|
ini semestinya menjadi tamparan buat dunia adiluhung pendidikan tinggi. Kemendikbud
mencatat ada lebih dari seratus pendidik yang diduga menjiplak karya orang lain
sebagai syarat kenaikan pangkat. Rata-rata mereka adalah dosen perguruan tinggi
setingkat guru besar, lektor, maupun lektor kepala (Jawa Pos, 3/10). Tindakan nekat plagiarisme itu tidak berbeda
dengan kelakuan para koruptor. Yakni, secara curang mencuri dan mendaku karya
orang lain.
Ditjen Dikti juga memasukkan 400 PTS (di antara 3.000-an PTS) ke dalam daftar hitam karena telah memalsukan dokumen atau data untuk memenuhi rasio dosen dan mahasiswa. Selain itu, banyak oknum yang memanfaatkan PTS untuk mendapat tunjangan sertifikasi dosen, padahal mereka bukan dosen tetap PTS yang bersangkutan.
Mental korup, tampaknya, telah merasuki sendi-sendi kehidupan kita, tidak terkecuali dunia pendidikan. Padahal, sejatinya dunia pendidikan tinggi, yang juga saya tekuni, adalah kawah pembentukan manusia unggul lahir batin bagi penciptaan karakter bangsa. Karena itu, perlu perhatian banyak pihak untuk bisa keluar dari kondisi gawat semacam ini.
Sebelumnya Kemendikbud mengeluarkan Surat Edaran Dikti No 2050/E/T/2011 dan No 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah. Surat edaran tersebut dikeluarkan sebagai upaya menekan maraknya plagiasi oleh para akademikus. Namun, aturan tetap tinggal baris kata yang mati kalau tidak ada gerak hati untuk mematuhinya.
Dalam tragedi ketidakjujuran di dunia akademik ini, perlu dirujuk dua kategori ala Rhenald Kasali, yakni orang tipe passengers (penumpang) dan drivers (pengemudi). Di dunia akademik, passengers adalah akademikus yang memiliki tipe kurang inisiatif, tidak mau susah, senang mencari jalan pintas, melakukan cara-cara yang instan untuk mendapatkan sesuatu, pragmatis, pemikirannya kurang kritis, dan tidak memiliki idealisme.
Sementara itu, tipe drivers berkarakter sebaliknya. Mereka memiliki ide dan pikiran-pikiran yang kritis, inisiatif, kreatif, penuh tanggung jawab, jujur, dapat menikmati proses, dan memiliki kesadaran moral yang tinggi. Akademikus dengan karakter drivers itu memiliki idealisme sebagai kaum intelektual. Mereka mempunyai spirit akademikus yang tinggi.
Akademikus dengan tipologi yang pertama akan lebih mudah melakukan plagiat dibanding yang berkarakter drivers. Kalau jujur dan menerima keadaan, mereka akan sekadar menjadi akademikus kelas pengikut dan sulit maju. Namun, mental instan dan tidak mau bersusah payah bisa mendorong golongan ini melupakan kejujuran demi mengejar ketertinggalannya. Perasaan malu bisa tumpul oleh mental pragmatis ketika, misalnya, mereka menjiplak karya orang lain.
Mereka yang demikian, menurut saya, adalah akademikus pecundang. Akademikus yang nanti menjadi beban bagi perkembangan intelektual. Jangankan menjadi bagian dari solusi, mereka bahkan akan menjadi bagian dari problem moral bangsa kita ke depan. Sebab, mental ketidakjujuran akan mengakar kuat dan masuk ke bukan hanya lini akademis, namun juga menular ke ranah yang lain.
Sementara itu, akademikus dengan mental drivers memiliki kontrol moral yang kuat dalam dirinya. Mereka memiliki rasa malu yang tinggi jika melakukan hal-hal yang tidak jujur. Akademikus model seperti itu akan sangat merasa bersalah jika mencuri karya orang lain. Jadi, pengontrol atas perbuatan tidak jujur berada dalam diri mereka. Internalisasi nilai kejujuran telah terpatri kuat di dalam diri sehingga mereka tidak butuh undang-undang antiplagiat.
Untuk menjawab persoalan adanya akademikus yang bermental pecundang, saya tertarik dengan ide Rhenald Kasali. Yaitu, merumuskan dan mengembangkan sebuah alat atau metode yang bisa dipakai untuk mentransformasikan perilaku manusia. Metode itu mulanya digunakan dalam bidang bisnis. Tapi, menurut saya, tampaknya bisa pula diimplementasikan dalam dunia pendidikan.
Caranya, dengan sadar menanamkan sugesti self dengan psychology of winning secara bertahap. Pertama, melakukan treatment untuk membuang karakter pecundang, baru kemudian membentuk mental drivers. Mental instan, suka mencari jalan yang mudah dan tidak menikmati proses, harus dibuang dulu, baru kemudian mengubahnya menjadi akademikus yang bermental drivers. Akademikus yang memiliki integritas sebagai kaum intelektual yang jujur. Akademikus yang punya malu jika melakukan plagiat, walaupun tidak ketahuan orang lain.
Karena itu, pemberantasan korupsi di negeri kita jangan mengabaikan penanganan ''korupsi'' yang dilakukan para akademikus pecundang kelas penumpang. Jangan menganggap enteng persoalan korupsi dalam dunia tulisan dan gagasan. Ketidakjujuran seperti itu akan mengentengkan ketidakjujuran di dunia lain. Lihat saja para koruptor yang ditangkap KPK. Sebagian di antara mereka adalah kalangan akademikus. Ada yang guru besar pula. ●
Ditjen Dikti juga memasukkan 400 PTS (di antara 3.000-an PTS) ke dalam daftar hitam karena telah memalsukan dokumen atau data untuk memenuhi rasio dosen dan mahasiswa. Selain itu, banyak oknum yang memanfaatkan PTS untuk mendapat tunjangan sertifikasi dosen, padahal mereka bukan dosen tetap PTS yang bersangkutan.
Mental korup, tampaknya, telah merasuki sendi-sendi kehidupan kita, tidak terkecuali dunia pendidikan. Padahal, sejatinya dunia pendidikan tinggi, yang juga saya tekuni, adalah kawah pembentukan manusia unggul lahir batin bagi penciptaan karakter bangsa. Karena itu, perlu perhatian banyak pihak untuk bisa keluar dari kondisi gawat semacam ini.
Sebelumnya Kemendikbud mengeluarkan Surat Edaran Dikti No 2050/E/T/2011 dan No 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah. Surat edaran tersebut dikeluarkan sebagai upaya menekan maraknya plagiasi oleh para akademikus. Namun, aturan tetap tinggal baris kata yang mati kalau tidak ada gerak hati untuk mematuhinya.
Dalam tragedi ketidakjujuran di dunia akademik ini, perlu dirujuk dua kategori ala Rhenald Kasali, yakni orang tipe passengers (penumpang) dan drivers (pengemudi). Di dunia akademik, passengers adalah akademikus yang memiliki tipe kurang inisiatif, tidak mau susah, senang mencari jalan pintas, melakukan cara-cara yang instan untuk mendapatkan sesuatu, pragmatis, pemikirannya kurang kritis, dan tidak memiliki idealisme.
Sementara itu, tipe drivers berkarakter sebaliknya. Mereka memiliki ide dan pikiran-pikiran yang kritis, inisiatif, kreatif, penuh tanggung jawab, jujur, dapat menikmati proses, dan memiliki kesadaran moral yang tinggi. Akademikus dengan karakter drivers itu memiliki idealisme sebagai kaum intelektual. Mereka mempunyai spirit akademikus yang tinggi.
Akademikus dengan tipologi yang pertama akan lebih mudah melakukan plagiat dibanding yang berkarakter drivers. Kalau jujur dan menerima keadaan, mereka akan sekadar menjadi akademikus kelas pengikut dan sulit maju. Namun, mental instan dan tidak mau bersusah payah bisa mendorong golongan ini melupakan kejujuran demi mengejar ketertinggalannya. Perasaan malu bisa tumpul oleh mental pragmatis ketika, misalnya, mereka menjiplak karya orang lain.
Mereka yang demikian, menurut saya, adalah akademikus pecundang. Akademikus yang nanti menjadi beban bagi perkembangan intelektual. Jangankan menjadi bagian dari solusi, mereka bahkan akan menjadi bagian dari problem moral bangsa kita ke depan. Sebab, mental ketidakjujuran akan mengakar kuat dan masuk ke bukan hanya lini akademis, namun juga menular ke ranah yang lain.
Sementara itu, akademikus dengan mental drivers memiliki kontrol moral yang kuat dalam dirinya. Mereka memiliki rasa malu yang tinggi jika melakukan hal-hal yang tidak jujur. Akademikus model seperti itu akan sangat merasa bersalah jika mencuri karya orang lain. Jadi, pengontrol atas perbuatan tidak jujur berada dalam diri mereka. Internalisasi nilai kejujuran telah terpatri kuat di dalam diri sehingga mereka tidak butuh undang-undang antiplagiat.
Untuk menjawab persoalan adanya akademikus yang bermental pecundang, saya tertarik dengan ide Rhenald Kasali. Yaitu, merumuskan dan mengembangkan sebuah alat atau metode yang bisa dipakai untuk mentransformasikan perilaku manusia. Metode itu mulanya digunakan dalam bidang bisnis. Tapi, menurut saya, tampaknya bisa pula diimplementasikan dalam dunia pendidikan.
Caranya, dengan sadar menanamkan sugesti self dengan psychology of winning secara bertahap. Pertama, melakukan treatment untuk membuang karakter pecundang, baru kemudian membentuk mental drivers. Mental instan, suka mencari jalan yang mudah dan tidak menikmati proses, harus dibuang dulu, baru kemudian mengubahnya menjadi akademikus yang bermental drivers. Akademikus yang memiliki integritas sebagai kaum intelektual yang jujur. Akademikus yang punya malu jika melakukan plagiat, walaupun tidak ketahuan orang lain.
Karena itu, pemberantasan korupsi di negeri kita jangan mengabaikan penanganan ''korupsi'' yang dilakukan para akademikus pecundang kelas penumpang. Jangan menganggap enteng persoalan korupsi dalam dunia tulisan dan gagasan. Ketidakjujuran seperti itu akan mengentengkan ketidakjujuran di dunia lain. Lihat saja para koruptor yang ditangkap KPK. Sebagian di antara mereka adalah kalangan akademikus. Ada yang guru besar pula. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar