|
Kegawatan negeri ini akibat tindak
korupsi bisa dilihat dari niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Mahkamah
Konstitusi.
Meski
mengundang pro-kontra, penerbitan perppu sebagai respons atas tertangkap
tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar perlu dicermati pengambil
kebijakan negeri ini, terutama pemimpin gerakan keagamaan.
Dengan semakin
banyaknya elite negeri berlatar belakang aktivis gerakan keagamaan yang
didakwa, dituduh, dan dipidana korupsi, patut dicurigai bahwa tindak korupsi
itu dilakukan didasari pemahaman pelaku korupsi tentang dosa dan pahala.
Pada awal
gerakan pemberantasan korupsi, sebelum dibentuk lembaga Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), harian ini pernah memuat artikel berjudul ”Teologi Korupsi”.
Artikel tersebut menjelaskan hubungan antara keyakinan pelaku atas sejumlah
tindakan yang digolongkan sebagai dosa dan tindakan saleh atau khazanah atau
baik. Pelaku tindak korupsi boleh jadi berkeyakinan bahwa tindakannya tidak
tergolong dosa, maksiat, atau fasad (merusak). Si pelaku mungkin memandang
korupsi sebagai tindakan bukan dosa besar atau dosa yang tidak bisa diampuni
Tuhan. Berdasar keyakinan ini, korupsi terus dilakukan dengan keyakinan bisa
dan mudah diampuni Tuhan.
Ketika seorang
tokoh nasional yang pernah memimpin gerakan Islam diadili atas dakwaan korupsi,
sebuah koran nasional memuat artikel berjudul ”Matematika Pahala”. Artikel
tersebut menjelaskan keyakinan atas ajaran agama yang menyatakan bahwa Tuhan
menghukum tindakan maksiat setara tindakan maksiat yang dilakukan seseorang.
Sebaliknya, tindakan saleh memperoleh pahala dari Tuhan berlipat 700 kali.
Kelipatan 700 itu merupakan kelipatan standar yang dalam keadaan tertentu bisa
berlipat hingga tak terhingga.
Keyakinan
demikian boleh jadi menjadi rujukan pelaku korupsi yang sering kali diiringi
sedekah, infak, atau sumbangan dan bantuan pada kegiatan keagamaan, seperti
membangun tempat ibadah dan menyumbang panti asuhan yatim piatu.
Berdasar
keyakinan tentang balasan tindakan dosa atau maksiat dan amal saleh, pelaku
korupsi yang menilap uang negara Rp 1 miliar, balasan dosanya setara Rp 1
miliar pula. Jika pelaku korupsi memberikan sedekah atau bantuan untuk anak
yatim, tempat ibadah atau pesantren sebesar Rp 100 juta, pahala yang akan
diperoleh minimal setara Rp 100 juta kali 700 atau sama dengan Rp 70 miliar. Di
akhirat nanti akan ditimbang beratnya pahala dan dosa sehingga si pelaku
korupsi bisa memperoleh surplus pahala setara Rp 69 miliar.
Ancaman dari dalam
Dalam keadaan
tertentu tindak korupsi bahkan dipandang sebagai bagian dari perjuangan
menegakkan ajaran Tuhan. Argumen yang dijadikan pegangan ialah bahwa apabila
uang negara itu tidak dikorup, uang tersebut bisa digunakan orang lain guna
menghambat penerapan ajaran Tuhan. Tindakan menerima suap dengan maksud bagi
perjuangan menegakkan ajaran Tuhan dipandang bukan tergolong dosa, bahkan
dipandang tindakan wajib keagamaan.
Di sisi lain,
sebagian orang menempatkan Indonesia bukan sebagai negara Islam sehingga
menilap uang negara bukan tergolong dosa. Kaum radikal, seperti aktivis DI/TII,
bahkan memandang menilap uang negara bagi perjuangan menegakkan ajaran agama
adalah tindakan jihad.
Pandangan
tentang tindakan korupsi dan suap tersebut patut dicermati elite negeri ini,
terutama pemimpin gerakan keagamaan, karena bisa membuat negeri ini keropos dan
hancur digerogoti ancaman dari dalam. Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan
penegakan hukum dan penerbitan perppu.
Tindakan cepat
yang perlu dilakukan ialah tafsir ulang dan rekonstruksi teologi meletakkan
tindak korupsi sebagai dosa yang tidak bisa diampuni Tuhan. Sebesar apa pun pahala
yang diperoleh sebagai imbalan amal-saleh tidak mungkin menghapus dosa korupsi,
karena tindak korupsi semakna menduakan Tuhan atau syirik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar