|
Regulasi
baru seputar upah akan menempatkan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam posisi
sangat menentukan. Instruksi Presiden (Inpres) tentang penetapan upah minimum
yang ditujukan kepada gubernur dan menteri, menurut Menteri Koordi-nator
Perekonomian Hatta Rajasa, memuat penetapan KHL (kebutuhan hidup layak) yang
tak boleh lagi berdasarkan masing-masing survei (buruh, pengusaha). Dewan
Pengupahan harus mengacu pada survei yang dilakukan BPS. Besaran upah, maka,
bersandarkan pada nilai KHL versi BPS, produktivitas kerja, dan inflasi.
Sebelumnya,
mekanisme penetapan UMP (upah minimum provinsi) atau UMK (upah minimum
kabupaten/kota) diawali dengan survei KHL, baik oleh pengusaha maupun buruh.
Biasanya terdapat gap yang amat lebar antara kedua survei. Hasil survei KHL
lalu dibawa ke rapat pleno dewan pengupahan kabupaten/kota, dan diteruskan ke
provinsi untuk kemudian diajukan kepada gubernur supaya ditetapkan. Komponen
KHL bersandarkan pada 60 jenis kebutuhan sesuai Kemenaker No 13 tahun 2012
(sebelumnya hanya 46 jenis).
Berpuluh-puluh
tahun lamanya, kenaikan UMP (dulu UMR) berlangsung konservatif. Tahun 2013
adalah perkecualian. Pertambahan 15 komponen KHL baru, demonstrasi buruh yang
tak kenal lelah, serta faktor gubernur baru, menghasilkan nilai UMP DKI Jakarta
sebesar Rp 2,2 juta atau naik 44 persen. Keputusan Gubernur Jokowi menimbulkan
efek kejut bagi daerah-daerah sekitarnya. Buruh di Bekasi, Bogor, Karawang,
Cilegon, Tangerang kontan ikut menikmati upah sekitar Rp 2 jutaan.
Kalangan
pengusaha khawatir kenaikan drastis UMP dan UMK di Jakarta dan sekitarnya
berulang pada tahun depan. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pun bergerak
cepat dengan 'bergerilya' merangkul pemerintah. Hasilnya instan. Pemerintah
langsung merespon dengan mengeluarkan Inpres tentang pengupahan. Menurut
Menteri Perindustrian MS Hidayat, mengamandemen UU No 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan perlu proses yang lama, sehingga pemerintah melakukan manuver
lain, yaitu menyusun instruksi presiden.
Berdasarkan
Inpres ini, upah minimum tahun depan hanya boleh naik maksimal 10% dari angka
inflasi tahunan. Sejumlah serikat buruh tegas menolak keberadaan Inpres yang
memasung kenaikan upah ini, dan gencar menuntut kenaikan upah hingga 50%.
Terlepas
dari pro-kontra Inpres pengupahan, penulis tertarik meninjau potensi peran baru
BPS di bidang penentuan upah melalui survei KHL. Bagi Hatta Rajasa dan Muhaimin
Iskandar, BPS dianggap pihak independen sehingga akan lebih objektif dalam
menentukan KHL. Namun 'independensi' (apalagi disematkan pada lembaga negara)
bukanlah murni tanpa keberpihakkan. Berbagai intervensi, secara politik maupun
sogokan yang tak kasat mata, dengan gampang menggoyahkan nilai-nilai
independensi, bahkan pada tataran akademik (merujuk pada istilah statistik)
sekalipun.
Nir-keberpihakkan
statistik sendiri sudah banyak digugat. Salah satunya oleh penulis AS, Darrel
Huff. Dalam bukunya berjudul 'Berbohong dengan Statistik', secara satir
diungkapkan adanya tiga jenis kebohongan, dan statistik merupakan kebohongan
tingkat tertinggi! Hal ini karena statistik dapat digunakan sebagai alat untuk
menipu pembaca secara halus, membuat pembacanya tidak merasa kalau sedang
ditipu. Data yang mereka berikan mungkin benar, tetapi dengan berbagai
penyajian yang bisa mengecoh pembacanya.
Kita
tidak berharap BPS sebagai lembaga resmi di bidang pengumpul data mewakili
ketidakpercayaan Darrel Huff terhadap statistik. Namun, BPS sendiri sekama ini
memang tidak bebas kritik. Antara lain, kritik terkait kriteria garis
kemiskinan versi BPS yang jauh di bawah standar Bank Dunia. Pada Juli tahun
lalu, misalnya, garis kemiskinan yang digunakan BPS saat itu sekitar Rp 8 ribu
per orang per hari atau Rp 240 ribu per orang per bulan. Garis kemiskinan ini
hanya menjaring 9,13 juta orang (11,96%) sebagai miskin. Dengan standar Bank
Dunia (2 dolar AS per orang per hari), penduduk miskin di Indonesia bisa
mencapai di atas 100 juta jiwa atau 40,8 persen dari jumlah penduduk Indonesia
yang berjumlah sekitar 245 juta jiwa. (Dr
Ir M Kusman Sadik, 2012).
BPS
pun panen anggapan sebagai kepanjangan tangan pemerintah, sebagai tukang
stempel keberhasilan kinerja pemerintah. BPS tidak mampu menjaga jarak dengan
pemerintah (terkooptasi), sehingga mengaburkan perannya dalam memberikan
informasi yang akurat kepada masyarakat maupun dalam penyusunan kebijakan
pembangunan. (Leo Kusuma, 2012) Apabila angka-angka di atas kertas selalu
berbeda dengan fakta riil, kebijakan yang diambil otomatis semakin jauh dari
'kompas kebenaran' dan justru menghalangi negara mencapai tujuan-tujuannya.
Pengamat
ekonomi dari LIPI Latif Adam menilai, hasil survei BPS bersifat politis,
sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya manipulasi metodologi survei. Hal
ini disebabkan data hasil olahan BPS kerap sangat jauh dari kenyataan.
Kekhawatiran
serupa layak dimunculkan apabila peran utama penentuan KHL benar-benar diambil
alih oleh BPS. Apa yang disebut hidup layak menurut buruh bisa jadi sangat
berbeda dengan versi hidup layaknya BPS. Buruh bersandarkan pada kebutuhan-kebutuhan
lebih berkualitas dan beragam yang sebenarnya wajar, dan manusiawi (juga tidak
muluk-muluk seperti mampu membeli mobil dan rumah mewah), sementara pihak lain
menetapkan kebutuhan buruh pada nilai 'sekedar bertahan hidup'.
Menyikapi
survei KHL ala BPS, serikat buruh mesti tetap menjalankan surveinya sendiri.
Setidaknya, survei-survei mandiri ini menjadi pembanding yang sepadan dan
mendekati realitas kehidupan layak buruh. Jika indikasi politisasi BPS kentara
(sebagai agen pendukung rezim upah murah), serikat-serikat buruh juga harus
menanggapi BPS dengan tindakan-tindakan politis yang patut dan diperlukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar