|
Pertanyaan pertama dalam dialog
perang melawan korupsi adalah apakah situasi Indonesia dalam pemberantasan
korupsi berada dalam keadaan perang atau damai (penegakan hukum)?
Jawaban yang tepat bahwa saat ini kita tengah berada dalam situasi perang, bukan penegakan hukum. Dari mana diketahui hal ini? Jawabannya dari cara KPK melakukan tugas dan wewenangnya yang luar biasa karena hasil penyelidikan KPK entah melalui sadapan atau rekaman pembicaraan atau karena laporan pengaduan masyarakat dengan cepat KPK dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Bagaimana dengan hak orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, dengan cepat KPK selalu mempersilakan menggunakan hak tersangka berdasarkan KUHAP, tapi hanya untuk tersangka, bukan saksi, dan kalau tersangka bertanya apa kesalahannya sehingga ia ditetapkan sebagai tersangka, KPK akan menjawab, silakan saja hak tersangka untuk bicara apa saja nanti dibuktikan di pengadilan.
Dalam hukum perang ada ketentuan yang disebut “just war” yaitu setiap negara boleh menyatakan perang terhadap negara lain asal dilakukan dengan jujur dan terbuka. Kedua, tidak boleh memerangi mereka yang disebut non-combatant (yang tidak ikut perang atau penduduk sipil) kecuali mereka yang disebut kombatan atau pelaku korupsi.
Analog dengan ketentuan hukum perang, apakah KPK telah melakukan semua ketentuan“ hukumperang”? Jawabannya belum karena dengan kewenangannya yang luar biasa tersebut KPK melalui operasi tertangkap tangan (OTT) terhadap siapa saja yang berada pada locus dan tempus delicti tertentu dan sering mengklaim seseorang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi, dan dengan UU TPPU juga ada orang lain (non-combatant) yang diduga terlibat (menikmati hasil) korupsi.
Pernyataan KPK sering tanpa ada keterbukaan penuh kepada publik mengenai bagaimana dan mengapanya, kecuali keterangan juru bicara KPK yang mengatakan bahwa hak tersangka untuk bicara apa saja, tetapi KPK telah menemukan bukti kuat yang nanti dibuktikan di pengadilan.
Semua perkara korupsi yang ditangani KPK merupakan keberhasilan yang patut diapresiasi tinggi. Semua itu karena menggunakan doktrin perang terhadap korupsi (war on corruption), bukan penegakan hukum terhadap korupsi (law enforcement against corruption).
Ini disebabkan memang desain UU KPK sejak awal adalah untuk memerangi korupsi, bukan untuk menegakkan hukum an sichterhadap korupsi. Pertanyaan berikutnya, lalu untuk apa semua hak pembelaan diri tersangka dan untuk apa ada pengadilan tipikor?
Jawabannya, hak membela diri adalah sesuai ketentuan KUHAP dan prinsip praduga tak bersalah. Tetapi, hak tersebut tidak ada artinya dalam perang terhadap korupsi karena yang utama adalah “musuh telah dilumpuhkan” dengan berbagai cara antara lain membuka aib tersangka kepada masyarakat luas jauh sebelum tersangka yang bersangkutan ditetapkan bersalah oleh pengadilan tipikor.
Pertanyaan berikut, untuk apa pengadilan tipikor jika halnya demikian. Pengadilan tipikor dibentuk sebagai wadah menuntaskan pemberantasan korupsi agar fokus dan diadili oleh hakim-hakim khusus memahami UU Korupsi. Dalam praktik beberapa hakim Majelis Pengadilan Tipikor justru bertindak sebagai “algojo” terhadap para terdakwa tipikor, bukan memeriksa dan mengadili berdasarkan ketentuan KUHAP dan keyakinan seyakin-yakinnya dalam perkara korupsi.
Ini terjadi karena, pertama, ada pra-anggapan pada mereka bahwa terdakwa korupsi yang dihadapkan KPK adalah 1000% benar dan 2000% tidak pernah tidak bersalah. Kedua, sejalan dengan hukum perang, jika kami tidak menembak duluan, kami akan menjadi korban duluan.
Siapa “musuh” majelis hakim pengadilan tipikor saat ini yaitu Komisi Yudisial dan sebagian terbesar masyarakat yang pro- KPK, didukung oleh pers bebas, dan siap untuk tunjuk hidung para hakim tipikor sebagai “pengkhianat” (negara) jika putusan bebas atau ringan. Jika hal itu yang terjadi, habislah karier mereka apalagi untuk promosi.
Dalam konteks dialog ini saya mengingat pernyataan George W Bush, mantan presiden AS ketika peristiwa pemboman Gedung WTC, “I know that some people question if America is really in a war at all. They view terrorism more as a crime, a problem to be solved mainly with law enforcement and indictments. …
But the matter was not settled. The terrorist were still training and plotting in other nations, and drawing up more ambitious plans. After the chaos and carnage of September the 11h, it is not enough to serve our enemies with legal papers. The terrorist and their supporters declared war on the United States, and war is what they got”.
Coba terjemahkan pernyataan di atas dengan mengganti kalimat teroris dengan koruptor, dan perhatikan kalimat, “it is not enough to serve our enemies (corruptors, sic) with legal papers”. Sejalan dengan bunyi pernyataan Bush terhadap terorisme, kondisi situasi korupsi saat ini sama dengan perang melawan terorisme di mana tujuan menghalalkan cara, yang sejatinya dilarang dalam proses penegakan hukum dan bertentangan secara diametral dengan prinsip “due process of law”.
Dalam praktik peradilan tipikor, hampir 90% nota pembelaan tidak diperhatikan apalagi dipertimbangkan sungguhsungguh oleh majelis hakim tipikor. Hakim pengadilan tipikor tidak pernah bertanya pada jaksa KPK bagaimana semua barang bukti dan alat bukti diperoleh dalam penyidikan dan juga 99,99% penasihat hukum tidak pernah bertanya mengenai hal tersebut, apalagi mengajukan eksepsi yang memadai dalam pembelaan mereka.
Akurasi fakta hasil penyadapan KPK, 1000% tidak terbantahkan apakah juga semuabuktilainjugamengandung persentase yang sama, belum sungguh-sungguh diuji secara materiil baik oleh hakim tipikor maupun oleh para penasihat hukum.
Jika kondisi peradilan sedemikian, tentu para ahli hukum yang masih memiliki nalar dan nurani yang jernih akan bertanya-tanya bahkan menyarankan tinjau ulang ketentuan hukum acara khusus untuk pemberantasan korupsi jika kedaulatan hukum akan ditegakkan atau biarkan keadaan perang terus berlanjut tanpa reserve. Qua vadis? ●
Jawaban yang tepat bahwa saat ini kita tengah berada dalam situasi perang, bukan penegakan hukum. Dari mana diketahui hal ini? Jawabannya dari cara KPK melakukan tugas dan wewenangnya yang luar biasa karena hasil penyelidikan KPK entah melalui sadapan atau rekaman pembicaraan atau karena laporan pengaduan masyarakat dengan cepat KPK dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Bagaimana dengan hak orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, dengan cepat KPK selalu mempersilakan menggunakan hak tersangka berdasarkan KUHAP, tapi hanya untuk tersangka, bukan saksi, dan kalau tersangka bertanya apa kesalahannya sehingga ia ditetapkan sebagai tersangka, KPK akan menjawab, silakan saja hak tersangka untuk bicara apa saja nanti dibuktikan di pengadilan.
Dalam hukum perang ada ketentuan yang disebut “just war” yaitu setiap negara boleh menyatakan perang terhadap negara lain asal dilakukan dengan jujur dan terbuka. Kedua, tidak boleh memerangi mereka yang disebut non-combatant (yang tidak ikut perang atau penduduk sipil) kecuali mereka yang disebut kombatan atau pelaku korupsi.
Analog dengan ketentuan hukum perang, apakah KPK telah melakukan semua ketentuan“ hukumperang”? Jawabannya belum karena dengan kewenangannya yang luar biasa tersebut KPK melalui operasi tertangkap tangan (OTT) terhadap siapa saja yang berada pada locus dan tempus delicti tertentu dan sering mengklaim seseorang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi, dan dengan UU TPPU juga ada orang lain (non-combatant) yang diduga terlibat (menikmati hasil) korupsi.
Pernyataan KPK sering tanpa ada keterbukaan penuh kepada publik mengenai bagaimana dan mengapanya, kecuali keterangan juru bicara KPK yang mengatakan bahwa hak tersangka untuk bicara apa saja, tetapi KPK telah menemukan bukti kuat yang nanti dibuktikan di pengadilan.
Semua perkara korupsi yang ditangani KPK merupakan keberhasilan yang patut diapresiasi tinggi. Semua itu karena menggunakan doktrin perang terhadap korupsi (war on corruption), bukan penegakan hukum terhadap korupsi (law enforcement against corruption).
Ini disebabkan memang desain UU KPK sejak awal adalah untuk memerangi korupsi, bukan untuk menegakkan hukum an sichterhadap korupsi. Pertanyaan berikutnya, lalu untuk apa semua hak pembelaan diri tersangka dan untuk apa ada pengadilan tipikor?
Jawabannya, hak membela diri adalah sesuai ketentuan KUHAP dan prinsip praduga tak bersalah. Tetapi, hak tersebut tidak ada artinya dalam perang terhadap korupsi karena yang utama adalah “musuh telah dilumpuhkan” dengan berbagai cara antara lain membuka aib tersangka kepada masyarakat luas jauh sebelum tersangka yang bersangkutan ditetapkan bersalah oleh pengadilan tipikor.
Pertanyaan berikut, untuk apa pengadilan tipikor jika halnya demikian. Pengadilan tipikor dibentuk sebagai wadah menuntaskan pemberantasan korupsi agar fokus dan diadili oleh hakim-hakim khusus memahami UU Korupsi. Dalam praktik beberapa hakim Majelis Pengadilan Tipikor justru bertindak sebagai “algojo” terhadap para terdakwa tipikor, bukan memeriksa dan mengadili berdasarkan ketentuan KUHAP dan keyakinan seyakin-yakinnya dalam perkara korupsi.
Ini terjadi karena, pertama, ada pra-anggapan pada mereka bahwa terdakwa korupsi yang dihadapkan KPK adalah 1000% benar dan 2000% tidak pernah tidak bersalah. Kedua, sejalan dengan hukum perang, jika kami tidak menembak duluan, kami akan menjadi korban duluan.
Siapa “musuh” majelis hakim pengadilan tipikor saat ini yaitu Komisi Yudisial dan sebagian terbesar masyarakat yang pro- KPK, didukung oleh pers bebas, dan siap untuk tunjuk hidung para hakim tipikor sebagai “pengkhianat” (negara) jika putusan bebas atau ringan. Jika hal itu yang terjadi, habislah karier mereka apalagi untuk promosi.
Dalam konteks dialog ini saya mengingat pernyataan George W Bush, mantan presiden AS ketika peristiwa pemboman Gedung WTC, “I know that some people question if America is really in a war at all. They view terrorism more as a crime, a problem to be solved mainly with law enforcement and indictments. …
But the matter was not settled. The terrorist were still training and plotting in other nations, and drawing up more ambitious plans. After the chaos and carnage of September the 11h, it is not enough to serve our enemies with legal papers. The terrorist and their supporters declared war on the United States, and war is what they got”.
Coba terjemahkan pernyataan di atas dengan mengganti kalimat teroris dengan koruptor, dan perhatikan kalimat, “it is not enough to serve our enemies (corruptors, sic) with legal papers”. Sejalan dengan bunyi pernyataan Bush terhadap terorisme, kondisi situasi korupsi saat ini sama dengan perang melawan terorisme di mana tujuan menghalalkan cara, yang sejatinya dilarang dalam proses penegakan hukum dan bertentangan secara diametral dengan prinsip “due process of law”.
Dalam praktik peradilan tipikor, hampir 90% nota pembelaan tidak diperhatikan apalagi dipertimbangkan sungguhsungguh oleh majelis hakim tipikor. Hakim pengadilan tipikor tidak pernah bertanya pada jaksa KPK bagaimana semua barang bukti dan alat bukti diperoleh dalam penyidikan dan juga 99,99% penasihat hukum tidak pernah bertanya mengenai hal tersebut, apalagi mengajukan eksepsi yang memadai dalam pembelaan mereka.
Akurasi fakta hasil penyadapan KPK, 1000% tidak terbantahkan apakah juga semuabuktilainjugamengandung persentase yang sama, belum sungguh-sungguh diuji secara materiil baik oleh hakim tipikor maupun oleh para penasihat hukum.
Jika kondisi peradilan sedemikian, tentu para ahli hukum yang masih memiliki nalar dan nurani yang jernih akan bertanya-tanya bahkan menyarankan tinjau ulang ketentuan hukum acara khusus untuk pemberantasan korupsi jika kedaulatan hukum akan ditegakkan atau biarkan keadaan perang terus berlanjut tanpa reserve. Qua vadis? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar