Rabu, 30 Oktober 2013

Mitigasi Fraud Perbankan

Mitigasi Fraud Perbankan
Susidarto   Praktisi Perbankan
SUARA KARYA, 29 Oktober 2013


Perhatian kita belakangan ini terbetot oleh pemberitaan seputar internal fraud yang terjadi di Bank Syariah Mandiri (BSM) Cabang Bogor. Beberapa petingginya, kini tengah menjalani proses penyidikan Bareskrim Polri karena diduga 'menyalahgunakan' wewenangnya untuk menyalurkan kredit fiktif hingga mencapai Rp 102 miliar kepada 197 debiturnya. Para pejabat yang terlibat dalam kasus ini, kini meringkuk di ruang tahanan Bareskrim Polri, guna mempertanggungjawabkan perbuatan tercela mereka. Semua orang terkesima, kaget dan dibuat tidak percaya dengan kejadian semacam ini.

Namun, itulah realitas yang terjadi di depan mata kita semua. Bahwa tampang perampok yang dahulu digambarkan dengan muka seram, brewokan, berbadan besar-kekar, kini sudah berubah total. Di antara mereka bisa berujud pejabat tinggi, anggota DPR, serta bankir kelimis yang flamboyan, berpenampilan glamour, yang bisa mengecohkan kita semua. Mereka ternyata penjahat kerah putih, yang melakukan pencurian dan perampokan dalam jumlah yang luar biasa besar. Inilah fenomena potret pergeseran gaya hidup, yang menjadikan perilaku konsumif menjadi panglimanya (dan menghalalkan segala cara).

Melihat harta benda yang disita pihak kepolisian sebagai barang bukti, sebenarnya kita berhak untuk curiga. Bagaimana seorang bankir bisa hidup mewah (hedonis) dengan berbagai benda yang melekat dalam kehidupannya. Bagaimana para tersangka bisa membiayai berbagai benda miliknya seperti kepemilikan sepuluh mobil mewah, berbagai perhiasan bernilai tinggi, serta kepemilikan property (tanah, rumah mewah dan apartemen) di kawasan elite dan sejenisnya. Inilah fenomena potret pergeseran gaya hidup, yang menjadikan perilaku konsumtif menjadi panglimanya (baca: rajanya).

Padahal, untuk mengongkosi (membiayai) gaya hidup itu, sangat mahal. Apabila income (gaji) tidak mencukupi, maka yang bisa dilakukan adalah dengan menambah penghasilan dengan cara-cara yang salah (ilegal), yakni mencuri harta (uang) orang lain (nasabah). Fenomena itulah yang kelihatannya kental mewarnai sepak terjang para tersangka dalam melancarkan aksinya selama ini. Penampilan yang glamour disertai dengan tunggangan mobil mewahnya di kota metropolis, seolah mengesahkan perilaku dan gaya hidup semacam itu. Ujungnya, semua harus dibayar mahal yakni hidup meringkuk di balik jeruji besi dan ruang tahanan yang gelap-pengap.

Pertanyaannya, apakah seorang bankir tidak boleh hidup mewah? Boleh-boleh saja, asal harta benda yang dimilikinya, diperoleh dengan cara yang benar dan wajar. Persoalannya sangat berbeda jika semua harta benda yang dimiliki ternyata milik orang lain yang kemudian disalahgunakan untuk kepentingan pribadi yang sifatnya konsumtif dan materialistik. Hasrat hidup penuh hedonis (mengejar kesenangan dan kebendaan duniawi) inilah yang acapkali memancing seseorang (bankir) untuk melakukan apa pun untuk memenuhi hasrat duniawinya itu.

Terlebih, masalah moral ini terkadang memang terpancing dan terkalahkan oleh berbagai kebutuhan dan gaya hidup yang konsumtif-hedonis yang sudah berurat akar. Gaya hidup dan pergaulan neo-kapitalis, metropolis seringkali memporak-porandakan bangunan moral yang sudah dibangun sejak kecil. Inilah jerat pola pergaulan yang salah. Oleh sebab itu, rumusan yang paling sederhana adalah senantiasa kembali kemasalah moral karyawan bank itu sendiri.

Untuk mengantisipasi hal ini, manajemen bank sebenarnya bisa menggunakan konsep hukum pembuktian terbalik. Para karyawan, terkadang perlu dilakukan yang namanya audit gaya hidup untuk menelisik sumber-sumber kekayaan yang dipunyainya. Inilah prinsip yang dikenal dengan istilah prinsip mengenal karyawan/pegawai (know your employee/KYE), mirip dengan know your customer/KYC. Intinya, manajemen bank harus mengenal persis siapa karyawan di kantornya, mulai dari level atas hingga bawah, mulai dari sopir hingga direksi dan komisaris. Jangan lagi diabaikan, misalnya, ada pegawai yang kaya mendadak, padahal sebelumnya kere (miskin).

Pengalaman dalam penerapan KYC dapat dijadikan modal untuk menggagas KYE secara bijak dan cerdas. Artinya, kunci penting bagi perbankan dalam menjaga kepercayaan nasabah adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berada di belakang teknologi dan sistem (super canggih) itu. Terutama pegawai yang memiliki akses langsung pada dana nasabah, seperti teller dan account officer (atau custumer relationship manager) atau mereka yang menangani langsung nasabah tertentu. Setelah itu, pengawasan yang ketat, bukan hanya pada cara bekerjanya sistem, namun audit karyawan, juga menjadi sangat penting.

Kalau seorang teller, misalnya, memiliki gaya hidup mewah dengan taksiran biaya gaya hidup yang jauh melampaui pendapatannya, tentu atasan pegawai tersebut mesti awas dan memantaunya. Apabila perlu, sesekali ditengok rumahnya, dengan siapa saja dia bergaul, bagaimana lingkungan pergaulannya. Audit karyawan dan gaya hidupnya ini sangat penting dilakukan, terutama monitoring atas setiap aktivitas dan mutasi rekening tabungannya. Apabila gaya hidupnya jauh melampaui income-nya, maka perlu diwaspadai dan dicurigai.

Pembuktian terbalik seringkali juga membantu manajemen untuk mengungkap fraud yang terjadi di bank-nya. Misalnya, ada seorang karyawan biasa se-level staf, tiba-tiba kok memiliki harta benda dan gaya hidup yang melampui kapasitas income-nya, maka terhadap karyawan semacam ini perlu dilakukan investigative audit lebih lanjut. Intinya, jajaran manajemen perlu mengenal dengan baik setiap karyawan yang ada di bawahnya. Sebaliknya, karyawan bawah juga perlu waspada, kalau tiba-tiba atasannya juga kaya mendadak. Semua harus saling mengawasi dan mengenal dengan baik rekan sekerjanya. Hanya dengan demikian, sistem alarm dini untuk mencegah fraud perbankan akan dapat berbunyi secara wajar tanpa harus menunggu waktu bertahun-tahun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar