|
Setelah krisis
ekonomi 1998-1999 hingga 2011, Indonesia selalu menikmati surplus akun semasa (current account). Pada 2012 akun semasa
memburuk luar biasa dengan mencatatkan defisit 24,4 miliar dollar AS. Defisit
berlangsung hingga kini dengan puncaknya pada triwulan II-2013 sebesar 4,4
persen dari produk domestik bruto.
Defisit akun
semasa tidak terjadi mendadak sontak. Membenahinya pun tak bisa dalam sekejap.
Kondisi akun semasa merupakan cerminan struktur ekonomi yang memburuk,
khususnya sektor penghasil barang yang tertatih-tatih.
Pemburukan akun
semasa empat tahun terakhir lebih parah ketimbang defisit akun semasa yang
hampir selalu terjadi pada era sebelum krisis tahun 1998. Pada masa sebelum
krisis, defisit akun semasa (ekspor minus impor barang dan jasa) tidak disertai
dengan defisit transaksi perdagangan (ekspor minus impor barang). Jadi, defisit
akun semasa sepenuhnya karena defisit perdagangan jasa, yang nilainya lebih
besar ketimbang surplus perdagangan barang.
Kini transaksi
perdagangan sudah defisit, tepatnya sejak triwulan II-2013. Defisit ini murni
barang karena pencatatan ekspor dan impor barang di neraca pembayaran
berdasarkan nilai free on board (FOB).
Jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik yang mencatat ekspor berdasarkan
nilai FOB dan impor berdasarkan nilai cost,
insurance, and freight (CIF), transaksi perdagangan sudah defisit
sejak 2012.
Dengan
demikian, pembenahan mendasar keseimbangan eksternal harus dilakukan serempak
di dua bagian, yaitu mengembalikan surplus perdagangan barang dan menekan
defisit perdagangan jasa. Kunci mengembalikan surplus perdagangan barang adalah
dengan membenahi sektor industri manufaktur dan sektor pertanian serta
mereformasi total sektor minyak dan gas bumi. Tak ada cara lain.
Industri
manufaktur didorong bukan dengan memicu peningkatan pasar domestik semata ala
”mobil murah ramah lingkungan” (LCGC). Sebab, perangkat kebijakan yang
ditawarkan pemerintah lewat pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM) nyata-nyata merupakan jalan pintas lewat peningkatan konsumsi mobil
domestik. Mengingat industri otomotif sangat boros devisa, kebijakan ini
nyata-nyata bertentangan dengan upaya memperbaiki ketidakseimbangan eksternal.
Industri
otomotif bisa didorong tanpa harus memperburuk transaksi perdagangan dengan
menawarkan seperangkat insentif fiskal untuk menggenjot produksi. Pemerintah
menetapkan jenis mobil ideal yang diinginkan, yang betul-betul mobil hijau (green car) yang sebagian bahan bakarnya
menggunakan non-fossil fuel. Mobil ideal ini otomatis lebih murah karena
tercipta keekonomian skala (economies of
scale) karena hanya produsen tertentu yang memberikan penawaran terbaiklah
yang bisa menikmati. Salah satu kriteria yang ditetapkan pemerintah adalah
mayoritas produksinya untuk pasar ekspor.
Pemerintah
menawarkan insentif berupa pembebasan pajak keuntungan (tax holiday) selama lima tahun pertama dan penurunan PPnBM—bukan
pembebasan sepenuhnya— sehingga konsumsi mobil di dalam negeri tidak melonjak
seketika.
Peningkatan
keekonomian skala yang lebih cepat terwujud lewat insentif produksi— bukan
insentif konsumsi ala LCGC—bakal memaksa produsen otomotif mempercepat alih
teknologi dan memacu pertumbuhan industri komponen sehingga industri otomotif
lambat laun tidak lagi boros devisa, bahkan sebaliknya membuka kemungkinan
sebagai penyumbang devisa neto.
Peningkatan
keekonomian skala bisa terwujud jika pemerintah membantu pengadaan lahan bagi
kawasan industri. Cabut segera aturan pembatasan lahan untuk satu perusahaan
kawasan industri sebanyak 400 hektar di satu provinsi dan 2.000 hektar untuk
seluruh Indonesia. Dengan ketentuan yang tak realistik seperti itu, bagaimana
mungkin muncul sosok industri otomotif terpadu yang membutuhkan lahan
setidaknya 200 hektar.
Sejalan dengan
tuntutan kenaikan upah, industri padat karya yang tak membutuhkan lahan luas,
seperti garmen, boneka, dan alas kaki, akan meredup. Industri barang modal dan
industri dasar berskala besar bakal bermunculan, di antaranya industri mesin
dan peralatan mekanik, industri mesin dan peralatan listrik, industri besi dan
baja, serta industri petrokimia. Karena impor produk-produk industri tersebut
sangat mendominasi, penguatan industri barang modal dan industri dasar niscaya
memperkokoh kemandirian dan daya tahan ekonomi Indonesia.
Jadi, kuncinya
kebijakan industrial yang tidak bias konsumsi. Janganlah pertumbuhan strata
menengah yang mengharu biru digadaikan untuk mendorong penanaman modal asing.
Kalau kebijakan industrial bias konsumsi, industri-industri yang berkembang
pesat adalah yang berorientasi pasar domestik, sebagaimana telah terjadi dalam
lima tahun terakhir. Tak pelak lagi, kemajuan industri dan peningkatan
pertumbuhan ekonomi harus dibayar mahal dalam bentuk pemburukan keseimbangan
eksternal.
Di sektor jasa,
penyumbang utama bagi pundi-pundi cadangan devisa negara adalah kiriman hasil
jerih pajak tenaga kerja Indonesia di luar negeri (remitansi). Pada tahun 2012,
kiriman TKI berjumlah 7,0 miliar dollar AS, sedangkan arus dana keluar dari
tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia berjumlah 2,4 miliar dollar AS.
Dengan demikian, sumbangan bersih tenaga kerja mencapai 4,6 miliar dollar AS.
TKI nyata-nyata merupakan pahlawan devisa. Namun, kita tak boleh terus-menerus
mengandalkan darah dan keringat TKI. Kita wajib menciptakan lapangan kerja yang
bermutu di dalam negeri.
Pendapatan
devisa dari turis belum bisa diandalkan. Sekalipun belanja turis asing cukup
lumayan, yaitu 8,3 miliar dollar AS pada tahun 2012, belanja turis Indonesia di
luar negeri juga lumayan boros, yakni 6,8 miliar dollar AS pada tahun yang
sama. Denagn demikian, saldonya hanya 1,5 miliar dollar AS, kalah jauh dengan
sumbangsih TKI.
Yang paling
mendesak dibenahi di sektor jasa ini tinggal angkutan laut. Pada 2012, devisa
yang terkuras untuk membayar angkutan barang 9,6 miliar dollar AS, sedangkan
pemasukan hanya 2 miliar dollar AS sehingga terjadi defisit 7,6 miliar dollar
AS.
Hanya dengan
mewujudkan visi maritim lewat penguasaan transportasi laut dan armada yang
tangguh, defisit akut di sektor jasa ini bisa diselesaikan. Butuh kesadaran
baru dengan mindset baru untuk membawa bangsa ini menuju kejayaan.
Siapa pun pemimpin tertinggi yang dipilih rakyat pada tahun 2014 nanti, semoga
bisa mengemban amanat ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar