|
Seandainya setiap
guru adalah pembaca buku atau pendongeng, betapa bahagianya anak-anak yang
memiliki sejarah duduk di bangku sekolah. Setiap hari menjadi petualangan penuh
emosionalitas. Hari-hari dipenuhi aksara yang bertebaran melukiskan pedesaan,
binatang, pepohonan, kebun, dan rerumputan. Setiap kali kembali ke rumah, anak
bahagia membayangkan cerita yang dibacakan gurunya. Bahkan, jika suasana rumah
terlengkapi dengan cerita-cerita lain dari orang tua. Sungguh, anak yang juga
adalah seorang murid akan mendapatkan bagian hidupnya yang tidak terlupakan.
Guru harus menyemai buku dan membaca. Tentu ini bukan masalah nilai bagus, naik kelas, atau persiapan menghadapi ujian. Jika begitu, guru tidak ada bedanya dengan pemerintah yang mengharuskan buku pelajaran sesuai dengan kurikulum sebagai konsumsi dan bukan pada buku yang menyemai hasrat membaca bergelimang imajinasi. Namun sepertinya akan sulit mengajak guru untuk berpikir melampaui itu, jika kita hari ini melihat ternyata buku bukan santapan guru dan membaca bukan peristiwa keseharian.
Ray Bradbury dalam buku Fahrenheit 451 (2013) mengenang guru di masa sekolahnya, "Aku duduk di kelas satu tahun 1926 dan guruku semuanya miskin; penghasilan mereka delapan ratus dolar setahun, tapi mereka sepenuhnya mengajarkan membaca dan menulis sampai kelas satu berakhir." Masalah utamanya bukan penghasilan kecil. Kebetulan kita dipertemukan dengan sebuah zaman ketika kemiskinan bukan gangguan untuk melakukan dedikasi. Sekali lagi, ini adalah masalah dedikasi dan kecintaan. Ini masalah kehendak mengalahkan keengganan dan kemalasan; menghidupkan waktu, sekolah, dan murid bersama buku.
Sekaya apa pun guru, ketika ia tidak memiliki kecintaan untuk membaca, habislah masa depan membaca di sekolah. Yang kemudian dihadapi adalah kemiskinan kesadaran, bukan kemiskinan materi. Kemiskinan ini tentu lebih berbahaya.
Kemiskinan buku pada guru sejatinya bisa terlihat pada hal-hal kecil, seperti keberadaan buku-buku bacaan di meja guru. Kebanyakan meja guru-guru hanya berisi tumpukan lembar kerja siswa, laporan-laporan, proposal, atau kertas ujian. Hasrat membaca tidak tampak, bahkan untuk koran pagi. Pun berlanjut pada kualitas percakapan yang terjadi di antara para guru ketika berada di kantor. Saling menimpali komentar seputar kabar mutakhir hanyalah angin lalu. Percakapan hanya terjadi di tema teknologi atau komoditas terbaru. Dan sayangnya, hal ini tidak sampai pada refleksi dan kontemplasi diri.
Keberadaan buku dalam kehidupan guru sendiri juga cukup mengenaskan. Rumah-rumah guru bukan rumah berjendela buku, berpintu buku, berlantai buku, atau berdinding buku, dalam artian buku menghidupkan rumah guru. Maka, kita akan jarang menemui guru yang sebagian besar gajinya digunakan untuk membeli buku, tentu tanpa melupakan kebutuhan keluarga. Sayangnya, kebutuhan keluarga kini telah menjelma buram antara iming-iming keinginan dan kemewahan. Apa-apa yang diinginkan harus menjadi kebutuhan. Guru merasa miskin untuk membeli buku dan tidak miskin untuk membeli yang selain buku.
Sepertinya ada guru yang merasa tidak diuntungkan dengan keberadaan buku atau kegiatan tambahan membacakan cerita/mendongeng. Alasan dana tentu sudah basi dan klise mengingat dana besar yang dialokasikan pemerintah untuk pendidikan. Atau pemangku pendidikan pusat memang lupa mengamanati buku sebagai bagian penentu pendidikan yang mesti dibenahi. Guru pun tidak terlalu ambil pusing karena merasa telah menjadi pelaksana agenda pemerintah. Uang diterima, sekolah dibangun, tapi tidak dengan buku.
Tentu kita tidak hendak menghujat guru yang tengah berkeras mengejar sertifikasi atau cita-cita pegawai negeri. Ditambah kesibukan mengajar, mengurusi administrasi, menjalankan kurikulum pemerintah, menyiapkan materi pelajaran, atau mengurusi dana. Namun kesibukan ini memang menghantarkan guru pada formalitas di sekolah. Ada yang terlupa untuk diceritakan. Tanggung jawab berhenti di mengajar. Guru lupa membacakan buku dengan cerita-cerita yang menggugah emosi, dan ini berimbas keengganan membaca pada para murid.
Ada yang harus diluruskan kembali ketika manusia bernama guru di abad ke-21 menyemai kemiskinan buku. Sekali lagi bukan karena urusan materi, melainkan kemiskinan kesadaran untuk membawa buku-buku sastra, anak, fabel, dongeng, dan petualangan menuju jalan membaca yang kuat dan terbiasakan. Kesadaran ruang dan waktu harus diadakan untuk mengatasi keterbatasan. Dalam Bukuku Kakiku (2004), Melani Budianta menceritakan hal dulu, ketika sekolahnya di Malang tidak memiliki perpustakaan, namun gurunya memiliki sebuah gagasan mendatangkan buku di tengah krisis ruang. Anak-anak yang memiliki buku sebagai koleksi diminta meminjamkan lima sampai sepuluh buku. Buku-buku pinjaman tersebut dikumpulkan di sebuah lemari dalam kelas. Kelas pun menjadi ruang baca, tempat anak-anak saling bertukar buku sampai semua buku terbaca. Buku-buku dinikmati bersama. Setiap buku yang sudah terbaca akan ditukar dengan buku pinjaman yang baru. Penciptaan ruang dimulai dan kebermaknaan waktu diisi dengan buku-buku.
Menjadi apa pun seorang murid kelak, selama ia juga menjadi pembaca, ia akan memaknai setiap apa yang dilakukannya. Segala bidang yang ditekuninya bukan hanya semata tuntutan pekerjaan, kesibukan, ataupun ambisi materi. Kekayaan bukan hanya materi yang tampak pada pandangan mata atau omongan tetangga, tapi juga pandangan batin.
Masa menjadi murid adalah masa menduplikasi. Ketika guru memperlihatkan buku yang dimiliki, anak-anak akan mencari tahu sambil bertanya-tanya, dan akhirnya mengikuti guru untuk membaca dan menemukan bukunya sendiri. Masih ada pernyataan dari Ray Bradbury yang patut menjadi rujukan, "Aku bisa melihat peristiwa ketika guru sekolah tidak lagi mengajarkan tentang membaca. Semakin sedikit mereka mengajar tentang itu, semakin Anda tidak membutuhkan buku." Akhirnya, jika guru membiarkan murid mengarungi waktu tanpa membaca dan buku, bisa diartikan bahwa guru menyongsong kemiskinan dan kematian muridnya sendiri. ●
Guru harus menyemai buku dan membaca. Tentu ini bukan masalah nilai bagus, naik kelas, atau persiapan menghadapi ujian. Jika begitu, guru tidak ada bedanya dengan pemerintah yang mengharuskan buku pelajaran sesuai dengan kurikulum sebagai konsumsi dan bukan pada buku yang menyemai hasrat membaca bergelimang imajinasi. Namun sepertinya akan sulit mengajak guru untuk berpikir melampaui itu, jika kita hari ini melihat ternyata buku bukan santapan guru dan membaca bukan peristiwa keseharian.
Ray Bradbury dalam buku Fahrenheit 451 (2013) mengenang guru di masa sekolahnya, "Aku duduk di kelas satu tahun 1926 dan guruku semuanya miskin; penghasilan mereka delapan ratus dolar setahun, tapi mereka sepenuhnya mengajarkan membaca dan menulis sampai kelas satu berakhir." Masalah utamanya bukan penghasilan kecil. Kebetulan kita dipertemukan dengan sebuah zaman ketika kemiskinan bukan gangguan untuk melakukan dedikasi. Sekali lagi, ini adalah masalah dedikasi dan kecintaan. Ini masalah kehendak mengalahkan keengganan dan kemalasan; menghidupkan waktu, sekolah, dan murid bersama buku.
Sekaya apa pun guru, ketika ia tidak memiliki kecintaan untuk membaca, habislah masa depan membaca di sekolah. Yang kemudian dihadapi adalah kemiskinan kesadaran, bukan kemiskinan materi. Kemiskinan ini tentu lebih berbahaya.
Kemiskinan buku pada guru sejatinya bisa terlihat pada hal-hal kecil, seperti keberadaan buku-buku bacaan di meja guru. Kebanyakan meja guru-guru hanya berisi tumpukan lembar kerja siswa, laporan-laporan, proposal, atau kertas ujian. Hasrat membaca tidak tampak, bahkan untuk koran pagi. Pun berlanjut pada kualitas percakapan yang terjadi di antara para guru ketika berada di kantor. Saling menimpali komentar seputar kabar mutakhir hanyalah angin lalu. Percakapan hanya terjadi di tema teknologi atau komoditas terbaru. Dan sayangnya, hal ini tidak sampai pada refleksi dan kontemplasi diri.
Keberadaan buku dalam kehidupan guru sendiri juga cukup mengenaskan. Rumah-rumah guru bukan rumah berjendela buku, berpintu buku, berlantai buku, atau berdinding buku, dalam artian buku menghidupkan rumah guru. Maka, kita akan jarang menemui guru yang sebagian besar gajinya digunakan untuk membeli buku, tentu tanpa melupakan kebutuhan keluarga. Sayangnya, kebutuhan keluarga kini telah menjelma buram antara iming-iming keinginan dan kemewahan. Apa-apa yang diinginkan harus menjadi kebutuhan. Guru merasa miskin untuk membeli buku dan tidak miskin untuk membeli yang selain buku.
Sepertinya ada guru yang merasa tidak diuntungkan dengan keberadaan buku atau kegiatan tambahan membacakan cerita/mendongeng. Alasan dana tentu sudah basi dan klise mengingat dana besar yang dialokasikan pemerintah untuk pendidikan. Atau pemangku pendidikan pusat memang lupa mengamanati buku sebagai bagian penentu pendidikan yang mesti dibenahi. Guru pun tidak terlalu ambil pusing karena merasa telah menjadi pelaksana agenda pemerintah. Uang diterima, sekolah dibangun, tapi tidak dengan buku.
Tentu kita tidak hendak menghujat guru yang tengah berkeras mengejar sertifikasi atau cita-cita pegawai negeri. Ditambah kesibukan mengajar, mengurusi administrasi, menjalankan kurikulum pemerintah, menyiapkan materi pelajaran, atau mengurusi dana. Namun kesibukan ini memang menghantarkan guru pada formalitas di sekolah. Ada yang terlupa untuk diceritakan. Tanggung jawab berhenti di mengajar. Guru lupa membacakan buku dengan cerita-cerita yang menggugah emosi, dan ini berimbas keengganan membaca pada para murid.
Ada yang harus diluruskan kembali ketika manusia bernama guru di abad ke-21 menyemai kemiskinan buku. Sekali lagi bukan karena urusan materi, melainkan kemiskinan kesadaran untuk membawa buku-buku sastra, anak, fabel, dongeng, dan petualangan menuju jalan membaca yang kuat dan terbiasakan. Kesadaran ruang dan waktu harus diadakan untuk mengatasi keterbatasan. Dalam Bukuku Kakiku (2004), Melani Budianta menceritakan hal dulu, ketika sekolahnya di Malang tidak memiliki perpustakaan, namun gurunya memiliki sebuah gagasan mendatangkan buku di tengah krisis ruang. Anak-anak yang memiliki buku sebagai koleksi diminta meminjamkan lima sampai sepuluh buku. Buku-buku pinjaman tersebut dikumpulkan di sebuah lemari dalam kelas. Kelas pun menjadi ruang baca, tempat anak-anak saling bertukar buku sampai semua buku terbaca. Buku-buku dinikmati bersama. Setiap buku yang sudah terbaca akan ditukar dengan buku pinjaman yang baru. Penciptaan ruang dimulai dan kebermaknaan waktu diisi dengan buku-buku.
Menjadi apa pun seorang murid kelak, selama ia juga menjadi pembaca, ia akan memaknai setiap apa yang dilakukannya. Segala bidang yang ditekuninya bukan hanya semata tuntutan pekerjaan, kesibukan, ataupun ambisi materi. Kekayaan bukan hanya materi yang tampak pada pandangan mata atau omongan tetangga, tapi juga pandangan batin.
Masa menjadi murid adalah masa menduplikasi. Ketika guru memperlihatkan buku yang dimiliki, anak-anak akan mencari tahu sambil bertanya-tanya, dan akhirnya mengikuti guru untuk membaca dan menemukan bukunya sendiri. Masih ada pernyataan dari Ray Bradbury yang patut menjadi rujukan, "Aku bisa melihat peristiwa ketika guru sekolah tidak lagi mengajarkan tentang membaca. Semakin sedikit mereka mengajar tentang itu, semakin Anda tidak membutuhkan buku." Akhirnya, jika guru membiarkan murid mengarungi waktu tanpa membaca dan buku, bisa diartikan bahwa guru menyongsong kemiskinan dan kematian muridnya sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar