|
NYATALAH adagium ”Mens
Sana in Corpore Sano”, ungkapan terkenal Bahasa Latin yang sering
diterjemahkan menjadi ”A Healthy Mind in
a Healthy Body” (”Di Dalam Tubuh yang
Sehat Terdapat Jiwa yang Kuat”) makin rontok setelah diuji oleh lamanya
waktu. Di negara kita mayoritas pelaku tindak pidana, khususnya korupsi, adalah
orang yang secara jasmani sehat. Bahkan ketika tampil di media, bisa seperti
selebriti.
Tak ada korelasi sebab-akibat untuk urusan jasmani
dengan jiwa. Banyak orang yang secara fisik mengalami kekurangan tetapi
kesaksian hidupnya banyak melakukan perbuatan mulia. Thomas Alfa Edison, sampai
usianya yang ke-84, mematenkan lebih dari 1.000 karya penemuannya. Padahal dia
lemah dalam pendengaran. Juga motivator kelas dunia, yang memiliki keterbatasan
fisik pada kaki dan tangan, Nick Vujicic, yang kehadirannya dirindukan banyak
orang.
Untuk menjadi koruptor, tak perlu menanti sakit atau
cacat tubuh. Karena justru dengan badan sehat, pelaku bisa lincah lari ke
sana ke mari untuk bertransaksi. Kegeraman masyarakat terhadap koruptor
paling tidak terwakili ketika Akil Mochtar di hadapan beberapa pekerja pers
(12/3/12) menyampaikan, ”Miskinkan
koruptor dan potong jari tangannya!”
Tiga Area
Kita perlu mewaspadai tiga areal yang memungkinkan
terjadinya korupsi. Pertama; kemampuan. Hanya orang yang memiliki
kekuasaan/wewenang yang bisa menyimpangkan aturan (power tends to corrupt). Jika berada pada posisi pemegang kekuasaan,
waspadalah karena Anda termasuk sasaran empuk virus korupsi. Tak ada orang yang
imun terhadap serbuan dari virus ini jika dia tidak memberi dirinya
antibodi yang baik.
Kedua; kemauan. Meskipun orang memiliki kekuasaan,
kesempatan untuk korupsi, tapi bila ia tak mau melakukan, tidak akan terjadi
peristiwa korupsi. Masih banyak orang yang memegang tampuk kekuasaan lokal dan
nasional bisa tetap bekerja dengan jujur dan rajin. Godaan materialisme
tidak membuatnya lupa diri.
Ketiga; rasa malu. Secara sosiologis inilah benteng
terakhir untuk membendung tsunami gelombang korupsi. Di tengah erosi budaya
malu bagi para petinggi, terekspresi tetap percaya diri saat tampil di banyak
media ketika tertangkap atau setelah duduk di kursi pesakitan, saat ini merupakan
tugas kita masing-masing untuk menata ulang puing-puing rasa malu.
Bila kekuasaan berada di tangan kita, artinya kita
punya kemampuan untuk korup dan pada saat yang sama pun tergoda (kemauan)
menerima uang yang bukan hak kita, tiba-tiba roh rasa malu memantik hati untuk
tidak melanjutkan. Pada zaman online seperti saat ini, hukuman kepada koruptor
(yang tertangkap) sangatlah berat. Ketika tertangkap tangan, ia langsung
ditayangkan di televisi atau media online. Posisi terhormat sebagai pemegang
kekuasaan langsung runtuh. Harusnya rasa malu kepada rekan kerja, tetangga, dan
keluarga besar sangat menekan pelaku tindak pidana ini.
Tekanan-tekanan hidup kepada koruptor tidak hanya
terhadap dirinya tapi juga pada istri/suami, dan anak. Itu berarti lingkungan pergaulan
keluarga (pekerjaan, di tempat ibadah, di sekolah atau masyarakat) seakan-akan
mendera tiada henti. Label sebagai koruptor, istri/suami koruptor, atau anak
koruptor, sulit dihapuskan dari lingkungan sekitar.
Bahkan yang sulit diukur adalah hukuman dari media
massa. Teringat ucapan Arswendo Atmowiloto, saat tersandung kasus Tabloid
Monitor tahun 1990-an. Dia yang juga wartawan senior tahu benar detak jantung
pers, saat itu dia berujar, ”Saya
ngeri. Betapa tajamnya pena wartawan. Judul ‘Arswendo Diseret ke Pengadilan’
saja sungguh sangat menekan saya.”
Pelindung
Sejati
Belum hukuman formal yang diketokkan hakim. Bayangkan
semula menjadi raja kecil di lingkungannya, selalu dilayani, kini jadi warga
binaan di lembaga pema0syarakatan. Sesungguhnya hukuman bagi koruptor sangat
berat jika mereka semua masih memiliki urat malu. Apalagi bila imbauan Akil
Mochtar itu diterapkan.
Kepada siapakah koruptor berlindung ketika semua sudah
terbongkar? Sulit mencari pelindung sejati. Justru teman-teman baik akan pergi,
minimal enggan mendekat, takut kalau-kalau ikut terjerat. Sebuah kisah
klasik bertutur, suatu saat guru yang bijak tiba di sebuah kampung. Dia
didatangi beberapa orang yang membawa seorang perempuan yang tertangkap tangan
berzinah. ”Guru, apa yang harus kita
lakukan kepadanya?”
Sang guru menulis dengan jari ke tanah dan berkata, ”Barang siapa di antara kamu tidak berdosa,
hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini.” Apa yang
terjadi? Pergilah mereka satu per satu meninggalkan kerumunan dan perempuan
itu. Tidak ada penghukuman terhadap perempuan itu.
Kisah ini menjadi menarik bukan hanya mengungkap
perlindungan kepada sosok perempuan (karena tiap terjadi perzinahan tentu ada
dua orang lawan jenis), melainkan juga ucapan guru itu kepadanya, ”Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah
dan jangan mengulangi lagi!”
Apa korelasi kisah itu dengan pertanyaan ”kepada siapa koruptor berlindung”? Jelas koruptor tidak bisa lepas
dari jerat hukum. Hadapilah sebagai seorang kesatria yang menerima tiap
konsekuensi tindakan. Tetapi tetaplah berlindung kepada Tuhan, Pencipta dan
Pemelihara seluruh kehidupan. ”Pergilah
(dari perilaku korup) dan jangan mengulangi lagi!” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar