. Demikianlah dari peristiwa 28 Oktober 1928 bukan saja putusan kongresnya yangdiselewengkan— terutama butir ketiga—tetapi juga the culture of the mind (kebudayaan alam pikiran) pemuda pesertanya yang sejatinya diliputi sikap radikalistik, bahkan revolusioner.
Nilai ini tentu penting diingatkan, apalagi mengingat betapa kini ketika rakyat bosan oleh kemandekan kebusukan, di mana idealisme lenyap. Rakyat harus puas hanya dengan sejenis pemuda zaman revolusi yang sohor disebut “Pemuda Ponggol”, ia tergugah bergerak sebab ada pamrih nasi ponggol dari dapur umum. Juga “pemuda-pemudaan” yang terlalu pengecut untuk memaksa “bapak” bertindak sesuai keinginan mereka seperti sejatinya pemuda.
Jenis jinak, tak menggugah yang disebut Saya Shiraishi dalam Indonesia Family in Politics sebagai hasil ternak kekuasaan, susuan bapakisme. Muda secara fisik, tapi berpikir juga bermoral dekaden sebagaimana bapak-bapak. ●
Secara gampangan pada awalnya pertanyaan atau mungkin lebih tepat kegelisahan itu lahir dari usaha sistematis kolonialisme Belanda yang dirasakan sebagai rezim greedy alias rakus karena tidak cukup puas hanya dengan mengangkangi wilayah juga kekayaan alam. Lebih jauh juga ingin menguasai pikiran kaum pribumi dengan menyandangkan kepada mereka status inferior, kerendahan martabat, dan penghapusan identitas.
Pendek kata, ada usaha di antara terpelajar sebagai minoritas kreatif untuk membuat suatu counter-ideology alias kontraideologi terhadap kolonialisme. Otomatis sejak awal abad ke- 20 itu kolonialisme menghadapi fenomena historis social movement (gerakan sosial) yang berorientasi pada tujuan untuk membangun sebuah negara-bangsa. Lantaran tujuan yang hendak dicapai tidak lain adalah komunitas politik, tidak mengherankan apabila sering bersifat radikalistik, bahkan menjadi revolusioner. Ironisnya sejarah radikalistik, bahkan revolusioner yang melekat pada 28 Oktober 1928 pelan-pelan dihilangkan. Mengapa?
Peristiwa 28 Oktober 1928 salah satu medium identifikasi peran pemuda. Bahkan medium mengonsolidasikan mitos peran pemuda. Perlu diketahui bahwa semula perayaan peringatan 28 Oktober 1928 sebagai Perayaan Nasional bukanlah peringatan yang kini dikenal sebagai “Sumpah Pemuda”.
Tetapi, peringatan “Hari Lahirnya Lagu Indonesia Raya”. Sukarno yang memulai dan memimpin upacaranya di Istana Presiden Yogyakarta pada 28 Oktober 1949. Katanya perlu dirayakan karena pada 28 Oktober 1928 itu saat pertama kali diperdengarkannya hymne nasional, Indonesia Raya, karya Wage Rudolf Soepratman di depan publik. Jadi tidak ada kaitannya dengan memuliakan apalagi memitoskan pemuda.
Meskipun istilah Sumpah Pemuda untuk menyebut peristiwa bersejarah 28 Oktober itu sudah diperkenalkan sejak 1930-an melalui surat kabar, tetapi baru dicomot dan menjadi sebutan yang ajek bagi hari nasional pada 1954. Pada perayaan Hari Sumpah Pemuda 1957 memang ada arakarakan pemuda, tetapi visinya lebih diarahkan untuk meyakini peristiwa ditemukannya identitas nasional.
Ini dianggap penting karena Sukarno ingin menggunakannya sebagai senjata ideologi menegur para dalang gerakan separatis yang marak mengancam keutuhan Indonesia pada pertengahan 1950-an. Mereka dianggap sebagai “orang-orang yang menyimpang dari sumpah 1928”. Mohammad Yamin bahkan menambahkannya dengan mengaitkan peristiwa 28 Oktober 1928 itu dengan visi Indonesia yang jauh lebih tua dan lebih besar. Kata “sumpah” pada Sumpah Pemuda disejajarkan secara historis dengan Sumpah Palapa oleh Gajahmada.
Dengan demikian, Yamin bukan saja ingin bicara tentang ruh Indonesia yang sudah ada jauh sebelum abad ke-20, tetapi juga mereka yang melakukan gerakan separatis telah melanggar tuahnya nenek moyang sebagai leluhur. Sampai dijatuhkan Sukarno pada 1965 via peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober), Sumpah Pemuda tidak identik dengan konsolidasi peran pemuda.
Mitos peran pemuda baru lahir dan dirayakan luar biasa dalam ingatan negara justru begitu Soeharto muncul sebagai kekuatan utama Indonesia menggantikan Sukarno. Mungkin gampangnya itu ada kaitannya dengan bagaimana Soeharto dan tentara Angkatan Darat mahasiswa sebagai kekuatan utamanya keberhasilan mereka mendongkel Sukarno. Tetapi, cobalah percaya meskipun peran pemuda dimitoskan dalam politik Indonesia masa Orde Baru via sebutan Angkatan 66, kenyataannya sangat aneh bahwa peran pemuda pada masa Soeharto sebenarnya menurun dan menjadi kecil.
Onghokham pernah menyatakan masa Sukarno negara mencoba menjadikan revolusi sebagai suatu lembaga permanen dan pemuda menjadi perhatian sebab diperlukan sebagai tenaga dan pengemban cita-cita. Dengan kata lain, ada saluranbagi energi orangmuda, terlepas dari apakah orang setuju atau tidak dengan saluran tersebut. Soeharto sebaliknya, menekankan stabilitas, tata tenteram, dan kontinuitas. Nilai-nilainya lain. Lebih-lebih Orde Baru bertata susun agak ketat dengan penekanan pada hierarki militer, hierarki birokrasi, dan teknokrat sebagai ahli-ahli yang berperan.
Nah, pemuda dalam konteks itu tidak memiliki tempat dalam hierarki mana pun. Mereka belum dianggap memilik keahlian apa pun. Pemuda ditempatkan dalam konsepsi ngenger atau nyawita (magang atau menghamba) di mana promosi tidak didasarkan atas prestasi atau bakat, tetapi kepercayaan sang atasan atau guru dan bapak. Dalam situasi itu kepercayaan kepada pemuda bergantung pada kedekatan etnis, kedekatan genealogis alias koncoisme dan keluargaisme, kedekatan pemikiran bahwa konsep dan nilai-nilainya sewarna.
Keith Foulcher yang khusus meriset sejarah peringatan demi peringatan Sumpah Pemuda menyatakan ide kejawaan atas pemuda itu memang terasakan saban perayaan 28 Oktober 1928 masa Orde Baru. Ia mengutip satu tema resmi Sumpah Pemuda dari Sekretariat Negara masa Orde Baru pada 1980-an: “Dengan Sumpah Pemuda, kita tingkatkan disiplin dan kualitas Generasi Muda Indonesia untuk memantapkan kerangka landasan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila”.
Kalaupun berbeda, hanya variasi kalimatnya saja yang berubah. Tetapi itulah kata-kata kunci yang mendefinisikan penekanan ideologi Orde Baru terletak pada disiplin, stabilitas, dan pembangunan. Inti dari formulasi ini adalah kata kerja “memantapkan’ dalam arti membuat jadi stabil. Ini kata yang tidak pernah muncul dalam kamus politik Sukarno. Dan kata jelas mewakili sifat konservatif dan kejawaan yang memang sejak 1980-an ditekankan sebagai ciri khusus Orde Baru.
Adalah menarik pada saat bersamaan, mengutip riset sejarah Een kole hoofd en een warm hart karya Hans Van Miert, ada pembengkokan sejarah pergerakan secara ganda dalam penulisan sejarah Indonesia. Pembengkokan itu terjadi pada karya-karya peneliti asing, tetapi yang lebih hebat terjadi juga dalam kanon sejarah Indonesia sendiri yang menjadi sumber penulisan sejarah untuk khalayak ramai orang Indonesia untuk para guru.
Pembengkokan ini maksudnya pemberian perhatian berlebihan kepada gerakan nasionalis radikal dan nasionalis nonkoperatif yang dianggap lebih memainkan peran sejarah. Dalam konteks itu dilupakanlah bahwa kata jong yang digunakan bukan tanda provinsi, konservatif tetapi identifikasi anggota muda Boedi Oetomo yang kritis dan menganut kebijakan progresif.
Istilah yang diadopsi dari istilah “Turki Muda”, gerakan reformasi yang lahir di Kesultanan Ottoman paruh kedua abad ke-19 itu kemudian diikuti oleh pemuda-pemuda lain yang menolak konservatisme dan otokartisme. Tidak diingat lagi betapa pada pembukaan Kongres Pemuda pada 27 Oktober 1928 itu panitianya membacakan surat sambutan dari semua unsur gerakan radikal yang diwakili oleh surat Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka.
Termasuk betapa sepanjang kongres pengunaan kata merdeka oleh tokoh-tokoh yang memberikan ceramah bikin berang polisi kolonial yang hadir. Belum lagi terkait spontanitas untuk mengizinkan WR Supratman membawakan lagu Indonesia Raya yang meskipun hanya boleh dengan biola tanpa syairnya karena dianggap menghasut. Demikianlah dari peristiwa 28 Oktober 1928 bukan saja putusan kongresnya yangdiselewengkan— terutama butir ketiga—tetapi juga the culture of the mind (kebudayaan alam pikiran) pemuda pesertanya yang sejatinya diliputi sikap radikalistik, bahkan revolusioner.
Nilai ini tentu penting diingatkan, apalagi mengingat betapa kini ketika rakyat bosan oleh kemandekan kebusukan, di mana idealisme lenyap. Rakyat harus puas hanya dengan sejenis pemuda zaman revolusi yang sohor disebut “Pemuda Ponggol”, ia tergugah bergerak sebab ada pamrih nasi ponggol dari dapur umum. Juga “pemuda-pemudaan” yang terlalu pengecut untuk memaksa “bapak” bertindak sesuai keinginan mereka seperti sejatinya pemuda.
Jenis jinak, tak menggugah yang disebut Saya Shiraishi dalam Indonesia Family in Politics sebagai hasil ternak kekuasaan, susuan bapakisme. Muda secara fisik, tapi berpikir juga bermoral dekaden sebagaimana bapak-bapak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar