|
"Pemerintah
mempertahankan cuti bersama meski kehidupan sektor pariwisata domestik telah
kembali bergairah"
PENGUSAHA merasa dirugikan akibat banyaknya cuti bersama di
Indonesia. Mereka khawatir kebijakan itu mengganggu kegiatan produksi industri
dalam negeri, yang seharusnya bisa dimaksimalkan. Harus ada upaya keras supaya
dapat bersaing dari produk-produk impor. Apalagi ke depan, perdagangan akan
sangat terbuka setelah ke berlangsungan Masyarakat Ekonomi ASEAN (SM,
14/10/13).
Keluhan seringnya jadwal cuti bersama dilontarkan dari
berbagai kalangan pengusaha, termasuk pengusaha tekstil. Produksi dan proses
pengiriman pesanan produk tekstil terganggu. Padahal pembeli tidak peduli ada
cuti bersama atau tidak. Akibat penerapan cuti bersama, pengusaha tekstil harus
mengeluarkan dana tambahan untuk membayar pekerja yang lembur saat cuti
bersama.
Polemik menyangkut kebijakan cuti bersama seperti ini sudah
lama mencuat. Menjelang dan sesudah Lebaran lalu, kebijakan cuti bersama juga
menuai pro dan kontra. Kebijakan cuti bersama ditetapkan pemerintah melalui SKB
tiga menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Contoh, cuti bersama perayaan Lebaran 2013 telah
dilaksanakan pada 5, 6, dan 7 Agustus. Adapun cuti bersama dalam rangka Idhul
Adha 1434 Hijriah ditetapkan pada 14 Oktober, dan cuti bersama dalam rangka
Hari Natal ditetapkan tanggal 26 Desember 2013. Kebijakan cuti bersama kali
pertama ditetapkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Cuti diberikan kepada
para pegawai negeri sipil (PNS) dan karyawan swasta dengan cara memperhitungkan
hari kejepit sebagai hari libur. Kebijakan ini bertujuan agar sektor pariwisata
domestik kembali bergairah setelah ledakan bom Bali. Meski kehidupan sektor
pariwisata domestik telah kembali bergairah, kebijakan cuti bersama tetap
dipertahankan.
Namun karena dianggap kontraproduktif dengan upaya
peningkatan daya saing dan produktivitas bangsa, kebijakan ini diminta dikaji
ulang. Kebijakan ini membuat pabrik-pabrik berhenti beroperasi di luar hari
libur nasional. Akibatnya, proses produksi terganggu, ongkos produksi
meningkat, dan kinerja ekspor menurun. Di sisi lain, saat ini negara kita
tengah berupaya dengan tertatih-tatih meningkatkan daya saing industri dan
iklim investasi. Kebijakan cuti bersama, langsung atau tidak langsung, akan
memperlemah daya saing, menurunkan produktivitas nasional, dan mendorong
konsumerisme.
Daya Saing
Mari kita mencermati kalender 2013. Pada tahun ini terdapat
365 hari, dengan rincian hari Sabtu dan Minggu 106 hari, libur nasional 13
hari, dan cuti bersama yang ditetapkan pemerintah 6 hari. Bagi instansi yang
menerapkan kebijakan 5 hari kerja maka jumlah hari libur dalam tahun ini mencapai
125 hari, atau 4 bulan lebih. Hari kerja efektif pun tinggal 240 hari.
Libur selama 4 bulan lebih dalam satu tahun ini sungguh
sangat fantastik. Jarang sekali negara-negara di dunia, termasuk negara
maju sekalipun, menerapkan kebijakan cuti jumbo seperti Indonesia. Hitungan
jumlah hari libur itu belum memasukkan cuti insidental dan hari libur lokal,
seperti saat pilkada, pemilu legislatif, dan pilpres. Termasuk dalam rangka
prosesi keagamaan seperti cuti nyadran menjelang bulan Ramadan yang selama ini
diberikan kepada para PNS di kabupaten/kota di Jateng.
Dikaitkan dengan kondisi bangsa saat ini, kita dapat
memahami keluhan pengusaha. Cuti bersama merefleksikan bangsa yang telah
sejahtera. Bukan hanya itu, cuti besar semestinya diberikan usai menunaikan
kerja keras, atau usai memenangi sebuah kompetisi. Permasalahannya, kita masih
jauh dari predikat bangsa sejahtera, daya saing juga masih rendah. Peringkat
daya saing Indonesia saat ini menurut World
Economic Forum masih di posisi 50 di antara 144 negara. Pendapatan per
kapita baru 3.452 dolar AS, jauh di bawah Malaysia yang telah 9.659 dolar,
apalagi Singapura dengan 48.595 dolar.
Kebijakan cuti jumbo tidak saja merugikan industri yang
menuntut kontinuitas produksi, pekerja juga ikut dirugikan karena upah mereka
otomatis terpotong. Pelayanan publik terhambat, pemasukan negara pun terganggu.
Lebih dari itu, cuti jumbo hanya memicu inflasi karena mendorong perilaku
konsumtif masyarakat.
Kebijakan cuti bersama sangat kontraproduktif dengan upaya
peningkatan kinerja berbagai sendi kehidupan, seperti perizinan,
perbankan, kesehatan, pasar modal, investasi, pendidikan, serta sektor layanan
publik lainnya. Secara kasat mata kebijakan ini bahkan memicu budaya hidup
konsumtif dan hedonis. Lihat saja, pusat-pusat perbelanjaan dan mal berjubel
saat berlangsung cuti bersama. Saatnya pemerintah melakukan kaji ulang
kebijakan cuti bersama ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar