|
Beberapa hari lalu saya
menerima N-Peace Award dari badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus pada Pembangunan dan
Kependudukan (UNDP) Asia-Pacific Regional Centre.
Penghargaan ini
diperuntukkan pemimpin perempuan dan pejuang perdamaian di Asia Pasifik,
khususnya Indonesia, Sri Lanka, Timor Leste, Nepal, Afganistan, dan Filipina.
Sebagian orang mengatakan perdamaian adalah ketika gencatan senjata tercapai
atau perjanjian damai ditandatangani.
Merenungi perdamaian,
bayangan saya langsung tertuju pada salah satu alasan saya menjalani perkawinan
dengan suami. Ada damai yang saya rasakan kala bersamanya. Tak cuma menjunjung
cinta dan keadilan, suami saya berupaya agar dalam keluarga, terbangun
pengertian dan bekerja sama.
Hal serupa saya rasakan saat
beraktivitas bersama aktivis-aktivis feminis Institut Perempuan, lembaga yang
saya dirikan untuk memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) khususnya perempuan,
anak, dan minoritas.
Perdamaian memiliki makna
bervariasi. Agar perdamaian terwujud, kekerasan harus diakhiri dan struktur
yang memperkuatnya mesti dibongkar. Johan Galtung, sosiolog sekaligus pakar
konflik dan perdamaian, menjelaskan kekerasan sebagai yang terlihat dan tidak
terlihat. Yang terlihat adalah kekerasan langsung, bisa terjadi dalam perang
atau di rumah (kekerasan dalam rumah tangga/KDRT), berbentuk fisik seperti
pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, atau kekerasan seksual.
Galtung membagi yang tidak
terlihat menjadi: pertama, kekerasan struktural yang merupakan bentuk kekerasan
yang tertanam dalam sistem yang memprioritaskan kelompok tertentu atas orang
lain berdasarkan kelas, jenis kelamin, gender, kebangsaan, dan sebagainya, baik
dalam hal barang, sumber daya, atau peluang.
Contohnya adalah sistem
apartheid atau prioritas pemberian pendidikan terhadap anak laki-laki daripada
anak perempuan. Kedua, kekerasan budaya, yaitu budaya yang mendasari keyakinan
dan sikap yang dicontohkan oleh agama, ideologi, bahasa, seni, untuk
membenarkan kekerasan struktural/langsung. Contohnya adalah pemuliaan
kekerasan.
Kekerasan langsung,
struktural, dan kultural harus diberantas untuk menghasilkan perdamaian positif
(positive peace) yang tidak hanya
bermakna tidak adanya kekerasan langsung dan perang (perdamaian negatif,
negative peace), namun keberadaan kerja sama dan pengertian antarmanusia.
Bagi saya, perdamaian bukan
semata tidak ada perang atau konflik senjata. Ia mesti dipahami dari akar
penyebabnya. Banyak ancaman berasal dari pola pikir intoleransi keserakahan,
rasisme, terorisme, pemiskinan, kerawanan pangan, energi, iklim, dan
ketidakadilan dalam pemanfaatan pembangunan.
Perdamaian mengandung makna
terpenuhinya HAM (sipil, politik, budaya, sosial, ekonomi) dan bebas dari
kekerasan (langsung, struktural, kultural). Kerja sama dan pengertian
antarmanusia hanya bisa hadir dalam bingkai ini.
Perempuan dan anak berisiko
lebih besar atas ancaman lain terhadap perdamaian dan keamanan manusia, seperti
perdagangan manusia, KDRT dalam pascakonflik, kekerasan dan eksploitasi
seksual.
Aktivis perempuan di seluruh
dunia berupaya memperjuangkan diakuinya pengalaman serta pentingnya
keterlibatan perempuan dalam perdamaian dan keamanan. Barulah tahun 2000, Dewan
Keamanan PBB berhasil melahirkan Resolusi Dewan Keamanan (UNSCR) 1325 tentang
Perempuan, Perdamaian dan Keamanan, yang sampai kini menjadi instrumen penting.
Diabaikannya hak asasi
perempuan serta keadilan gender adalah halangan utama pencapaian perdamaian dan
keamanan manusia yang berkelanjutan. Sayangnya sampai sekarang pemerintah
Indonesia belum berkomitmen melahirkan Rencana Aksi Nasional terkait masalah ini.
Berbagai laporan menunjukkan
peristiwa intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama meningkat, disertai
ketegangan konflik di daerah yang menewaskan dan menimbulkan korban. Pemicu
yang muncul antara lain sengketa lahan, ketidakpuasan warga atas praktik
penegakan hukum, kriminal, beredarnya pesan provokatif, dan konflik lama yang
belum tertuntaskan.
Banyak lagi yang saya
renungkan tentang perdamaian. Namun saya yakin, seperti saya, Anda bisa
merasakan perdamaian. Atau mungkin rasa tidak damai, ketika diintimidasi,
dipaksa “harmonis” (“sama”) dengan penguasa zalim, atau saat martabat
kemanusiaan dihancurkan.
Bertanyalah pada hati
nurani, kita mungkin menemukan apa makna perdamaian sesungguhnya. Esensi dari
perdamaian berkesinambungan adalah komitmen akan cinta, hak asasi manusia, dan
keadilan sosial; komitmen bertoleransi, menghormati, dialog, dan non-kekerasan.
Mereka yang menjalaninya
dalam hidup keseharian dan berupaya menyebar serta memperjuangkannya, merekalah
pejuang perdamaian! Kepada mereka, Institut Perempuan, Ayah, Ibu, adik-adik,
Tri Sukma (Nanu) -suami saya tercinta-, Belai dan almarhum Janang Djandam,
penghargaan ini khususnya saya dedikasikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar