|
“Mengapa eksistensi IMF dan Bank Dunia masih kalian pertahankan,
padahal gagal mengantisipasi krisis global yang berulang kali muncul?”
Inilah pertanyaan awal saya saat
berbicara dengan petinggi IMF dalam acara pertemuan tahunan ke-10 antara
kelompok masyarakat sipil (CSO) dan IMF-Bank Dunia. Setiap tahun IMF dan Bank
Dunia mengundang wakil kelompok masyarakat sipil ke Washington untuk
berkonsultasi atas program mereka. Sekalipun tahun depan kedua lembaga yang
kerap disebut Bretton Woods Institute ini akan merayakan 70 tahun pendiriannya
(1944-2014), kritik atas kebijakan kontroversial mereka masih terus mengalir.
Kelompok masyarakat sipil berpendapat, sentimen pasca-Perang Dunia II tak bisa
diteruskan sebagai semangat yang melandasi operasi IMF dan Bank Dunia. Saat ini
kekuatan ekonomi dunia multipolar dengan munculnya negara-negara dengan kekuatan
ekonomi baru. Porsi pemilikan saham dan suara (voting power and representation) di kedua lembaga ini harus diubah.
Sesuai mandatnya IMF bertugas
memastikan stabilitas mata uang, mengoordinasi kebijakan ekonomi anggota,
membantu kesulitan neraca pembayaran. Bank Dunia melalui grup bentukannya—IBRD,
IFC, IDA, MEGA—bertugas membantu pelaksanaan pembangunan di negara-negara
anggotanya, yaitu dengan menyediakan fasilitas pembiayaan bagi investasi dan
pembangunan. Namun, mengapa krisis global terus berlangsung, apakah karena
alasan ketidakmampuan atau syarat yang dianjurkan salah?
Dalam berbagai pengalaman
internasional, termasuk krisis yang saat ini terjadi di Eropa, untuk bisa
memperoleh pinjaman, IMF dan Bank Dunia sering menekan pemerintah melalui
syarat-syarat tertentu yang dituangkan dalam program penyesuaian struktural
(SAP). Yang dihebohkan saat ini, kebijakan IMF dalam bentuk pengetatan anggaran
dengan cara memangkas subsidi (austerity
measures), mempromosikan pasar kerja fleksibel, reformasi jaminan pensiun,
dan jaminan sosial. Dalam pertemuan tahunan ini juga terungkap, Bank Dunia dan
IMF terlibat memiskinkan dunia ketiga melalui utang yang diberikannya. Itu
sebabnya tahun lalu Hongaria langsung menutup kantor IMF setelah dianggap
terlalu banyak intervensi dan membuat resep salah. Ini menambah daftar panjang
negara yang keluar dari program IMF setelah Argentina, Thailand, Indonesia, dan
Filipina. Program SAP juga dituduh mendorong munculnya korupsi dan melemahkan
demokrasi. Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi mengatakan, secara teori, IMF
mendukung lembaga demokrasi, tetapi dalam praktiknya melemahkan demokrasi
melalui pemaksaan kebijakan SAP yang tak mengindahkan pendapat parlemen dan
masyarakat sipil. Sekalipun mereka sering berkilah syarat pinjaman yang
diberikan bukan atas keinginan mereka— tetapi hasil negosiasi
bersama—sebenarnya yang sering terjadi negosiasi tak berjalan seimbang di kala
negara yang sedang limbung didera krisis ekonomi tidak akan memiliki kekuatan
untuk bernegosiasi.
Kebijakan pascakrisis
Menjawab pertanyaan saya, salah
satu direktur eksekutif Bank Dunia menjawab, ”Kami mengakui pernah melakukan beberapa kebijakan kontroversi,
khususnya saat krisis Asia akhir 1990-an, tetapi saat ini semuanya berbeda.”
Pertanyaannya, benarkah telah terjadi perubahan kebijakan kedua lembaga ini?
Bila ditelusuri dalam dekade terakhir, tampaknya hanya Bank Dunia yang memulai
tanda-tanda perubahan. Isyarat perubahan itu, misalnya, bisa dilihat dari
program SAP Bank Dunia yang dilakukan dengan pendekatan baru yang disebut comprehensive development framework sejak
tahun 1998.
Kerangka baru ini meliputi empat
hal pokok penting yang sebelumnya tak ada: pendekatan holistik
berkesinambungan, pinjaman mengikuti kebutuhan peminjam (country ownership), hasil capaian harus terukur, melibatkan
partisipasi masyarakat sipil secara transparan. Bank Dunia juga memperkenalkan
beberapa instrumen untuk memudahkan masyarakat memonitor dan mempersoalkan
proyek yang merugikan masyarakat, misalnya perusakan lingkungan, korupsi, serta
pelanggaran HAM dan hak buruh. Mereka menyebutnya disclosure policy. Untuk melakukan gugatan, disediakan
mekanisme inspection panel yang berfungsi merespons gugatan
masyarakat yang merasa dirugikan oleh proyek yang didanai grup Bank Dunia.
Sementara untuk transparansi
disediakan situs yang bisa diakses semua orang untuk mengetahui jumlah, besaran
proyek yang didanai mereka di setiap negara. Bank Dunia juga melarang proyek
yang melanggar hak dasar buruh, seperti tertuang dalam delapan konvensi fundamental
ILO. Menyediakan dana kepada CSO untuk memonitor dan membantu kesuksesan
program Bank Dunia. Yang terbaru, di bawah presiden baru, Jim Yong Kim
menargetkan menghapus kemiskinan ekstrem sampai level 3 persen pada 2030 dan
menaikkan pendapatan untuk kelompok 40 persen penduduk yang di garis bawah.
Saat ini orang miskin ekstrem (hidup dengan 1,25 dollar AS per hari) berjumlah
1,2 miliar orang. Adapun dengan pendapatan 2 dollar AS per hari 2,4 miliar
orang.
Sementara kebijakan IMF tak
banyak berubah. IMF selalu datang dengan obat sama untuk memulihkan krisis
negara. Syaratnya selalu standar, pengetatan moneter, pengetatan penyaluran
dana, peningkatan tingkat suku bunga, kenaikan pajak, pengurangan belanja
negara, penjualan BUMN, penghapusan hambatan aliran uang masuk dan keluar,
serta penghapusan hambatan yang melarang pemilikan modal asing atas semua
investasi.
Kritik terus menggunung. Salah
satunya dari Policy Dialogue
Universitas Columbia, dengan menggunakan data IMF ditemukan fakta bahwa
reformasi pasar kerja fleksibel yang dianjurkan IMF 2010-2012 ternyata tak
menciptakan upah lebih tinggi dan lapangan kerja lebih banyak. Oxfam juga
mengeluarkan laporan tentang merebaknya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan
di Eropa sebagai akibat kebijakan pengetatan anggaran yang dipromosikan IMF
melalui konsep Troika. Serikat buruh dunia (ITUC) mengkritik policy
paper IMF yang selalu memprioritaskan stabilitas makroekonomi dan inflasi
yang rendah ketimbang penciptaan pekerjaan. Sudah saatnya IMF mengubah SAP-nya
dengan menyertakan penciptaan pekerjaan yang luas, perbaikan jaminan sosial,
penghormatan kepada buruh, dan keberlangsungan lingkungan sebagai cara untuk
meningkatkan kredibilitas IMF.
Akibat lambannya demokratisasi
di tubuh IMF, Brasil, Rusia, India, dan China memelopori pembentukan BRIC tahun
2009 di Rusia. Kelompok masyarakat sipil menyambut kelahiran lembaga ini dengan
antusias, sekalipun ada yang bersikap kritis bahwa nantinya BRIC akan bertindak
sama seperti IMF. Namun, gagasan BRIC untuk perubahan sistem keuangan global
dapat dukungan negara berkembang, di antaranya perubahan standar mata uang
perdagangan dunia yang saat ini dipegang dollar AS, juga reformasi IMF atas
sistem keranjng mata uangnya (special
drawing rights), dan perluasan negara dalam pengambilan keputusan ekonomi
global yang tidak hanya G-7. Pemilikan saham saat ini masih didominasi AS dan
Eropa. Di Bank Dunia, saham AS 15,85 persen, Eropa 15,5 persen (Jerman 4
persen, Inggris 4 persen, Rusia 3,75 persen, Perancis 3,75 persen). Jepang 6,84
persen, China 4 persen, dan Arab Saudi 3 persen.
Reformasi
IMF-Bank Dunia
Untuk mencegah krisis global
berulang, perubahan paradigma sistem ekonomi global saat ini diperlukan, salah
satunya demokratisasi di IMF dan Bank Dunia. Prof Susanna Cafaro dari
Universitas Salento, Lecce, Italia, mengusulkan delapan pemikiran untuk membuat
kedua lembaga lebih demokratis dan efisien, mulai dari reformasi struktur
eksekutif, distribusi suara dan saham, representasi negara, akses lembaga
keuangan regional ikut jadi pemilik saham. Seiring tema pertemuan tahunan kali
ini ”Tantangan Global, Solusi Global”,
seharusnya masalah global tak hanya diselesaikan segelintir pihak, tetapi juga
membuka akses semua pihak untuk ikut kontribusi.
Indonesia beruntung tak lagi
dibantu IMF. Kita menantikan pemimpin Indonesia selanjutnya yang akan
mengeluarkan Indonesia dari program bantuan Bank Dunia. Sebab apa pun
bentuknya, jerat utang luar negeri akan membajak upaya negara meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat. Lihat saja postur APBN kita yang
membayar lebih banyak utang ketimbang untuk jaminan sosial, kesehatan.
Penyebabnya, beban angsuran pokok dan bunga utang luar negeri sudah menyita hingga
seperempat anggaran belanja. Belum lagi ada agenda tersembunyi untuk mengaitkan
utang dengan penyusunan UU dan peraturan pemerintah, yang tak lain bentuk
intervensi kepentingan global terhadap kedaulatan ekonomi dan politik
Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar