|
MEMBACA laporan tentang mark-up harga obat di Jawa Pos, Selasa, 29 Oktober 2013, membuat
banyak orang mungkin terhenyak. Harga obat yang sudah didiskon masih juga kena
mark-up! Pemberitaan itu seolah melengkapi berita tentang belum beresnya dunia
distribusi obat di negeri ini. Masyarakat yang selama ini sudah terbebani biaya
kesehatan bisa semakin geram.
Pertanyaannya, apakah memang sekelam itukah?
Pemilihan istilah mark-up (penggelembungan) yang dilontarkan oleh Ketua IAI Pusat Dani Pratomo terasa kurang pas. Walaupun secara bisnis definisi mark-up adalah perbedaan antara biaya untuk menyediakan produk atau jasa, dengan harga jualnya, konotasi mark-up melukai hati dan menodai profesi apoteker.
Di antara sekian banyak faktor pembentuk harga obat di apotek, mulai harga pabrik atau lebih dikenal dengan HNA (harga neto apotek) hingga HET (harga eceran tertinggi) memang tidak luput dari ''mark-up''. Namun, itu tidak berarti penggelembungan harga ala korupsi.
Konkretnya, pabrik obat akan memberikan diskon atau biaya distibusi kepada distributor sebesar 10-15 persen di bawah HNA. Kemudian, diskon tersebut diberikan ke apotek sebesar 2-3 persen, bahkan banyak yang tanpa diskon. Apotek akan menjual ke konsumen sesuai dengan ketentuan Kepmenkes No 69/2006 tentang margin apotek maksimal 25 persen dari ketentuan HNA.
Dari margin tersebut, apotek masih dibebani biaya pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen dan biaya operasional apotek 15 persen hingga 20 persen. Tinggallah keuntungan yang tersedia maksimal 5 persen untuk menghidupi apotek. Itu pun bila apotek mengambil margin laba maksimal dari ketetapan pemerintah. Di lapangan, bisa dibayangkan banyak sekali apotek yang untung jauh di bawah itu.
Sulit dinalar jika ada penggelembungan harga hingga 37 persen dari harga pabrik. Apalagi, apotek bisa mendapat diskon hingga 30 persen. Tidak mengherankan jika General Manager Pengembangan Bisnis Strategis PT Kimia Farma Djoko Rusdianto menyatakan akan membeli obat ke pabrik tersebut kalau ada diskon sebesar itu.
Mengingat obat adalah komoditas khusus yang sangat strategis, tidak mengherankan jika bisnis apotek adalah bisnis yang high risk-high regulation. Mulai pendirian, kompetensi SDM, sarana prasarana, sumber pembelian obat, hingga penentuan harga jualnya ketat diawasi pemerintah.
HET sendiri adalah harga jual tertinggi di apotek, rumah sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang berlaku untuk seluruh Indonsesia (Kepmenkes 92/2012 tentang HET Obat Generik). Dengan kata lain, besarnya harga jual apotek kepada pasien tidak boleh melebihi HET.
Konsultasi ke Apoteker
Tidak dapat dimungkiri bahwa apotek, yang sejatinya adalah tempat pengabdian profesi apoteker, hingga sekarang masih kental dengan nuansa dagang. Apoteker yang terlahir sebagai tenaga kesehatan kefarmasian sesuai dengan UU No. 23/1992 tentang Kesehatan dalam aktivitasnya lebih banyak yang ''bekerja'' tidak menjalankan praktik profesi.
Itulah sebenarnya tugas besar profesi apoteker, yakni bagaimana supaya ''keahlian'' dan ''kewenangan'' dalam berbagai proses kefarmasian bisa dijalankan secara mandiri. Tidak bergantung lagi kepada investor atau pemilik sarana apotek (PSA).
Mestinya apoteker dicari oleh masyarakat karena memang kehadirannya yang tidak tergantikan di apotek.
Itu menjadi keprihatinan dalam berbagai forum internasional, baik forum WHO seperti Nairobi Conference, International Conference on Drug Regulatory Authorities (ICDRA), maupun forum profesi seperti Word Conference on Clinical Pharmacology & Therapeutics. Diakui bahwa pelayanan informasi obat merupakan salah satu kebutuhan kritis yang saat ini belum dipenuhi.
Apoteker bisa membantu masyarakat untuk tahu dan paham tentang segala hal yang berkaitan dengan obat yang akan dipakainya. Masyarakat harus proaktif, menanyakan kepada apotekernya. Mulailah berusaha sedapat mungkin membeli obat di apotek yang apotekernya memberikan waktu untuk berkonsultasi.
Itulah cita-cita luhur profesi apoteker untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Jangan ada lagi stigma mark-up harga apotek oleh apoteker. Nanti harga bukanlah penentu utama. Tetapi, kompetensi apotekerlah yang akan menggerakkan masyarakat untuk menentukan apotek pilihannya. ●
Pertanyaannya, apakah memang sekelam itukah?
Pemilihan istilah mark-up (penggelembungan) yang dilontarkan oleh Ketua IAI Pusat Dani Pratomo terasa kurang pas. Walaupun secara bisnis definisi mark-up adalah perbedaan antara biaya untuk menyediakan produk atau jasa, dengan harga jualnya, konotasi mark-up melukai hati dan menodai profesi apoteker.
Di antara sekian banyak faktor pembentuk harga obat di apotek, mulai harga pabrik atau lebih dikenal dengan HNA (harga neto apotek) hingga HET (harga eceran tertinggi) memang tidak luput dari ''mark-up''. Namun, itu tidak berarti penggelembungan harga ala korupsi.
Konkretnya, pabrik obat akan memberikan diskon atau biaya distibusi kepada distributor sebesar 10-15 persen di bawah HNA. Kemudian, diskon tersebut diberikan ke apotek sebesar 2-3 persen, bahkan banyak yang tanpa diskon. Apotek akan menjual ke konsumen sesuai dengan ketentuan Kepmenkes No 69/2006 tentang margin apotek maksimal 25 persen dari ketentuan HNA.
Dari margin tersebut, apotek masih dibebani biaya pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen dan biaya operasional apotek 15 persen hingga 20 persen. Tinggallah keuntungan yang tersedia maksimal 5 persen untuk menghidupi apotek. Itu pun bila apotek mengambil margin laba maksimal dari ketetapan pemerintah. Di lapangan, bisa dibayangkan banyak sekali apotek yang untung jauh di bawah itu.
Sulit dinalar jika ada penggelembungan harga hingga 37 persen dari harga pabrik. Apalagi, apotek bisa mendapat diskon hingga 30 persen. Tidak mengherankan jika General Manager Pengembangan Bisnis Strategis PT Kimia Farma Djoko Rusdianto menyatakan akan membeli obat ke pabrik tersebut kalau ada diskon sebesar itu.
Mengingat obat adalah komoditas khusus yang sangat strategis, tidak mengherankan jika bisnis apotek adalah bisnis yang high risk-high regulation. Mulai pendirian, kompetensi SDM, sarana prasarana, sumber pembelian obat, hingga penentuan harga jualnya ketat diawasi pemerintah.
HET sendiri adalah harga jual tertinggi di apotek, rumah sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang berlaku untuk seluruh Indonsesia (Kepmenkes 92/2012 tentang HET Obat Generik). Dengan kata lain, besarnya harga jual apotek kepada pasien tidak boleh melebihi HET.
Konsultasi ke Apoteker
Tidak dapat dimungkiri bahwa apotek, yang sejatinya adalah tempat pengabdian profesi apoteker, hingga sekarang masih kental dengan nuansa dagang. Apoteker yang terlahir sebagai tenaga kesehatan kefarmasian sesuai dengan UU No. 23/1992 tentang Kesehatan dalam aktivitasnya lebih banyak yang ''bekerja'' tidak menjalankan praktik profesi.
Itulah sebenarnya tugas besar profesi apoteker, yakni bagaimana supaya ''keahlian'' dan ''kewenangan'' dalam berbagai proses kefarmasian bisa dijalankan secara mandiri. Tidak bergantung lagi kepada investor atau pemilik sarana apotek (PSA).
Mestinya apoteker dicari oleh masyarakat karena memang kehadirannya yang tidak tergantikan di apotek.
Itu menjadi keprihatinan dalam berbagai forum internasional, baik forum WHO seperti Nairobi Conference, International Conference on Drug Regulatory Authorities (ICDRA), maupun forum profesi seperti Word Conference on Clinical Pharmacology & Therapeutics. Diakui bahwa pelayanan informasi obat merupakan salah satu kebutuhan kritis yang saat ini belum dipenuhi.
Apoteker bisa membantu masyarakat untuk tahu dan paham tentang segala hal yang berkaitan dengan obat yang akan dipakainya. Masyarakat harus proaktif, menanyakan kepada apotekernya. Mulailah berusaha sedapat mungkin membeli obat di apotek yang apotekernya memberikan waktu untuk berkonsultasi.
Itulah cita-cita luhur profesi apoteker untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Jangan ada lagi stigma mark-up harga apotek oleh apoteker. Nanti harga bukanlah penentu utama. Tetapi, kompetensi apotekerlah yang akan menggerakkan masyarakat untuk menentukan apotek pilihannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar