|
Jelang Pemilu 2014, DPR RI meluncurkan
iklan layanan masyarakat yang ditayangkan sejumlah stasiun televisi.
Fragmentasi gambar audio visual yang ditampilkan, mengisahkan tentang
kekecewaan publik atas kualitas legislatif hasil Pemilu 2009 lalu. Kekecewaan
yang bisa dipahami sebagai sebuah otokritik, bahwa kualitas legislatif yang
buruk itu ulah publik yang menjatuhkan pilihan karena uang (money politics).
Memilih lantaran mendapat uang itu merupakan laku politik yang salah. Hasilnya pun akan salah. Sebab itu, Pramono Anung dan Marzukie Ali, dua politisi yang juga anggota DPR RI, kemudian menegaskan agar rakyat memilih secara cerdas agar kualitas legislatif lebih bagus lagi seusai Pemilu 2014 mendatang.
Tetapi persoalan justru timbul, karena kita tidak bisa menimpakan kesalahan hanya pada rakyat. Memilih anggota legislatif di negeri ini, bukan domain rakyat, tetapi wewenang dari partai politik. Partai politik yang menunjukkan figur tertentu sebagai calon anggota legislatif tanpa campur-tangan dari rakyat, lalu mengajukan calon anggota legislatif pilihannya itu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dalam memilih dan menentukan calon anggota legislatif, partai politik tidak pernah melibatkan publik konstituennya. Kita pun tidak begitu paham kenapa partai politik menjatuhkan pilihan kepada seseorang sebagai calon anggota legislatif, padahal orang tersebut acap tidak punya biografi yang jelas sebagai orang yang memiliki visi dan misi untuk memperjuangkan suara rakyat.
Publik dicekoki, dipaksa memberikan pilihan terhadap figur yang sudah ditentukan partai politik. Malangnya, figur-figur calon anggota legislatif yang tidak punya riwayat jelas itu, sesungguhnya tidak punya cukup kemampuan untuk memperjuangkan kepentingan publik.
Sebab itu, kesalahan lebih layak dialamatkan kepada partai politik. Tentu, akan lebih pantas lagi apabila tanggung jawab moral dipikul oleh para elite di partai politik, seperti Pramono Anung dan Marzukie Ali. Maka, terhadap iklan yang diluncurkan DPR RI itu, kita bisa menafsirkannya sebagai “upaya sia-sia dari DPR RI untuk memperbaiki citranya yang terlanjur buruk di mata publik”.
Tidak sedikit survei yang menyimpulkan bahwa DPR adalah lembaga yang korup. Simpul itu realible jika kita kaitkan dengan para politisi DPR yang menjelma menjadi “parasit”, entitas yang mengubah ruang demokrasi menjadi sarang bagi berlindungnya ragam laku kejahatan dan kriminalitas.
Atas nama demokrasi, para anggota legislatif melegalisasi kepentingan-kepentingan pribadi, dan membeatifikasi semuanya sebagai perangkat-perangkat kerja dalam berdemokrasi. Salah satunya laku politik yang dipertontonkan DPRD Kota Medan dengan menggelar rapat kerja di hotel bintang lima Grand Aston di Jalan Raden Saleh, Medan. Rapat kerja akhir tahun pada 19-20 Oktober 2013 itu menelan biaya Rp488 juta.
Rapat kerja akhir tahun adalah keputusan DPRD Kota Medan, merupakan perangkat kerja legislative dalam menjalankan visi dan misinya. Tapi, menggelar rapat kerja akhir tahun di hotel berbintang, tentunya sebuah keputusan yang mempertontonkan laku politik yang niretika. Kita tak mengerti moral politik seperti apa yang mendorong DPRD Kota Medan menghabiskan dana ratusan juta rupiah di penghujung masa jabatannya, sementara kinerja wakil rakyat selama hampir lima tahun tak kunjung membawa perubahan signifikan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
Malah sebaliknya, di penghujung masa bakthi DPRD Kota Medan, ribuan rakyat Kota Medan menderita pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan yang mengalami kerugian akibat krisis energi listrik. PHK ini berdampak serius terhadap tingginya angka pengangguran, yang secara sosiologis akan mendorong lahirnya patologi sosial. Patologi sosial dapat mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan pembangunan daerah di Kota Medan, sehingga tingkat pertumbuhan perekonomian daerah akan melenceng dari prediksi saat menyusun RAPBD Kota Medan 20013 lalu.
Sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan adalah indikator utama dari dinamika pembangunan daerah di provinsi ini. Keberhasil pencapaian pembangunan daerah akan menjadi contoh yang menginspirasi kota-kota lain. Tapi, dinamika pembangunan daerah di Kota Medan tidak akan pernah berjalan sebagaimana diharapkan apabila legislatifnya tidak memainkan peran yang semestinya sebagai stakeholder pemerintah daerah. Konon lagi bila legislatif lebih memposisikan diri sebagai aktor utama pembangunan daerah yang punya peran sentralnya dalam menentukan skenario pembangunan daerah, sehingga peran itu bisa dimanfaatkan untuk membentuk aneka persengkokolan atas nama demokrasi guna mengambil uang negara.
Menggelar rapat kerja akhir tahun di hotel berbintang dengan agenda membahas rancangan peraturan daerah, bisa disebut sebagai salah satu bentuk persekongkolan yang disemangati kolektivitas tinggi dengan daya kohesivitas sesama anggota legislatif yang semakin menguat karena punya tujuan sama untuk memanfaatkan dana APBD 2013 di akhir masa jabatan. Dana itu dibutuhkan para anggota DPRD Kota Medan, karena kebutuhan dana mereka meningkat drastis untuk kepentingan merebut kursi pada Pemilu 2014 mendatang.
Kita akan kesulitan untuk mencegah terjadinya persekongkolan jahat di antara anggota DPRD Kota Medan. Meskipun mereka berasal dari banyak partai politik, dan masing-masing partai politik memiliki kepentingan yang saling bertentangan terkait hasil Pemilu 2014 mendatang, tetapi kepentingan yang berbeda dan bertentangan itu bersimbiosis membangun jejaring karena didorong oleh keinginan yang sama mengerut dana APBD Kota Medan. Keinginan yang sama ini mendapat legitimasi atas nama lembaga legislatif, yang kemudian membangun sistem pertahanan diri (self-defence) dari segala bentuk serangan yang menuduh tindakan mereka sebagai tindak korupsi.
DPRD Kota Medan akan berlindung di belakang nama lembaga legislatif, seakan-akan keputusan menggelar rapat akhir tahun yang menelan biaya Rp488 juta itu bukan tindak illegal, karena manajemen pengelolaan dananya diserahkan kepada Sekretariat DPRD Kota Medan. Artinya, pilihan para anggota DPRD Kota Medan untuk mengerut dana APBD Kota Medan 2013, sudah dengan sendirinya menjadi pilihan legal karena melibatkan semua perangkat kerja yang ada di DPRD Kota Medan. Sebab itu, segalaupaya untuk mengkritisinya akan sia-sia belaka. ●
Memilih lantaran mendapat uang itu merupakan laku politik yang salah. Hasilnya pun akan salah. Sebab itu, Pramono Anung dan Marzukie Ali, dua politisi yang juga anggota DPR RI, kemudian menegaskan agar rakyat memilih secara cerdas agar kualitas legislatif lebih bagus lagi seusai Pemilu 2014 mendatang.
Tetapi persoalan justru timbul, karena kita tidak bisa menimpakan kesalahan hanya pada rakyat. Memilih anggota legislatif di negeri ini, bukan domain rakyat, tetapi wewenang dari partai politik. Partai politik yang menunjukkan figur tertentu sebagai calon anggota legislatif tanpa campur-tangan dari rakyat, lalu mengajukan calon anggota legislatif pilihannya itu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dalam memilih dan menentukan calon anggota legislatif, partai politik tidak pernah melibatkan publik konstituennya. Kita pun tidak begitu paham kenapa partai politik menjatuhkan pilihan kepada seseorang sebagai calon anggota legislatif, padahal orang tersebut acap tidak punya biografi yang jelas sebagai orang yang memiliki visi dan misi untuk memperjuangkan suara rakyat.
Publik dicekoki, dipaksa memberikan pilihan terhadap figur yang sudah ditentukan partai politik. Malangnya, figur-figur calon anggota legislatif yang tidak punya riwayat jelas itu, sesungguhnya tidak punya cukup kemampuan untuk memperjuangkan kepentingan publik.
Sebab itu, kesalahan lebih layak dialamatkan kepada partai politik. Tentu, akan lebih pantas lagi apabila tanggung jawab moral dipikul oleh para elite di partai politik, seperti Pramono Anung dan Marzukie Ali. Maka, terhadap iklan yang diluncurkan DPR RI itu, kita bisa menafsirkannya sebagai “upaya sia-sia dari DPR RI untuk memperbaiki citranya yang terlanjur buruk di mata publik”.
Tidak sedikit survei yang menyimpulkan bahwa DPR adalah lembaga yang korup. Simpul itu realible jika kita kaitkan dengan para politisi DPR yang menjelma menjadi “parasit”, entitas yang mengubah ruang demokrasi menjadi sarang bagi berlindungnya ragam laku kejahatan dan kriminalitas.
Atas nama demokrasi, para anggota legislatif melegalisasi kepentingan-kepentingan pribadi, dan membeatifikasi semuanya sebagai perangkat-perangkat kerja dalam berdemokrasi. Salah satunya laku politik yang dipertontonkan DPRD Kota Medan dengan menggelar rapat kerja di hotel bintang lima Grand Aston di Jalan Raden Saleh, Medan. Rapat kerja akhir tahun pada 19-20 Oktober 2013 itu menelan biaya Rp488 juta.
Rapat kerja akhir tahun adalah keputusan DPRD Kota Medan, merupakan perangkat kerja legislative dalam menjalankan visi dan misinya. Tapi, menggelar rapat kerja akhir tahun di hotel berbintang, tentunya sebuah keputusan yang mempertontonkan laku politik yang niretika. Kita tak mengerti moral politik seperti apa yang mendorong DPRD Kota Medan menghabiskan dana ratusan juta rupiah di penghujung masa jabatannya, sementara kinerja wakil rakyat selama hampir lima tahun tak kunjung membawa perubahan signifikan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
Malah sebaliknya, di penghujung masa bakthi DPRD Kota Medan, ribuan rakyat Kota Medan menderita pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan yang mengalami kerugian akibat krisis energi listrik. PHK ini berdampak serius terhadap tingginya angka pengangguran, yang secara sosiologis akan mendorong lahirnya patologi sosial. Patologi sosial dapat mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan pembangunan daerah di Kota Medan, sehingga tingkat pertumbuhan perekonomian daerah akan melenceng dari prediksi saat menyusun RAPBD Kota Medan 20013 lalu.
Sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan adalah indikator utama dari dinamika pembangunan daerah di provinsi ini. Keberhasil pencapaian pembangunan daerah akan menjadi contoh yang menginspirasi kota-kota lain. Tapi, dinamika pembangunan daerah di Kota Medan tidak akan pernah berjalan sebagaimana diharapkan apabila legislatifnya tidak memainkan peran yang semestinya sebagai stakeholder pemerintah daerah. Konon lagi bila legislatif lebih memposisikan diri sebagai aktor utama pembangunan daerah yang punya peran sentralnya dalam menentukan skenario pembangunan daerah, sehingga peran itu bisa dimanfaatkan untuk membentuk aneka persengkokolan atas nama demokrasi guna mengambil uang negara.
Menggelar rapat kerja akhir tahun di hotel berbintang dengan agenda membahas rancangan peraturan daerah, bisa disebut sebagai salah satu bentuk persekongkolan yang disemangati kolektivitas tinggi dengan daya kohesivitas sesama anggota legislatif yang semakin menguat karena punya tujuan sama untuk memanfaatkan dana APBD 2013 di akhir masa jabatan. Dana itu dibutuhkan para anggota DPRD Kota Medan, karena kebutuhan dana mereka meningkat drastis untuk kepentingan merebut kursi pada Pemilu 2014 mendatang.
Kita akan kesulitan untuk mencegah terjadinya persekongkolan jahat di antara anggota DPRD Kota Medan. Meskipun mereka berasal dari banyak partai politik, dan masing-masing partai politik memiliki kepentingan yang saling bertentangan terkait hasil Pemilu 2014 mendatang, tetapi kepentingan yang berbeda dan bertentangan itu bersimbiosis membangun jejaring karena didorong oleh keinginan yang sama mengerut dana APBD Kota Medan. Keinginan yang sama ini mendapat legitimasi atas nama lembaga legislatif, yang kemudian membangun sistem pertahanan diri (self-defence) dari segala bentuk serangan yang menuduh tindakan mereka sebagai tindak korupsi.
DPRD Kota Medan akan berlindung di belakang nama lembaga legislatif, seakan-akan keputusan menggelar rapat akhir tahun yang menelan biaya Rp488 juta itu bukan tindak illegal, karena manajemen pengelolaan dananya diserahkan kepada Sekretariat DPRD Kota Medan. Artinya, pilihan para anggota DPRD Kota Medan untuk mengerut dana APBD Kota Medan 2013, sudah dengan sendirinya menjadi pilihan legal karena melibatkan semua perangkat kerja yang ada di DPRD Kota Medan. Sebab itu, segalaupaya untuk mengkritisinya akan sia-sia belaka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar