|
Dalam
tinjauan moral dan hukum, korupsi dan segala variannya adalah praktik yang
harus ditolak dalam politik yang sehat dan demokratis. Namun, secara sosiologis
meluasnya korupsi membawa suatu akibat yang menguntungkan bagi tegaknya public
good governance karena bersama dengan terungkapnya kasus korupsi-korupsi besar,
tersingkap juga berbagai konspirasi politik dalam bentuk nepotisme yang pada
giliran berikutnya melahirkan kroniisme.
Ada persamaan dan perbedaan di
antara nepotisme dan kroniisme sebagai praktik dalam birokrasi. Dua praktik itu
mempunyai kesamaan bahwa penempatan seseorang dalam birokrasi tidak didasarkan
pada kompetensi teknis, tetapi pada faktor-faktor nonteknis. Bedanya, dalam
nepotisme, posisi dalam birokrasi ditentukan oleh hubungan kekeluargaan dan
kekerabatan, sedangkan dalam kroniisme posisi itu ditentukan oleh hubungan
perkoncoan. Dinasti politik merupakan gejala nepotisme, yang dalam
perkembangannya akan menciptakan kroniisme.
Dalam organisasi yang baik,
nepotisme dianggap sebagai praktik yang menyimpang. Namun, mengapa menyimpang?
Ada pertanyaan kritis menyangkut soal ini yang patut mendapat perhatian. Apa
dasarnya bahwa kalau saya menjadi gubernur, saudara-saudara saya tidak boleh
bekerja dalam kantor gubernur, sekalipun mereka terbukti sanggup? Kalau mereka
sudah melewati semua tes seleksi dengan benar dan lulus tes tersebut, mengapa
mereka tak boleh mendapat pekerjaan dan posisi yang mereka kehendaki?
Melarang
mereka bekerja dalam kantor gubernur hanya karena mereka adalah sanak dan
kerabat gubernur, bukankah itu suatu diskriminasi? Selayaknya mereka diterima
bekerja sampai terbukti bahwa hubungan kekeluargaannya dengan gubernur membuat
mereka melakukan penyimpangan dalam tugas, atau tidak bekerja efektif
sebagaimana dituntut oleh tugasnya.
Kiranya jelas bahwa argumen seperti
itu didasarkan pada asas nondiskriminasi dan asas praduga tak bersalah. Kita
tahu juga bahwa praduga tak bersalah adalah asas yang berlaku dalam pengadilan.
Namun, birokrasi pemerintahan dan manajemen organisasi bukanlah pengadilan. Di
sini yang perlu dilakukan adalah mencegah kemungkinan dan memperkecil
kesempatan untuk melakukan penyimpangan. Dengan demikian, yang harus berlaku
dalam organisasi dan manajemen bukanlah asaspresumption of innocence atau
praduga tak bersalah, tetapi asas presumption of fallibility atau
praduga tentang kemungkinan jatuhnya seseorang dalam kelemahan dan kesalahan
karena ketiadaan kontrol. Seorang bos di kantor sebaiknya memercayai semua
stafnya. Namun tak berarti lemari besi yang berisi uang kantor boleh dibiarkan
tidak terkunci karena sangat besar kemungkinan uang itu menimbulkan godaan
untuk diambil.
Rupanya ini juga pertimbangannya
mengapa suami-istri tidak diperbolehkan bekerja dalam kantor bank yang sama
karena diandaikan bahwa hubungan yang amat dekat antara suami dan istri akan mempersulit
terjaganya kerahasiaan bank, yang dapat merugikan kepentingan nasabah serta
merugikan reputasi dan kredibilitas bank tersebut. Kalau salah satu dari
pasangan suami-istri itu ditolak oleh bank untuk bekerja di bank itu, walaupun
yang bersangkutan sudah lulus tes seleksi dengan baik, kebijakan ini bukanlah
suatu tindakan diskriminatif, tetapi tindakan preventif untuk mencegah
pelanggaran kerahasiaan bank, yang besar kemungkinan akan terjadi, kalau ada
hubungan personal yang terlalu dekat di antara karyawan seperti antara suami
dan istri. Dalam hal ini, kalau harus ditunggu dulu sampai ada bukti terjadinya
pelanggaran kerahasiaan bank, maka situasinya sudah terlambat, dan baik bank
maupun nasabah sudah telanjur dirugikan.
Selain itu, cukup terbukti dalam
beberapa kasus di Indonesia bahwa hubungan yang terikat oleh faktor
kekeluargaan cenderung menjadi tertutup dan eksklusif, terutama apabila para
kerabat itu sudah terlibat dalam penyelewengan dan pelanggaran hukum.
Ketertutupan itu mempersulit transparansi dan akuntabilitas. Juga menjadi
penghambat bagi monitoring dan pengawasan. Akibatnya, penyelewengan
dan pelanggaran hukum yang terjadi akan terus menumpuk dari waktu ke waktu, dan
merugikan kepentingan publik secara akumulatif.
Memperlemah birokrasi
Contoh ini memperlihatkan bahwa
asas presumption of innocence tidak
selalu tepat diterapkan di luar pengadilan, seperti juga asas presumption of fallibility tidak
akan dibenarkan diterapkan di pengadilan. Di sini kita bisa berkata bahwa
kebijaksanaan tercapai kalau kita berpegang pada asas right principle in the right place atau asas yang benar harus
diterapkan di tempat yang benar. Inilah pertimbangan utama bahwa nepotisme
dianggap praktik yang merugikan birokrasi dan manajemen karena hadirnya terlalu
banyak kaum kerabat dalam birokrasi akan memperlemah sifat birokrasi yang
seharusnya impersonal.
Kita tahu pemerintahan dan birokrasi pemerintahan adalah
lembaga publik, yang harus bertanggung jawab atas kepentingan umum melalui
kebijakan-kebijakan publik. Karena itu, sifat publik dari jabatan-jabatan
pemerintahan perlu dijaga agar tidak dipersulit oleh hubungan-hubungan yang
terlalu personal, yang menjadi ciri pemerintahan patrimonial zaman baheula.
Kroniisme juga kadang kala dibela
dengan jalan pikiran yang sama. Argumennya, kalau kita memulai suatu usaha,
lebih baik memulainya bersama orang-orang yang sudah kita kenal, atau dengan
teman-teman yang sudah saling tahu, daripada langsung mengajak orang-orang yang
baru saja dijumpai dalam wawancara untuk perekrutan staf. Orang-orang yang
sudah dikenal dan teman-teman dekat lebih mudah diramalkan perilakunya, dapat
diperkirakan reaksinya dalam menerima usul atau suatu rencana kerja.
Hal-hal ini lebih sulit kalau kita
langsung bekerja dengan orang-orang baru karena belum ada pegangan tentang
bagaimana mengantisipasi sikap mereka terhadap teguran, peringatan, atau
disiplin kantor yang hendak diterapkan. Di sini kita berhadapan dengan tingkat
ketidakpastian yang terlalu tinggi, yang akan menyulitkan proses pengambilan keputusan
dan menghambat juga implementasi keputusan yang sudah diambil.
Sebaiknya diperjelas di sini bahwa
sekelompok orang dengan semangat yang sama dan visi yang sama memang lebih
mudah menjalankan suatu usaha bersama, seperti mendirikan koran atau majalah,
membangun sekolah, perguruan tinggi, mengelola sebuah klub sepak bola yang
profesional, atau membangun sebuah perusahaan bisnis. Dalam situasi semacam
itu, orang-orang yang saling mengenal ini tidak dapat dinamakan kroni, tetapi
rekan kerja yang kompak yang dipersatukan oleh suatu komitmen yang sama.
Perbedaan di antara teamwork dengan
kroniisme ialah bahwa yang pertama bekerja untuk kepentingan usaha bersama
dengan SOP yang jelas, sedangkan yang kedua bekerja untuk kepentingan dan
keuntungan sekelompok orang dalam usaha bersama itu, berdasarkan favoritisme
pemimpin kelompok. Kroniisme baru terjadi kalau segelintir orang dari mereka
yang telah memulai usaha bersama mendapat dan menikmati keuntungan khusus yang
tidak dibagikan kepada rekan-rekan lainnya. Dengan demikian, kroniisme selalu
berdiri di atas suatu in-group yang
menutup diri dari mereka yang tidak termasuk dalam kelompoknya, dan tidak
memperjuangkan kepentingan bersama, tetapi membela suatu egoisme kelompok
secara eksklusif.
Dalam politik, kroniisme seperti
ini tidak saja menguasai sumber daya ekonomi, tetapi juga sumber daya politik
yang berhubungan dengan akses kepada sumber daya ekonomi, dan cenderung
berkembang menjadi suatu oligarki dalam pemerintahan. Memang, setiap oligarki
selalu dapat berdalih bahwa meskipun kekuasaan ekonomi dan politik hanya ada
pada beberapa orang, mereka tetap saja bekerja untuk kepentingan rakyat dan
memperjuangkan kemajuan umum. Dalih seperti ini, seandainya pun benar terwujud
dalam kenyataan (suatu yang hampir tak mungkin terjadi), secara prinsipiil
tidak dapat diterima asas demokrasi. Karena rakyat tidak cukup hanya dijadikan
obyek kebaikan dan kemurahan hati melalui kerja yang dilaksanakan ”untuk
rakyat”. Prinsip demokrasi menetapkan bahwa rakyat adalah subyek kekuasaan
politik dalam pemerintahan, malah subyek yang terpenting, dan hal ini harus
diperlihatkan dalam pemerintahan ”dari rakyat” dan ”oleh rakyat” dan bukan saja
dalam pemerintahan ”untuk rakyat”.
Dalam pelaksanaan demokrasi
Indonesia saat ini, dapat disaksikan bahwa asas ”dari rakyat” dan ”oleh rakyat”
lebih sering disimulasikan dalam demokrasi prosedural melalui
institusi-institusi politik, sementara pemerintahan ”untuk rakyat” cenderung
diabaikan, khususnya melalui nepotisme dan kroniisme dalam politik.
Beberapa ahli hukum mengatakan
bahwa kita sulit mengambil langkah-langkah untuk menentang praktik nepotisme
saat ini karena belum ada undang-undang yang melarang praktik nepotisme. Pada
hemat saya, keberatan semacam ini tidak mengimplikasikan bahwa nepotisme tidak
bisa ditentang, tetapi justru menunjukkan belum lengkapnya sistem hukum kita.
Legislasi yang mempersulit
Pengalaman politik dalam masa
pasca-Reformasi memberi beberapa contoh bahwa beberapa praktik yang tadinya
dilakukan secara meluas, seperti pemberian hadiah besar-besaran kepada seorang
atasan dalam birokrasi pada kesempatan tertentu (seperti pernikahan anaknya,
atau hari raya), lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya, karena tanpa sengaja
hadiah-hadiah itu berfungsi sebagai gratifikasi yang membuat orang yang
menerima tidak dapat bersikap correct dalam
jabatannya. Sekarang ini hal itu sudah sulit dilakukan karena sudah ada UU yang
melarang gratifikasi semacam itu. Nepotisme jelas merugikan kehidupan politik
dan praktik demokrasi karena beberapa kecenderungan dalam wataknya.
Sifat
eksklusif nepotisme mempersulit terciptanya tata kelola yang baik (good governance) karena kelompok
yang mempraktikkan nepotisme cenderung tertutup, serta tidak mudah dimonitor
dan diawasi. Ketertutupan itu sendiri sudah bertentangan dengan prinsip equal opportunity atau kesempatan
yang sama untuk melakukan partisipasi politik secara terbuka karena peran-peran
tertentu dalam pemerintahan sudah diblokir untuk anggota in-group yang menikmati hak-hak
istimewa.
Dengan tertutupnya partisipasi
politik untuk sebagian warga negara yang tidak termasuk dalam blok nepotisme,
baik birokrasi maupun politik Indonesia tidak akan mendapat tenaga-tenaga
terbaik dalam menjalankan tugas karena mereka sudah tersingkir secara alamiah
dari pola perekrutan yang berlangsung tertutup. Selain itu, nepotisme akan
terus berusaha melestarikan vested
interest kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan publik dan
kemajuan umum. Kekayaan yang ekstrem dari
sekelompok orang dan kemiskinan ekstrem dari banyak orang merupakan hal yang
tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun dalam suatu negara yang beradab. Mungkin sudah saatnya perlu disusun legislasi yang akan
mempersulit praktik nepotisme, kroniisme, dan dinasti politik dalam
pemerintahan karena ini langkah pertama yang efektif menuju keadilan dan
kesejahteraan rakyat, yang menjadi alasan satu-satunya bahwa ada, mengapa harus
ada, negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar