|
Setiap anak
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Di mana dan dalam keadaan apa pun,
pendidikan sudah selayaknya diperoleh oleh anak. Tapi, masalahnya, bagaimana
jika anak yang harus dididik itu adalah anak yang berbeda? Seorang anak yang
memiliki kelainan bila dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya?
Banyak anak yang memiliki keterbatasan, baik fisik maupun mental. Misal, anak yang kita hadapi adalah anak autis. Seorang anak yang notabene memiliki perbedaan dalam perkembangan pikiran dan perilakunya.
Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Anak-anak penyandang spektrum autisme biasanya memperlihatkan setidaknya beberapa dari daftar tanda-tanda berikut; sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya, menuntut hal yang sama dan menentang perubahan atas hal-hal yang bersifat rutin, tertawa atau bergerak tidak pada tempatnya, tidak pernah atau jarang sekali kontak mata, tidak peka terhadap sakit, dan beberapa gejala lain.
Mendidik dan mendampingi anak yang memiliki gejala kelainan seperti anak autis tentu tidaklah sama dengan mendidik anak-anak normal. Perlu perhatian khusus dan pendampingan yang intens untuk menghadapi mereka yang pada kenyataannya memang memiliki kebiasaan berbeda dengan anak-anak seusianya.
Maka, sebagai pendidik, sudah seharusnya para guru atau orangtua memikirkan bagaimana mendampingi dan mendidik mereka sehingga mendapatkan hak pendidikan yang sama. Anak autis bukan anak idiot yang harus dipandang sebelah mata. Jika dididik dengan cara yang baik, mereka bisa berprestasi karena setiap anak memiliki bakat khusus.
Apa yang dilakukan Haryanto Priyo Utomo, seorang ayah di Solo yang memiliki anak autis setidaknya bisa menjadi pedoman bagi para pendidik dan orangtua yang ingin melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang diketahui autis. Demi mendampingi Dimas, anaknya yang autis, Haryanto berani mengambil keputusan yang cukup mencengangkan, Ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ingin mendampingi anaknya secara khusus yang memang tidak memungkinkan untuk dididik orang lain.
Sejak mengetahui anaknya autis, Haryanto tidak merasa minder atau berusaha menutup-nutupi kekurangan yang dimiliki anaknya. Justru, Haryanto berusaha membuka diri dan menghadapi kekurangan dengan memperbaikinya. Melalui sebuah blog yang dikelolanya, Haryanto mencoba berbagi pengalaman agar orang lain juga mengetahui bahwa di luar sana juga ada anak yang menderita autisme seperti yang dialami Dimas.
Usahanya cukup berhasil. Berkat cerita dan pengalamannya yang ditulis di blog, banyak orang yang bersimpati dan menyarankan berbagai terapi demi kesembuhan anaknya. Berbagai informasi pun disaring, sehingga ia memutuskan untuk menjalani terapi untuk anaknya.
Mengetahui kenyataan Dimas autis, Haryanto justru ingin mengenal lebih jauh tentang kelainan mental yang diderita mayoritas oleh anak laki-laki itu. Menurut Haryanto, apabila autisme dapat dideteksi sejak dini, kemudian ditangani secara tepat dan intensif, anak autis dapat berkembang secara optimal.
Memang, hal utama yang didapat dari merawat anak autis adalah pelajaran kesabaran. Tanpa kesabaran, banyak energi akan terkuras karena marah, uring-uringan, atau tidak puas selama mendidik anak autis.
Tapi, semua memang butuh proses. Seperti yang telah disinggung di atas, mendidik anak autis tidaklah sama dengan mendidik anak-anak normal yang tidak memerlukan perhatian atau pendampingan khusus.
Metode Terapi Anak Autis
Jika kita berusaha mencari informasi dari berbagai sumber, baik dari buku-buku atau informasi di internet, sebenarnya banyak metode terapi yang bisa dilakukan bagi anak autis. Tapi, semua metode yang ada harus dilakukan sesuai dengan keadaan atau kondisi anak. Jika metode yang diterapkan menampakkan hasil, metode tersebut bisa kita teruskan.
Stanley Greenspan dalam buku The Child with Special Needs, misalnya, memberikan metode pendidikan bagi anak autis dengan cara mengajak anak melakukan hiking atau gerak jalan.
Teori lain adalah terapi floortime. Terapi tersebut secara harfiah berarti bermain di lantai. Terapi tersebut bertujuan untuk membentuk komunikasi dua arah antara anak dan lawan bicaranya. Selain itu, terapi itu juga bisa mendorong munculnya ide pada diri anak serta membantu anak untuk berpikir logis.
Penanganan anak autis butuh waktu dan proses yang panjang. Kuncinya adalah sabar dan telaten dalam menanganinya. Karena, tidak ada cara yang instan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Apalagi, anak yang kita didik adalah anak yang memang memiliki kebutuhan khusus.
Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa, kita harus bisa menerima kenyataan bahwa anak/anak didik kita autis. Namun begitu, mereka tetap adalah “aset” yang juga perlu dididik dan dibina, agar mereka tidak minder dengan kekurangan dan keterbatasan yang mereka miliki. ●
Banyak anak yang memiliki keterbatasan, baik fisik maupun mental. Misal, anak yang kita hadapi adalah anak autis. Seorang anak yang notabene memiliki perbedaan dalam perkembangan pikiran dan perilakunya.
Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak yang gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Anak-anak penyandang spektrum autisme biasanya memperlihatkan setidaknya beberapa dari daftar tanda-tanda berikut; sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya, menuntut hal yang sama dan menentang perubahan atas hal-hal yang bersifat rutin, tertawa atau bergerak tidak pada tempatnya, tidak pernah atau jarang sekali kontak mata, tidak peka terhadap sakit, dan beberapa gejala lain.
Mendidik dan mendampingi anak yang memiliki gejala kelainan seperti anak autis tentu tidaklah sama dengan mendidik anak-anak normal. Perlu perhatian khusus dan pendampingan yang intens untuk menghadapi mereka yang pada kenyataannya memang memiliki kebiasaan berbeda dengan anak-anak seusianya.
Maka, sebagai pendidik, sudah seharusnya para guru atau orangtua memikirkan bagaimana mendampingi dan mendidik mereka sehingga mendapatkan hak pendidikan yang sama. Anak autis bukan anak idiot yang harus dipandang sebelah mata. Jika dididik dengan cara yang baik, mereka bisa berprestasi karena setiap anak memiliki bakat khusus.
Apa yang dilakukan Haryanto Priyo Utomo, seorang ayah di Solo yang memiliki anak autis setidaknya bisa menjadi pedoman bagi para pendidik dan orangtua yang ingin melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang diketahui autis. Demi mendampingi Dimas, anaknya yang autis, Haryanto berani mengambil keputusan yang cukup mencengangkan, Ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ingin mendampingi anaknya secara khusus yang memang tidak memungkinkan untuk dididik orang lain.
Sejak mengetahui anaknya autis, Haryanto tidak merasa minder atau berusaha menutup-nutupi kekurangan yang dimiliki anaknya. Justru, Haryanto berusaha membuka diri dan menghadapi kekurangan dengan memperbaikinya. Melalui sebuah blog yang dikelolanya, Haryanto mencoba berbagi pengalaman agar orang lain juga mengetahui bahwa di luar sana juga ada anak yang menderita autisme seperti yang dialami Dimas.
Usahanya cukup berhasil. Berkat cerita dan pengalamannya yang ditulis di blog, banyak orang yang bersimpati dan menyarankan berbagai terapi demi kesembuhan anaknya. Berbagai informasi pun disaring, sehingga ia memutuskan untuk menjalani terapi untuk anaknya.
Mengetahui kenyataan Dimas autis, Haryanto justru ingin mengenal lebih jauh tentang kelainan mental yang diderita mayoritas oleh anak laki-laki itu. Menurut Haryanto, apabila autisme dapat dideteksi sejak dini, kemudian ditangani secara tepat dan intensif, anak autis dapat berkembang secara optimal.
Memang, hal utama yang didapat dari merawat anak autis adalah pelajaran kesabaran. Tanpa kesabaran, banyak energi akan terkuras karena marah, uring-uringan, atau tidak puas selama mendidik anak autis.
Tapi, semua memang butuh proses. Seperti yang telah disinggung di atas, mendidik anak autis tidaklah sama dengan mendidik anak-anak normal yang tidak memerlukan perhatian atau pendampingan khusus.
Metode Terapi Anak Autis
Jika kita berusaha mencari informasi dari berbagai sumber, baik dari buku-buku atau informasi di internet, sebenarnya banyak metode terapi yang bisa dilakukan bagi anak autis. Tapi, semua metode yang ada harus dilakukan sesuai dengan keadaan atau kondisi anak. Jika metode yang diterapkan menampakkan hasil, metode tersebut bisa kita teruskan.
Stanley Greenspan dalam buku The Child with Special Needs, misalnya, memberikan metode pendidikan bagi anak autis dengan cara mengajak anak melakukan hiking atau gerak jalan.
Teori lain adalah terapi floortime. Terapi tersebut secara harfiah berarti bermain di lantai. Terapi tersebut bertujuan untuk membentuk komunikasi dua arah antara anak dan lawan bicaranya. Selain itu, terapi itu juga bisa mendorong munculnya ide pada diri anak serta membantu anak untuk berpikir logis.
Penanganan anak autis butuh waktu dan proses yang panjang. Kuncinya adalah sabar dan telaten dalam menanganinya. Karena, tidak ada cara yang instan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Apalagi, anak yang kita didik adalah anak yang memang memiliki kebutuhan khusus.
Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa, kita harus bisa menerima kenyataan bahwa anak/anak didik kita autis. Namun begitu, mereka tetap adalah “aset” yang juga perlu dididik dan dibina, agar mereka tidak minder dengan kekurangan dan keterbatasan yang mereka miliki. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar