|
Pengadilan
banding Malaysia baru-baru ini memutuskan melarang satu koran Kristen
menggunakan kata "Allah".
Tiga
hakim di pengadilan banding Malaysia membatalkan putusan tahun 2009 dari sebuah
pengadilan tinggi yang mengizinkan edisi bahasa Melayu koran The Herald. Menurut keputusan hakim,
kata ”Allah” hanya boleh digunakan umat Islam.
Menurut
hakim, jika umat kristiani menggunakan kata “Allah”, hanya akan memicu
kebingungan, apalagi kata “Allah” dianggap bukan merupakan bagian integral dari
kepercayaan Kristen (Antara, 14/10).
Para
pengacara The Herald beralasan kata
“Allah” sudah sangat luas digunakan orang-orang Melayu Kristen di bagian negeri
itu di Sabah dan Sarawak selama berabad-abad.
Mereka
akan mengajukan banding atas keputusan ini kepada Mahkamah Agung Malaysia.
Mereka menambahkan, terkait kata “Allah”, umat Kristen di Indonesia dan
sebagian besar dunia Arab bebas menggunakan kata Allah tanpa ditentang pihak
berwenang.
Faktor
Politik
Keputusan
pengadilan itu bertepatan dengan meningkatnya ketegangan etnis dan agama di
Malaysia akibat hasil Pemilu Mei lalu yang membelah Malaysia di mana koalisi
yang lama berkuasa tergembosi oleh para pemilih urban yang sebagian besar
terdiri dari minoritas keturunan China.
Dalam
beberapa bulan belakangan, Perdana Menteri Najib Razak berusaha mengonsolidasikan
dukungan dari kalangan mayoritas etnis Melayu yang umumnya muslim, menjelang
pemilu legislatif bulan ini.
Pemerintahan
barunya-yang didominasi Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) yang berbasis
orang Melayu- memang mencoba mengenalkan kebijakan yang menguatkan etnis Melayu
yang umumnya beragama Islam.
Seperti
diketahui, Etnis Melayu merupakan 60 persen dari total 28 juta penduduk
Malaysia, sedangkan etnis keturunan China lebih dari 25 persen, dan selanjutnya
keturunan India. Warga Kristen mencapai 9 persen dari total populasi Malaysia.
Jika
kita flashback, pada 2010 lalu ada cukup banyak gereja diserang, juga kuil
Hindu diserang gara-gara kata “Allah” ini. Itu terjadi ketika Hakim Tinggi Lau
Bee Lan pada 31 Desember 2009 mengizinkan koran The Herald memakai kata
“Allah”.
Polemik
kata “Allah”, yang disusul adanya penyerangan gereja jelas menunjukkan
kegagalan dalam nation building negeri jiran itu. Apa yang keliru dalam hal
ini?
Ternyata
kalau kita membaca konstitusi Malaysia, para founding father negeri itu hanya
memberi tempat pada etnis Melayu dan sekaligus penganut Islam. Etnis Melayu dan
sekaligus sebagai penganut Islam seolah inheren dengan Malaysia. Ini terlihat
dalam Akta Perlembagaan Persekutuan Negara Malaysia dalam artikel 3 (1), artikel
11 (4), dan artikel 160.
Legitimasi
bagi etnis Melayu sekaligus penganut Islam sebagai pemilik sah Malaysia
menempatkan etnis lain atau non-Islam sebagai warga negara kelas dua. Ini jelas
ironi, ketika konstitusi negara justru membenarkan adanya praktik diskriminasi.
Akibatnya
etnis Melayu tampak diistimewakan, secara politik, ekonomi dan agama. Dalam hal
agama, etnis non-Melayu dan nonmuslim saja dilarang menggunakan kata “Allah”
sehingga masalah ini berakhir di pengadilan. Memang kata “Allah” seolah
eksklusif milik Melayu muslim. Bagi etnis non-Melayu-non-Islam hanya boleh
menggunakan kata “Tuhan”.
Padahal,
di seluruh dunia, hanya tinggal Malaysia sebagai satu-satunya negara yang punya
regulasi kata “Allah” hanya eksklusif bagi Islam. Di negara-negara Timur Tengah
saja yang mayoritas Islam, mereka tidak keberatan umat kristiani memakai nama
“Allah”. Maklum sejak sebelum era Islam di abad ke-6 Masehi, umat Arab Kristen
biasa memakai “Allah” untuk menyebut Sang Pencipta Yang Maha Esa.
Diterjemahkan
Namun,
jangan menyangka polemik kata “Allah” hanya terjadi di Malaysia. Di berbagai
belahan bumi, kata “Allah” juga memicu polemik. Misalnya ada sebagian aliran
kecil umat Kristen di Tanah Air yang setuju bahwa kata “Allah” memang hanya
pantas bagi umat Islam; karena Allah adalah nama diri, sebagaimana bisa dibaca
dalam banyak ayat Alquran.
Jadi
umat Kristen sudah selayaknya tidak memakai kata ini. Mereka berargumentasi
bahwa dalam agama Kristen sebenarnya tidak pernah ada kata ”Allah”. Apa yang
selama ini dipergunakan untuk menerjemahkan kata ”Allah” berasal dari bahasa
Ibrani ”Elohim”, sedangkan untuk kata ”ALLAH” (dalam huruf kapital semua)
berasal dari nama diri ”Yahweh” (JHWH), Tuhan Yang Maha Esa bagi penganut
Yudaisme, yang lalu diadopsi umat kristiani (bisa dilihat dalam Alkitab, Kitab
Suci Umat Kristiani Indonesia arus besar, terbitan LAI).
Pernah
sekelompok umat kristiani di Tanah Air mendesak Departemen Agama agar
terjemahan “Allah” dalam Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia
dihilangkan. Argumen utama kelompok ini adalah sebagai nama diri, Yahwe tidak
boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Padahal,
dalam tradisi penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta) yang
sudah dimulai sejak sebelum abad ke-4 Masehi, sebutan Yahwe itu sudah biasa
diterjemahkan. Karena tak digubris, mereka rela membuat Alkitab sendiri yang
menghilangkan kata “Allah”.
Sementara
itu, sebagian besar umat atau aliran Kristen di dunia, terlebih di Timur Tengah
berargumen bahwa nama “Yahweh” bukan hanya nama diri, sehingga bisa
diterjemahkan menjadi “Allah”. Penerjemahan ini sudah dimulai ketika pengaruh
Yunani masuk ke Israel sejak abad ke-4 Sebelum Masehi.
Yesus
pun melakukan hal serupa. Tidak heran kata “Allah” dalam makna monoteistis
sudah digunakan oleh kalangan Kristen, termasuk Arab Kristen sebelum kedatangan
Islam. Ini berdasarkan inkripsi-inskripsi Arab Kristen pra-Islam, seperti Zabad
dari Suriah (512 Masehi) yang selalu diawali dengan rumusan “Bism al-Ilah” (Dengan nama al-Ilah).
Lalu
inskripsi Umm al-Jimmal (pertengahan
abad ke-6 M) dan lain-lain juga menyebut bahwa Allah sudah dimaknai secara
monoteistis dalam agama Kristen, lengkap dengan inskripsi, bacaannya, ulasan
para ahli filologi, dan perkembangannya di gereja-gereja Arab. Terlalu panjang
jika hendak disebut semua. Jadi, kata “Allah” adalah bagian integral dari iman
Kristen.
Terkait
dengan nama Sang Pencipta, memang bisa memicu masalah, meskipun Dia mungkin
tidak suka bermasalah. Manusialah yang suka mempermasalahkan.
Jangan
lupa dalam kasus ini, logika atau akal sehat kita jangan dimatikan, meskipun
nalar logis kita tak akan mampu memahami keberadaan dan misteri-Nya yang begitu
Agung dan luas. Menurut Agustinus, filsuf dan teolog abad ke-4, pikiran kita
ibarat kolam sempit yang tak mungkin akan mampu menampung kebesaran Sang
Pencipta.
Karena
itu terkait Sang Pencipta, mau disebut atau dipanggil dengan apa pun,
sebenarnya kita tidak bisa menghakimi, apalagi melarang orang agar menggunakan
istilah tertentu bagi Sang Pencipta. Bahkan, dengan merusak atau menyerang
tempat ibadah umat beragama lain, gara-gara kata “Allah”, jelas menjadi noda
hitam dalam sejarah Tuhan dan agama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar