|
Perhatian kita belakangan ini terbetot oleh pemberitaan
seputar internal fraud yang terjadi di Bank Syariah Mandiri (BSM) Cabang Bogor.
Beberapa petingginya, kini tengah menjalani proses penyidikan Bareskrim Polri
karena diduga 'menyalahgunakan' wewenangnya untuk menyalurkan kredit fiktif
hingga mencapai Rp 102 miliar kepada 197 debiturnya. Para pejabat yang terlibat
dalam kasus ini, kini meringkuk di ruang tahanan Bareskrim Polri, guna
mempertanggungjawabkan perbuatan tercela mereka. Semua orang terkesima, kaget
dan dibuat tidak percaya dengan kejadian semacam ini.
Namun, itulah realitas yang terjadi di depan mata kita
semua. Bahwa tampang perampok yang dahulu digambarkan dengan muka seram,
brewokan, berbadan besar-kekar, kini sudah berubah total. Di antara mereka bisa
berujud pejabat tinggi, anggota DPR, serta bankir kelimis yang flamboyan,
berpenampilan glamour, yang bisa mengecohkan kita semua. Mereka ternyata
penjahat kerah putih, yang melakukan pencurian dan perampokan dalam jumlah yang
luar biasa besar. Inilah fenomena potret pergeseran gaya hidup, yang menjadikan
perilaku konsumif menjadi panglimanya (dan menghalalkan segala cara).
Melihat harta benda yang disita pihak kepolisian sebagai
barang bukti, sebenarnya kita berhak untuk curiga. Bagaimana seorang bankir
bisa hidup mewah (hedonis) dengan berbagai benda yang melekat dalam
kehidupannya. Bagaimana para tersangka bisa membiayai berbagai benda miliknya
seperti kepemilikan sepuluh mobil mewah, berbagai perhiasan bernilai tinggi,
serta kepemilikan property (tanah,
rumah mewah dan apartemen) di kawasan elite dan sejenisnya. Inilah fenomena
potret pergeseran gaya hidup, yang menjadikan perilaku konsumtif menjadi
panglimanya (baca: rajanya).
Padahal, untuk mengongkosi (membiayai) gaya hidup itu,
sangat mahal. Apabila income (gaji) tidak mencukupi, maka yang bisa dilakukan
adalah dengan menambah penghasilan dengan cara-cara yang salah (ilegal), yakni
mencuri harta (uang) orang lain (nasabah). Fenomena itulah yang kelihatannya
kental mewarnai sepak terjang para tersangka dalam melancarkan aksinya selama
ini. Penampilan yang glamour disertai dengan tunggangan mobil mewahnya di kota
metropolis, seolah mengesahkan perilaku dan gaya hidup semacam itu. Ujungnya,
semua harus dibayar mahal yakni hidup meringkuk di balik jeruji besi dan ruang
tahanan yang gelap-pengap.
Pertanyaannya, apakah seorang bankir tidak boleh hidup
mewah? Boleh-boleh saja, asal harta benda yang dimilikinya, diperoleh dengan
cara yang benar dan wajar. Persoalannya sangat berbeda jika semua harta benda
yang dimiliki ternyata milik orang lain yang kemudian disalahgunakan untuk
kepentingan pribadi yang sifatnya konsumtif dan materialistik. Hasrat hidup
penuh hedonis (mengejar kesenangan dan kebendaan duniawi) inilah yang acapkali
memancing seseorang (bankir) untuk melakukan apa pun untuk memenuhi hasrat
duniawinya itu.
Terlebih, masalah moral ini terkadang memang terpancing dan
terkalahkan oleh berbagai kebutuhan dan gaya hidup yang konsumtif-hedonis yang
sudah berurat akar. Gaya hidup dan pergaulan neo-kapitalis, metropolis
seringkali memporak-porandakan bangunan moral yang sudah dibangun sejak kecil.
Inilah jerat pola pergaulan yang salah. Oleh sebab itu, rumusan yang paling
sederhana adalah senantiasa kembali kemasalah moral karyawan bank itu sendiri.
Untuk mengantisipasi hal ini, manajemen bank sebenarnya
bisa menggunakan konsep hukum pembuktian terbalik. Para karyawan, terkadang
perlu dilakukan yang namanya audit gaya hidup untuk menelisik sumber-sumber
kekayaan yang dipunyainya. Inilah prinsip yang dikenal dengan istilah prinsip
mengenal karyawan/pegawai (know your
employee/KYE), mirip dengan know your
customer/KYC. Intinya, manajemen bank harus mengenal persis siapa karyawan
di kantornya, mulai dari level atas hingga bawah, mulai dari sopir hingga
direksi dan komisaris. Jangan lagi diabaikan, misalnya, ada pegawai yang kaya
mendadak, padahal sebelumnya kere (miskin).
Pengalaman dalam penerapan KYC dapat dijadikan modal untuk
menggagas KYE secara bijak dan cerdas. Artinya, kunci penting bagi perbankan
dalam menjaga kepercayaan nasabah adalah kualitas sumber daya manusia (SDM)
yang berada di belakang teknologi dan sistem (super canggih) itu. Terutama
pegawai yang memiliki akses langsung pada dana nasabah, seperti teller dan account officer (atau custumer relationship manager)
atau mereka yang menangani langsung nasabah tertentu. Setelah itu, pengawasan
yang ketat, bukan hanya pada cara bekerjanya sistem, namun audit karyawan, juga
menjadi sangat penting.
Kalau seorang teller,
misalnya, memiliki gaya hidup mewah dengan taksiran biaya gaya hidup yang jauh
melampaui pendapatannya, tentu atasan pegawai tersebut mesti awas dan
memantaunya. Apabila perlu, sesekali ditengok rumahnya, dengan siapa saja dia
bergaul, bagaimana lingkungan pergaulannya. Audit karyawan dan gaya hidupnya
ini sangat penting dilakukan, terutama monitoring atas setiap aktivitas dan
mutasi rekening tabungannya. Apabila gaya hidupnya jauh melampaui income-nya, maka perlu diwaspadai dan
dicurigai.
Pembuktian terbalik seringkali juga membantu manajemen
untuk mengungkap fraud yang terjadi di bank-nya. Misalnya, ada seorang karyawan
biasa se-level staf, tiba-tiba kok memiliki harta benda dan gaya hidup yang
melampui kapasitas income-nya, maka
terhadap karyawan semacam ini perlu dilakukan investigative audit lebih lanjut. Intinya, jajaran manajemen perlu
mengenal dengan baik setiap karyawan yang ada di bawahnya. Sebaliknya, karyawan
bawah juga perlu waspada, kalau tiba-tiba atasannya juga kaya mendadak. Semua
harus saling mengawasi dan mengenal dengan baik rekan sekerjanya. Hanya dengan
demikian, sistem alarm dini untuk mencegah fraud perbankan akan dapat berbunyi
secara wajar tanpa harus menunggu waktu bertahun-tahun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar